Minggu, 15 Juni 2014

Rahasia Hati Yunda (part 2)

Kelanjutan Rahasia Hati Yunda (part 1)

Sepanjang perjalanan menuju kota Padang hanya aku habiskan dengan termenung. Memikirkan sebuah rencana besar untuk menyatukan sebuah hati yang terpisah. Entah apakah aku akan sanggup atau tidak menjalankan rencana ini. Aku hanya bermunajat kepada Allah, untuk melancarkan rencanaku.

Satu jam setengah perjalanan yang cukup melelahkan ini aku tempuh. Abang sepupuku telah menungguku di balik pintu kedatangan. Ia menjemputku dengan sebuah mobil Innova.

"Latiah bana nampaknyo ko diak."(Capek banget keliatannya, dek)
Aku hanya tersenyum getir .

"Bang, antarkan Yunda ke Pantai Pariaman. Yunda mau ngeliat pemandangan di sana." Abangku hanya mengangguk.
Aku memang belum terlalu fasih berbahasa Padang. Maklum aku dibesarkan orang tuaku di Jawa jadi jarang sekali aku menggunakan bahasa Padang sekalipun Ayah dan Ibu selalu menggunakannya di rumah atau bersama teman-teman satu suku sebagai ciri khas.

2 Jam lebih ditempuh abangku dari kota Padang ke Pariaman. Dan akhirnya aku tiba di pantai Pariaman. Aku segera berlari mengejar ombak-ombak kecil. Sejenak aku bisa melupakan beban di otakku. Aku duduk di bibir pantai dan menikmati angin sore tepi pantai yang berhembus syahdu. Abang sepupuku memilih untuk menunggu di mobil.

Tubuhku mungkin berada di Pariaman. Sayangnya, pikiran dan hatiku masih tertinggal di Jawa. Aku masih belum bisa melupakan sosok pria yang dulu sempat hadir di kehidupanku. Membuatku terbiasa dengan asap rokoknya, membuat aku terbiasa menyukai hal buruk yang dulu aku tak pernah mau mendekatinya.

Pandanganku menangkap satu objek yang mampu memecahkan seluruh lamunanku. Seorang wanita cantik, memakai baju putih dan rok berwarna pink. Kerudung yang dipakainya, meliuk indah tertiup angin pantai. Cantik, dan anggun. Hatiku kembali bergumam, wanita itu tak asing di mataku. Wajahnya seperti pernah melintas di benakku. Atau aku hanya ber-de javu? Tidak, aku yakin aku mengenal wanita cantik  itu.

Perlahan kakiku melangkah ke arahnya. Semakin dekat dengannya, jantungku berdetak begitu kencang. Entah karena aku takut, gugup, atau ... Ahh, aku tidak mengerti tentang isi hatiku. Semakin dekat, semakin aku menyadari, di tangan kanannya ia memegang sebuah botol berisikan secarik kertas. Sementara di tangan kirinya, berisikan sebuah foto yang aku sendiri tidak tahu itu foto siapa.

Aku duduk perlahan di sampingnya. Sampai akhirnya aku menyadari siapa dia sebenarnya.

"Wisatawan ya, Dek?" Dia membuka suaranya. Memecah keheningan yang sedari tadi menjadi teman.
Aku mengangguk.
"Dari mana?"
"Jawa Tengah." Mendengar jawabanku wanita itu tertegun. Ia menundukkan wajah ayunya.
"Aku orang Padang juga kok. Cuman aku tidak terlalu fasih berbahasa Padang." Wanita itu menoleh kepadaku. Ia tersenyum. Manis sekali. Wajar jika Irgi sangat menyayanginya.

"Aku bisa membantu Kakak."
Wanita itu kembali terkejut.
"Aku mengenal siapa laki-laki yang ada di foto itu. Aku tau jika kakak sangat merndukannya."
Wanita yang aku ketahui bernama Ina itu, tetap diam. Ia menatap wajahku sangat serius meski heran. Aku tak membalas padangannya.Aku menatap jauh kedepan, ke hamparan laut yang bersih.

"Ahmad Irgi. Laki-laki yang hadir dengan begitu ramah, menyapaku dengan hangat. Aku tidak mengerti awalnya, mengapa aku begitu mengagumi sosoknya yang aku sendiri tau bahwa dia hanya seorang pedagang. Tapi, apa pentingnya sebuah statu ketika cinta sudah mengambil alih semuanya. Aku jatuh cinta. Aku benar-benar mencintainya sampai detik ini. Dan aku terus menunggunya. Aku terus menunggu meski sebentar lagi statusku adalah istri orang."
Aku diam. Terhenyak dari lamunanku. Istri? Dia akan segera menikah? Tidak. Itu tidak boleh terjadi.

Bersambung... :)

Selasa, 10 Juni 2014

Bersama Hujan...

Rana POV's...
Hujan membangunkan aku dari dunia mimpi. Aku beranjak dari tempat tidurku dan berjalan menuju jendela kamarku. Merasakan dinginnya percikkan hujan tepat di telapak tanganku. Percikkannya juga membasahi pipiku. Sejuk.

Aku mendesah. Tersenyum melihat bulir-bulir itu jatuh dan membasahi permukaan bumi. Aroma yang khas pertemuan antara air dan tanah. Puas aku menikmati pagi yang sangat spesial. Spesial karena bertemankan hujan. Aku suka hujan.

Hujan sepertinya masih betah bermain dengan permukaan tanah. Hujan masih sangat ingin membuat manusia bermalas-malasan untuk beranjak dari tempat tidurnya. Ya, ku rasa demikian. Sama dengan manusia yang berada tepat di depanku. Maksudku, seorang pria yang saat ini sedang berdiri di balkon kamarnya yang ternyata kamarnya sejajar denganku apabila dilihat dari depan rumahku. Rumah kami berhadapan, dan setiap pagi hal yang paling sering dia lakukan adalah menghirup aroma pagi sembari merenggangkan otot-ototnya. Tapi, di hari minggu ini bisa ditebak, bahwa ia baru bangun dari tidurnya sementara waktu menunjukkan pukul 08.30. Pemalas.

***

"Rain!" Sapaku saat tiba di rumahnya. Dialah Rain, seseorang yang selalu aku perhatikan saat pagi. Sahabat kecilku, yang kini tumbuh menjadi cowok cool. Dia tidak lagi sekocak jaman SMP. Sekarang dia berubah menjadi lebih dewasa.

"Senang kamu pagi ini?" Tanya Rain.
"Iya dong."
"Apa senangnya, dia datang dan menghancurkan semua aktifitas manusia."
"Tapi dia rezeki dari Tuhan. Kalau nggak ada dia, pasti bumi jadi kering kerontang."
"Tapi, pagi ini dia sudah menghancurkan rencana kita."

Aku terdiam. Rain benar, pagi ini sebenarnya kami berencana untuk saling memperkenalkan siapa pasangan kami. Tapi, gagal karena hujan. Pantas saja, Rio marah padaku tadi. Rio adalah gebetanku. Dialah yang akan aku kenalkan pada Rain. Sementara Rain, entah siapa yang akan dia perkenalkan denganku.

Melihat Rain kesal aku menundukkan wajahku. Membiarkan wajahku tenggelam oleh rambut panjangku. Rain masih sibuk memainkan iPhone miliknya. Kami masih saling diam di kamar Rain. Semakin jelas aku merajuk karenanya. Rain mendekatkan tubuhnya denganku, menyibak rambut panjangku, kemudian mengangkat wajahku agar menatap dirinya.

"Ini bukan salah hujan." Ucapku lirih.
"Iya iya. Ini bukan salah hujan."

Rain POV's...
Gadis manis itu terlalu menyukai hujan. Dia bahkan rela menangis apabila hujan yang ia suka selalu aku rendahkan. Tuhan bukan maksudku untuk merendahkan karuniaMu. Hanya saja dia terlalu menggilai hujan. Terkecuali hujan badai.

Berbeda denganku yang lebih menyukai angin. Bagiku angin itu lembut, syahdu, namun menyejukkan. Sama seperti seseorang yang aku sukai namun dia tidak pernah tau bahwa ku menyukainya. Ah, gadis itu benar-benar telah membutakanku. Hanya dia yang mampu membuatku tertarik. Pesonanya seperti angin. Aku suka angin.

Baiklah berhenti membicarakan anginku. Kita masih memiliki satu hujan yang harus dihentikan.

"Semangkuk es krim coklat untuk sang dewi hujan. Mau?"
Senyumnya mengembang. Cantik. Terlebih lesung pipinya yang dalam menjadi point plus untuknya. Sayang, kami berbatas persahabatan.

***

Rana POV's...
Rain mentraktirku satu mangkuk es krim coklat dengan topping oreo di atasnya. Yummy. Satu hal yang paling ku suka setelah hujan.

"Gimana kalau di sini aja kita ketemuan sama gebetan masing-masing. Mereka pasti maulah diajak ke sini." Usulku.
Seketika air di wajah Rain berubah. Rautnya menyiratkan sebuah mimik bingung. Mungkin. Aku sangat tidak bisa menebak bagaimana pemikiran Rain. Dia labil. Selalu berubah-ubah kapanpun dia mau. 

"Baiklah." Desahnya. Aku dan dia meraih handphone masing-masing. Rain diam. Sesekali ujung matanya melirik ke arahku. Aku tersenyum menghadapnya. Dia hanya membalasnya dengan sebuah tatapan yang aku sendiri tidak mengerti.

***

Rain POV's...
Gadis itu tertawa lepas bersama gebetannya. Sementara aku, hanya dapat melihat kejadian itu dengan sangat miris. Ya, aku sendiri di kursi ini. Tanpa gebetan, pacar, atau malah seorang sahabat cewek.

Aku tidak memiliki seorang wanita terspesial kecuali dia dan Ibuku. Hanya gadis itu yang bisa membuatku terpesona dan jatuh cinta. Dia. Tidak ada yang lain. Dia yang saat ini sedang tertawa lepas bersama seseorang yang ia katakan spesial. Cih, sespesial apa dia? Apakah dia mengetahui segala hal tentang kamu? Apakah dia mengerti tentang kejelekanmu, kesukaanmu, dan hal lain yang benar-benar berhubungan denganmu?

Ah, aku gila karena kamu, Rana. Dari kecil perasaan ini selalu membunuhku. Mengangumi tanpa dikagumi. Aku memang pengecut. Aku akui itu. Bayangkan saja aku memendam perasaan ini sudah hampir 6 tahun. Tepatnya sejak aku duduk di bangku SMP. Tapi, aku masih belum bisa mendapati keberanian untuk mengungkapkan semua.

"Hey, jangan ngelamun. Aku tau Dena nggak bisa datang. Tapi, jangan cemberut gitu, dong. Rio, kamu kan pecinta basket. Kenapa kalian nggak saling sharing." Tegur Rana menghancurkan semua lemunanku.

"Oh ya? Gimana kalau sabtu besok kita sparing? Team lo lawan team gue?"

"Gue sibuk." Aku berlalu meninggalkan mereka berdua. Meninggalkan cafe itu, dan semangkuk es krim coklat oreo yang sudah lama meleleh sedari datangnya Rio.

***

Rana POV's...
"Childish! Norak! Kampungan!"
Kesabaranku sudah di ambang batas. Aku benar-benar bingung dengan sikap Rain yang terlalu ke kanak-kanakan. Terlebih lagi itu di depan Rio.

Aku mendengar decit suara sepatu. Aku yakin itu suara sepatu Rain. Tapi, decit suara sepatu itu bukan hanya satu. Ada deru suara lain yang hadir di lapangan basket sore itu. Aku membalikan badanku. Mendapati Rain hadir dengan seorang cewek manis, berambut pendek, yang menggendong bola basket di tangan kirinya.

Dua pasang bola mata yang menyiratkan keheranan tertuju ke arahku. Aku masih terpaku di tempatku berdiri.

"Ngapain lo ke sini?" Tanya Rain dengan juteknya.
"Elo pasti Rana kan?"
Gadis itu berbicara padaku. Aku diam. Tanpa ada niat sedikitpun untuk aku menjawabnya.
"Kalau orang nanya tu dijawab." Suara Rain meninggi. Aku kesal. Rain sudah berani membentakku. Aku menghentakkan kakiku ke tanah dan meninggalkan Rain bersama gadis asing itu pergi begitu saja.

***

Rain POV's...
Hujan. Dia datang lagi. Aku berdiri tepat di balik jendelaku. Menatapi rintik hujan yang menghujam bumi. Mencoba menelusuri kenapa Rana menyukai hujan. Apa yang istimewa dari sebuah hujan? Hujan itu dingin.

Aku mengalihkan pandanganku ke sebuah jendela yang berada di seberang sana. Melihat seorang gadis cantik tengah menatap sendu rintik hujan. Aku yakin, setiap pagi dia pasti selalu seperti ini. Menatapku dari jendela kamarnya. Aku tersenyum sampai akhirnya aku menyadari sesuatu.

Rana POV's...
Rain mengejutkanku. Mengejutkan dengan sesuatu yang romantis. Bagiku. Ia merengkuh tubuhku dari belakang. Memecahkan lamunanku. Aku bahagia dalam peluknya. Aku merasakan kehangatan dalam peluknya.

"Kau menyukaiku kan, Rana?"
Satu pertanyaan yang membuatku terkejut. Pipiku memerah. Aku sesegera mungkin melepaskan pelukan itu. Menjauh dari tubuhnya.
"Kau menyukai hujan. Itu berarti kau menyukaiku."

Aku tersenyum. "Kau juga menyukaiku kan, Rain?" Aku mendekat, dan menatap dalam si pemilik mata nan indah itu, "Kau menyukai angin karena aku."

Rain merengkuh wajahku. Mendekatkan wajahnya tepat di depan wajahku. Wajah kami seperti hanya berjarak 5cm. Aku memejamkan mataku. Menunggu Rain untuk....
"Woyy, ngapain elo pake nutup-nutup mata segala. Hahaha, ngarep banget buat gue cium."

"Rainn!!" Teriakku.

                                                   *THE END*