Senin, 21 Desember 2015

Rasa yang Tak Sampai

Say hai, buat para pembaca LOVARIES. Maaf bulan November nggak bisa nge-post satu cerita pun. Penulis amatir ini lagi sibuk-sibuknya dengan kegiatan ngampus. Ngampus itu tidak seindah sebagaimana mestinya Sis, Bro. *hihihi* oke skip. Kali ini, Ayu akan berbagi cerita tentang temen ayu yang lumayan sedih. Dan di sini ayu gunakan Nosya sebagai pemeran utama. Oke, selamat membaca....

Tags: cerita sedih, kumpulan cerita sedih, kumpulan cerpen sedih, kumpulan cerpen patah hati, kumpulan cerpen nosyalovaries.blogspot.com




Awalnya Nosya tak percaya, jika rasa itu benar-benar ada. Ya, dengan laki-laki yang semula ia kira hanya sekedar rekan kampus. Laki-laki yang tanpa sengaja dekat dengannya karena sebuah program kerja suatu UKM di kampus. Dari pertemuan itu, mereka saling bertukar pikiran, bahkan cukup dekat untuk status rekan kampus.

Namanya Deka. Laki-laki berpostur tinggi, putih, dan memiliki wajah cukup manis ini berhasil membuat hati Nosya gundah. Pernah mendengar "rasa suka ada karena biasa". Ya, Nosya mulai terbiasa dengan hadirnya Deka di kehidupannya. Nosya mulai terbiasa saat lelucon yang dibuat Deka mampu buatnya tertawa lepas. Nosya mulai terbiasa saat Deka adalah mood booster nya. Siapa yang akan menyangka perasaan itu akan hadir? Nosya sendiri pun tak berniat untuk menghadirkan rasa itu. Karena baginya, teman adalah teman.

Kamis, 29 Oktober 2015

Ingkar



Postingan terakhir di bulan Oktober. Ini cerita fiktif yang ada karena saat aku merasa galau. Hahah. Yang bilang ini curahan hati sang penulis. Itu bohong. Ini benar-benar cuman fiktif. Oke, enjoyed.


''Dek, dia lulus.'' getar handphoneku memecahkan konsentrasi belajarku. Ku lihat layar handphoneku tertera pesan aplikasi LINE dari seseorang yang ku kenal. 

Tanganku meraih handphoneku dan membalas pesan itu. Aku hanya membalas dengan emot senyum.

''Hanya itu?'' Balasan darinya yang hanya berujung ku lihat tanpa berniat membalasnya kemudian.

Pikiranku menerawang jauh. Tepat 1 bulan seseorang yang aku suka pergi dari kehidupanku untuk meraih mimpinya. Setelah lulus SMA ia memutuskan untuk mengejar mimpinya menjadi seorang pembuat film yang bisa melanjutkan studinya di Singapore. Dan dia berhasil.

Laki-laki itu sempat menghubungiku dua bulan sebelum kelulusan. Kami saling berinteraksi melalui media sosial. Kami saling sharing. Menceritakan banyak hal yang bahkan terkadang tanpa sengaja kita temui. Jujur, beberapa hari saja dekat dengannya. Aku merasa nyaman. Karena dulu, aku sempat tertarik dengannya. Namun, aku mengerti. Apalah arti aku dikehidupannya yang mewah, terkenal, dan banyak digandrungi wanita cantik.

Aku hanya adik kelas biasa, yang mengagumi abang kelas dari jauh. Sampai akhirnya, mimpi menjadi nyata. Awal tak percaya saat ku lihat pesan singkat masuk di akun WA milikku. Ya, sang malam yang selalu ku rindukan.

Terus menerus chating. Sampai akhirnya kami membicarakan hal yang serius. Laki-laki itu menginginkanku untuk menjadi kekasihnya. Hati dan logikaku tak dapat bersatu. Hatiku berkata 'ya' sementara otakku berkata 'tidak'.

Alasanku jelas. Sebentar lagi ia akan lulus SMA. Dan ia akan berjuang test untuk dapat melanjutkan studi di Singapore. Dan apabila ia lulus, kami akan menjalanin hubungan jarak jauh. Ku maklumi jika kami hanya berbeda kota atau pulau. Masalahnya adalah kami berbeda negara. Bagaimana aku bisa bertahan? Ralat. Bagaimana kami bisa bertahan? Aku tau bagaimana latar belakang Mario -nama laki-laki itu-. Dia adalah laki-laki tampan yang banyak diidam-idamkan wanita. Hatiku menyimpan ketakutan jika suatu saat hubungan kami hancur karena orang ketiga.

Aku menghela nafas panjang. Jika ku ingat saat itu, ingin sekali ku ulang dan berkata ‘iya’. Karena hingga detik ini, ada hal yang mengganjal setiap kali ku teringat tentang itu. Ya, hatiku memberontak pertanda ku menyesal. Entahlah…

***

“Nggak mau meninggalkan tanda tangan di bajuku?” Ujar Mario menepuk pundakku.

Dengan ragu, ku tuliskan tanda tanganku di baju putih abu-abu miliknya. Lengkap dengan nama panjangku. Aku tersenyum menatap wajahnya dengan sangat dekat. Senang dan sedih. Ada sesak saat aku tau hari ini adalah hari terakhir aku melihat senyumnya dan mata indahnya. Entah kami akan bertemu lagi atau tidak sama sekali. Entah kami akan saling ingat atau tidak. Entah kami akan saling merindu atau tidak.

“Kita jalanin semua seperti ini ya, Cha. Jika kamu mampu, kamu tunggu aku. Jika tidak, lupakan semua.”

Aku terdiam. Mataku berkaca dan ku tahan dengan senyuman getir. Jika aku mampu. Apa kau akan ingat dengan janjimu? Apa kau akan menoleh kepadaku di saat kita bertemu? Apa kau akan sehangat sekarang jika kita kembali dipertemukan?

***

Mario. Hingga detik ini aku masih mampu menunggumu. Entah sampai kapan. Namun, ada hal yang mengganjal di tengah penantianku. Ada banyak pertanyaan yang ingin ku sampaikan kepadamu. Jika aku mampu menantimu sampai saat kau kembali. Akankah kau ingat akan janji dulu? Ini pertanyaan yang inginku tanyakan padamu, Rio.

END

Jumat, 16 Oktober 2015

Coretan tanpa Judul

02 April 1997

Tangisan bayi mungil menyeruak di sebuah ruangan yang cukup besar. Tangisannya bersautan dengan suara adzan subuh. Terlahir dengan sangat sehat, bayi yang berjenis kelamin perempuan. Bayi yang selalu ditunggu kehadirannya. Bayi yang diharapkan mampu memberikan kehangatan dalam keluarga kecil. Sang putri yang menjadi harapan satu-satunya.

Waktu berjalan. Dan sang bayi mungil itu tumbuh menjadi gadis yang ramah dan periang. Tumbuh di keluarga sederhana yang merawatnya dengan penuh cinta. Sampai akhirnya, masa remajanya ia lewati tanpa sosok Ayah di sampingnya. Gadis itu berubah menjadi rapuh namun menyembunyikan semuanya dibalik senyuman yang terus menegarkan kehidupannya.



Namanya, Ayu Novita Hasan. Gadis manis yang menyembunyikan mata indahnya di balik kaca mata minus. Bayi mungil yang kini telah beranjak dewasa. Ia penikmat langit malam dan penikmat sastra bertema cinta. Dan ia baru saja melanjutkan studinya di Universitas Tanjungpura Pontianak dengan prodi Ilmu Politik. Bertentangan jauh dari hobbynya.

Ayu -biasa gadis itu dipanggil- pribadi yang menyenangkan dan mudah bergaul. Sayangnya, dibalik sikap supelnya, ia adalah pribadi yang mudah galau. Mudah sekali merasakan perasaan sesaat dan sangat cepat merasa bosan. Dia memiliki banyak kekurangan. Bagi yang ingin menjadi temannya, beradaptasilah dengan ketidaksempurnaannya.

Gadis berkrudung ini memiliki hobby menulis dan berkeinginan suatu saat nanti ia bisa menerbitkan novel karangannya sendiri. Selain itu, kecintaannya dengan hal yang berbau KOREA ini memiliki mimpi untuk bisa pergi ke negara yang khas dengan ginsengnya.

Semoga beberapa tahun ke depan, mimpi itu akan terwujud. Aamiin ^.^

Selasa, 13 Oktober 2015

Because, I Miss You...

Emang nggak cocok di genre happy, yaa. Belum berani keluar dari zona nyamannya yaitu "sad story". Setiap orang punya jagoan ceritanya masing-masing. Makasih, mau sempatkan baca cerpen-cerpenku. Happy reading ^____^


Petikan senar gitar Alex mengalun syahdu di telinga siapa pun yang mungkin mendengarnya. Alexpun sepertinya menikmati alunan melodi gitar yang ia ciptakan sendiri. Ia menutup matanya ketika memainkan instrument yang ia beri judul, "Because, I Miss You."

Suara gemirisik hujan menemani kesendirian Alex yang saat itu sedang menuliskan sebuah lagu untuk single terbarunya. Alex adalah seorang solois yang mungkin belum terkenal. Ia masih seorang penyanyi cafe yang bekerja di setiap malam di Day Coffee. Alex bermodalkan gitar akustiknya, ia terus menciptakan lagu-lagu yang berarti meski belum dilirik sedikitpun oleh para producer. Alex memiliki wajah manis dengan lesung pipi di wajahnya. Suaranya yang khas juga menambah point plus bakatnya itu. Sayang, sang dewi fortune belum berpihak padanya.

***

Mata Alex terasa berat. Ada sesuatu yang menimpa matanya. Jemari-jemari kecil nan halus menutup matanya dari sisi lain. Alex tersenyum tipis. Ia sudah tau siapa yang melakukan hal jail itu. Seorang gadis yang sangat bermakna dalam hidupnya. Gadis yang sangat cantik dengan kuliat putih mulus, berambut brown dimodel bob yang bernama Alice. Gadis itu mencium pipi Alex dan duduk tepat di sampingnya.

"Love you, Lex." Ucapnya sembari bergelayut manja di pelukkan Alex.

"Love you too, Lice." Jawab Alex sembari mengecup kening Alice.

Alex dan Alice adalah sepasang kekasih yang bertemu saat mereka sedang memberikan persembahan di sebuah gereja. Alex dipertemukan dengan Alice kemudian mereka berduet menyanyikan lagu untuk Tuhan. Saling terpesona dan akhirnya mereka dekat. Kemudian meresmikan diri sebagai seorang kekasih.

Hubungan mereka sudah berjalan selama tiga tahun. Pahit manisnya cerita mereka sudah mereka jalanin sama-sama tanpa ada egoisme atau perusak hubungan lainnya. Sikap manja Alice terkadang membuat Alex menyerah jika mereka bertengkar hebat. Bagi Alex, Alice adalah segalanya.

"Kamu lagi apa, Lex?"

"Buat lagu. Untuk kamu."

"Bisa cepat selesai nggak, Lex? Kira-kira sebelum aku menghadap Tuhan, lagu itu udah selesai belum?"

"Alice, jangan pernah bilang kalau kamu akan pergi menghadap Tuhan. Jangan berkata seolah kamu tidak mampu, Lice."

"Tapi, aku lelah, Lex. Aku capek..."

Alex merengkuh tubuh Alice lebih erat lagi. Seolah ia tidak ingin melepas wanitanya itu pergi menghadap Tuhan. Tidak akan.

"Berjanjilah kau akan sembuh, Lice. Dan kau akan menjadi ibu dari anak-anakku."

***


Alice tampak cantik dengan gaun putih yang melekat di tubuhnya. Riasan di wajahnya pun menyulap dirinya bak seorang ratu. Gaun pengantin yang ia pakai seolah memeluk tubuh rampingnya. Sama halnya dengan Alex. Ia terlihat tampan dengan kemeja putih yang dipadu dengan kemeja hitam. Gereja adalah saksi bisu. Alex berada tepat di sampingnya.

Sayangnya, keindahan itu tidak membawanya ke atas altar. Riasan cantik itu justru membawanya ke singgah sana kerajaan Tuhan yang abadi. Air mata dari setiap tamu beriring dengan doa seolah menghantarnya ke kehidupan yang jauh sempurna. Alex terus  memegang tangan Alice yang dijari manisnya terselip cincin berwarna perak.

Alice menutup matanya dua hari sebelum mereka akan menikah. Tuhan memiliki rencana lain untuk mereka. Kasih sayang Tuhan ternyata lebih besar dari Alex dan menginginkan Alice untuk segera berada di sampingnya. Dua keluarga besar menangisi kepergian Alice yang sebentar lagi akan menjadi nyonya Alex.

Kehidupan Alex menjadi sangat sepi. Hancur sudah impian-impian yang mereka rencanakan selama ini. Yang tertinggal hanya sebait cerita masa lalu yang begitu indah. Kenangan itu ter-reply di pikirannya. Berputar secara berurutan bak sebuah film yang sedang terputar di bioskop. Alex bangkit dari tempatnya semula. Ia menghapus air mata yang sudah begitu banyak ia keluarkan. Ia menarik nafas begitu dalam. Membiarkan udara segar melewati rongga-rongga kosong di dadanya. Ada rasa sakit yang menyesakan dalam dadanya. Ada yang hilang dari tubuhnya yang rapuh itu.

***

Petikkan gitar sendu itu mampu menyentuh hati para fans Alex. Ya, sekarang Alex telah menjadi bintang besar yang terkenal lewat lagu yang ia ciptakan untuk Alice. Semangat hidupnya telah pulih. Meski tak sebahagia dulu, saat ia bersama Alice.

END

Jumat, 09 Oktober 2015

I Love You, Ge...

Jatuh cintaaaaa. Hahaha, gue nggak lagi ngerasain ini sih. Cuman pengen nulisin tema cerita happy aja. Well, merasa kurang baik saat create cerita satu ini. Feel ceritanya emang happy. But, ketika kalian baca, kalian bisa simpulkan ini cerita yang bagaimana. Okay, happy reading.


Matahari pagi ini begitu terik. Padahal jam baru menunjukkan pukul delapan tiga puluh pagi. Cuaca semakin panas ditambah pemandangan yang tidak begitu mengenakkan. Pagi ini, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik atau biasa disingkat FISIP sedang mengadakan Ospek.
 
Yang awalnya aku merasa semangat dengan kegiatan kampus yang bagiku adalah pertama kalinya ini, tiba-tiba down setelah melihat dimana senior membully juniornya. Aku mendesah berat.
 
''Tundukkan wajah kalian! Jangan ada yang pasang wajah nyolot!'' teriak lantang salah satu senior kami.

Karena takut, dengan cepat kami lakukan apa yang diperintahkan.

''Yang telat datang ke kampus, maju ke depan!'' tambah senior yang lain.

Aku tertegun. Mengingat pagi ini aku salah satu mahasiswi yang telat datang ke kampus.

Dengan begitu takutnya, aku keluar dari barisan dan melangkahkan kakiku ke depan. Tatapan senior cewek dihadapanku seakan-akan ingin menerkamku dengan begitu lahap. Detak jantungku berdetak di luar ritme sebenarnya. Kakiku gemetaran.

''Kamu! Sekarang jalan ke arah kak Dimas yang ada disana! SEKARANG!" sekali lagi aku ketakutan dan aku berlalu meninggalkan kakak yang aku tau namanya adalah Kak Alexa.

Di hadapan kak Dimas perasaanku berubah. Bercampur aduk antara bahagia, takut, segan, dan mungkin aku akan nurut apapun yang ia katakan. Wajah kak Dimas super duper manis, dia adalah salah satu senior yang dari aku daftar ulang, aku sudah mengaguminya. Dan sekarang, aku berhadapan dengannya. Nafasku jadi tidak beraturan dibuat senyumnya yang begitu meluluhkan.

Wajahnya mirip dengan seorang Comica yang bernama Ge Pamungkas. Ge adalah seorang artis yang memulai karirnya dari stand up comedi. Dia tidak memiliki kemampuan melawak yang baik menurutku. Tapi, karisma dari wajahnya membuatnya mampu bersaing dengan para komik lain. Karena kemiripan wajah mereka itulah aku menyukainya.

Kak Dimas mendekat ke arahku. Ia menatap wajahku dengan lekat. Aku menunduk. Bukan karena aku takut, aku hanya tak mampu menatap mata bulatnya yang begitu indah. Kak Dimas masih diam. Dia tidak memarahiku sebagaimana Kak Dimas memarahi teman-temanku yang lain.

Tak lama, ku rasakan sebuah tangan mengelus kepalaku. Aku tertegun, dan spontan menghadap ke arah seseorang yang melakukan hal itu. Dan ternyata, orang itu adalah Kak Dimas. Orang yang saat ini melemparkan senyum teramah ke arahku. Kemudian ia berlalu pergi begitu saja, tanpa kata, atau hukuman yang harus aku dapat.

Aku mengejar langkah kakinya.

''Kak, saya tidak dihukum seperti yang lain?''

Kak Dimas tetap melangkah ke sembarang arah. Aku masih mengikutinya dengan tatapan heran.

''Kamu bisa kembali ke barisan.'' jawabnya singkat.

Aku masih menatapnya heran. Ya, meski terselip rasa lega karena tidak mendapat hukuman dari senior dan rasa bahagia karena sempat menatap senyum manisnya.

***

Hari ketiga atau hari terakhir ospek. Senang rasanya semua beban akan berakhir sore ini. Dan kabarnya, senior fisip sudah menyiapkan kesan terakhir untuk kami. Kesan yang tidak akan terlupakan sampai kapanpun. Katanya sih gitu.

Kami diharuskan memakai baju kaus hitam khas anak-anak FISIP. Di akhir acara, senior meminta kami untuk berbaris di lapangan tengah. Masih dengan kondisi yang sama. Dibully, disuruh ini itu, dan buat yang masih aman, hanya disuruh duduk di tempat dengan kepala menunduk. Okay, fine. Ini adalah hari terakhir. Calm down, Echi. Calm down.

Teman-teman seperjuangan yang tadi dibully habis-habisan sudah duduk bersama dengan teman-teman yang hidupnya masih aman. Tak lama, ku lihat Kak Dimas berdiri tegak di hadapan kami. Diikuti oleh beberapa senior yang lain.

''Bagaimana PMB selama 3 hari ini?!'' tanyanya lantang.

Jawaban para maba adalah ''luar biasa!''

''Kami berdiri disini, ingin mengucapkan permintaan maaf jika ada beberapa tindakan kami yang tidak mengenakkan bagi kalian. Ini kami lakukan untuk mengenal secara baik sikap dari junior-junior kami. Dan ini hadiah untuk kalian...''
 
Bulir-bulir sejuk menetes membasahi tubuh kami. Hujan? Bukan. Itu air yang sengaha disemprotkan dari mobil pemadam kebakaran untuk membasahi kami. Beban selama dua hari kemarin rasanya hilang tersipu oleh bulir-bulir air ini. Namun, kesan terbaik selalu membekas dibenak dan pikiran kami.

Kak Dimas menarik tanganku. Menghancurkan kesenanganku bermain dengan hujan buatan ini. Ia menatap mataku dalam. Tangan kuat Kak Dimas, memegang pergelangan tanganku. Jantungku mulai berdetak keluar dari ritmenya. Oh Tuhan.

''Echi, Kakak tau kita belum kenal terlalu jauh. Tapi, kakak cuman mau bilang, kakak suka sama Echi. Biarkan kakak mengenal Echi lebih dekat yaaa.''

Dengan senang hati aku mengangguk. Kita belum pacaran. Hanya sekedar dekat. Dan saling mengenal. Semoga bisa jadian. Hahaha

END

Be Yours

Akhirnya bikin cerita fiksi yang bahagia juga. Kayaknya sih, garing deh. Haha, nggak ngerti apa respon kalian tentang ini. Baiklah, selamat menikmati :D


Aku mengetuk-ngetukan ujung sepatuku ke tanah. Mataku juga sesekali melirik ke arah jam tanganku. Aku gelisah menunggu di tempat keramaian sendiri. Serasa dikelilingi oleh banyak orang asing dengan tatapan aneh. Entah apa yang menahan teman-temanku untuk sampai ke pameran komunitas malam ini.

Aku mendesah berat. Mataku beredar ke penjuru stand-stand atau pintu masuk di setiap sisi stadion ini. Hatiku menggerutu tak jelas. Ini adalah satu-satunya hal yang aku benci, menjanjikan sesuatu yang katanya "tepat waktu" taunya ngaret.

"Hei! Oik, 'kan?" Tanya seorang laki-laki yang datang mengejutkanku.

Aku diam. Mataku hanya menyorotkan tanda tanya tentang laki-laki yang berdiri di hadapanku kali ini.

"Santai aja, kali. Kenalin, gue Yuda. Temennya Imel. Tadi si Imel nelfon gue. Dia bilang, motor dia mogok. Kayaknya bakal telat gitu." Jelasnya.

Aku masih diam. Yuda. Ya, laki-laki itu tersenyum ramah yang justru membuatku sedikit canggung. Bukan karena aku takut atau justru tidak percaya -dengan laki-laki asing-. Lebih tepatnya, aku kagum dengan wajahnya. Yuda sering menjadi topik pembicaraan antara aku dan Imel. Meski aku tidak tau bagaimana Yuda sebenarnya. Dan ini adalah kali pertama aku bertemu dengan orang yang bernama Yuda. Jujur, aku suka.

"Yey! Malah bengong. Ikut gue, yuk! Kita ke stand komunitas gue. Daripada di sini sendiri?"

Aku mengangguk, setuju. Aku mengikuti langkah kakinya.

Yuda bergabung dengan salah satu komunitas burung hantu di Jakarta. Imel sengaja mengajakku ke pameran ini agar aku bisa mengenal Yuda. Bukan hanya sekedar bercerita atau menciptakan gambaran sosok Yuda sendiri.

Aku terlalu asik bermain dengan burung hantu bernama Levy. Tubuh mungilnya membuatku gemes. Meski awalnya takut bermain dengan hewan nocturnal ini. Burung hantu memiliki kesan menakutkan -awalnya- di benakku. Namun, ketika aku bermain dengan burung hantu di komunitas ini, ketakutanku hilang.

Levy adalah jenis burung hantu jenis oriental bay. Burung ini khas Kalimantan. Dan hanya bisa ditemui di pulau yang memiliki julukan Borneo.

"Gimana? Masih takut sama burung hantu?"

Aku menggeleng malu. Masih canggung rasanya banyak bicara dengan Yuda. Kesan pertama aku bertemu dengannya adalah dia tipikel orang yang asik. Mudah bergaul juga dan orangnya ramah. Well, I'll be enjoy with him.

"Minggu depan ada event lagi, nih. Lo ikut ya, Ik."

"Event apaan?"

"Bakal tau sendiri nanti. Si Imel jangan lupa diajak."

***

Minggu berganti bulan. Kami jadi semakin dekat. Kontak via BBM dan bertemu di event-event tertentu, rasa kagumku berubah menjadi rasa suka. Dan berharap hubungan ini bisa berlanjut ke arah yang serius. Sayangnya, hati kecilku masih ragu. Masih banyak yang ku pertimbangkan untuk menjalani hubungan dengan Yuda. Hati dan otakku berjalan tak beriringan.

Imel memintaku untuk tidak terlalu dekat dengan Yuda. Alasan tepatnya aku tidak tau apa. Berusaha berpikir positif, mengingat Imel adalah teman lama Yuda. Ia pasti sudah paham, sikap buruk dan baik dari diri Yuda.

Lalu bagaimana aku bisa menempatkan diriku di posisi stabil? Aku tidak boleh terlalu dekat juga tidak boleh terlalu  acuh. Bagaimana aku bisa berpura-pura tidak nyaman, sementara aku adalah wanita yang mudah merasa nyaman nyaman dengan seseorang? Aku mendesah berat. Baru kali ini rasanya aku galau karena seseorang yang ingin menjadikanku kekasih. Lebih berat rasanya daripada galau ditinggal selingkuh pacar.

Aku menyadarkan diriku sendiri dari pikiran yang memberatkan. Aku bangkit dari pembaringanku. Meraih handukku dan bersiap untuk acara malam ini.

***

Tepuk tangan begitu riuh terdengar saat penampilan dari Jakarta Owl Center usai. Seluruh mata menatap ke arahku. Bertepatan dengan selesainya burung hantu unjuk kebolehan, seseorang datang dengan boneka winnie the pooh di tangannya. Dialah Yuda. Dia memberikanku boneka itu dan mengatakan maukah aku menjadi pacarnya. Tanpa berpikir, aku menjawabnya dengan, "YA". Kini, akan ku jalani semuanya, sampai kan datang kata selesai.


END

Senin, 21 September 2015

Sudahlah...

Galau lagi galau lagi :D
Kapan bikin cerita happy nya? | Kalau kalian pada nanya hal yang seperti ini. Jawabannya adalah belum ada cerita yang bagus untuk diposting di sini. Yahh, meski cerita ini nggak ada bagus-bagusnya sih. Hehe. Udahlah nikmatin aja. Siapa tau bisa jadi pengantar tidur kalian. Baiklah, selamat membaca


''ehh, din.. Ini foto Raga 'kan? Kok sama cewek lain?'' tanya Intan pada Andina.

''Lo masih sama Raga 'kan?'' sambung Dea.

''Gue masih sama dia kok. Cewek itu cuman model dia. Bukan siapa-siapa.'' jawab Andina dengan senyuman yang siapapun mengerti itu senyuman terpaksa.

Selalu mencoba tegar. Itulah yang dirasakan Andina saat di akun Instagram milik Raga tersimpan banyak foto wanita. Raga memang seorang photographer handal. Wajar jika di Instagramnya terpampang banyak foto cewek bak galery seni.

Cemburu? Udah biasa. Tak jarang Raga pun selalu berfoto bersama modelnya. Dalam beragam pose yang lumayan menguras hati Andina. Sekarang hati Andina udah kebal dengan itu semua. Ia mulai terbiasa.

''sering nggak kasih kabar, pemotretan sama cewek sana sini, peluk2 cewek lain. Kok lo sabar sih, Din?'' Ujar Dea.

''gue ngertiin dia kali. Bukannya kalau pacaran harus saling ngerti?''

''Ya, tapi, ini udah jauh dari kenyataan sebenarnya, Din. Udahlah, putusin aja. Masih banyak yang mau sama lo.''

Andina terdiam. Pikirannya menerawang jauh. Ya, dia akui, dirinya memang bodoh. Pacaran dengan seseorang yang bisa dibilang nggak serius sama dia. Tetep bertahan, meski tak dianggap.

Andina bukan tidak bisa melepasnya. Ia hanya tidak ingin menyesal dikemudian hari karena tidak mau menunggu sedikit lebih lama. Bisa saja Raga berubah suatu saat nanti. Semoga.

***

''betah ya nggak kabarin aku selama dua hari ini.'' ucap Andina saat dirinya bertemu dengan Raga.

''aku ada pemotretan di luar kota, Din. Terus kuota aku habis untuk bisa kontak kamu lewat bbm.''

''susah ya keluarin duit berapa ribu untuk nyari kuota? Atau nggak bisa gitu kontak aku pakai hape temen kamu?''

''bukan gitu sayang. Nggak enaklah aku pinjem hape temen untuk ngontak pacar aku.''

''kalau emang aku penting buat kamu. Kamu selalu jadiin aku prioritas! Aku selalu ngertiin kamu, Raga! Kontak kamu, nanyain kabar kamu. Tapi, kamu?! Nihil!''

Raga diam. Mata Andina sedikit berkaca. Ia masih sanggup menahan air matanya untuk tidak jatuh. Karena baginya, laki-laki dihadapannya tidak pantas untuk mendapatkan air matanya. Laki-laki yang tidak dapat menghargai wanita, adalah laki-laki yang tidak pantas dapat penghargaan dari air mata seorang wanita.

Air mata wanita, hanya boleh jatuh untuk seseorang yang patut dihargai. Seseorang yang memang menganggap wanita adalah makhluk yang musti dilindungi. Bukan disakiti.

''Aku mau putus!''

''Putus?! Jangan kayak anak kecil yang ada masalah gini aja minta putus...''

''Sadar, Ga. Aku udah terlalu banyak ngalah sama sikap kamu. Aku capek. Dan sekarang nggak lagi. Semua selesai.''

Raga bangkit dari tempat duduknya. Semua mata orang di cafe menatap ke arah mereka. Andina tidak perduli. Sungguh, amarahnya sudah mencapai puncak dan kesabarannya sudah habis. Ini akhirnya. Raga pergi meninggalkan Andina, sementara Andina menghela nafas lega. Air mata yang sedari tadi ia tahan, perlahan menetes. Bukan air mata kesedihan. Tapi, air mata bahagia.

END

Minggu, 20 September 2015

Sesalku...


datanglah bila engkau menangis 
ceritakan semua yang engkau mau 
percaya padaku aku lelakimu...

Ya, laki-laki yang dulu pernah ada di setiap waktuku. Menghabiskan separuh waktuku dengan tawa dan air mata bahagia. Laki-laki yang berkata, "aku disini untukmu. Menjaga tawamu dan menghapus sedihmu." Kami terus bersama tanpa berpikir caranya berpisah. Kami terus bersama dan memberitahu pada dunia bahwa berdua dengannya aku merasa tenang.

mungkin pelukku tak sehangat senja 
ucapku tak menghapus air mata
tapi ku di sini sebagai lelakimu...

Laki-laki yang tidak pernah menyentuhku demi menghargaiku. Laki-laki yang selalu menenangkanku dengan peluk kalimat dewasanya. Dialah laki-laki yang selalu bersembunyi dibalik penantian dan tidak pernah berharap untuk dicari.

aku lah yang tetap memelukmu erat
saat kau berpikir mungkinkah berpaling

Aku yang dulu mencoba menjaga perasaannya. Mencoba mengerti akan hadirnya. Mencoba menerima sikap baiknya yang sebenarnya berbanding terbalik denganku. Aku coba itu semua untuk lebih menghargai dirinya.
 
aku lah yang nanti menenangkan badai 
agar tetap tegar kau berjalan nanti

Dialah laki-laki yang terus menyertaiku dalam doanya. Yang selalu berkata, "jangan menangis untuk dia yang sedikitpun tidak memperhatikanmu". Dia laki-laki yang terus menyapaku sekalipun ku memusuhinya. Dia yang selalu buatku tenang.  Dialah laki-laki yang saat ini sudah ku lepas untuk pergi. Pergi mencari tempat persinggahan yang baik. Pergi mencari teman hidupnya yang lebih bisa menghargai apa itu penantian. Pergi mencari wanita yang akan menyayanginya tulus tanpa cela.

END

Rabu, 16 September 2015

Pandang Aku...

Terima kasih pembaca setia, yang sudah mau meluangkan waktu untuk mampir di blog yang tidak begitu bagus ini. Lagi-lagi, Ayu memposting cerita sedih nih. Nggak tau sih genre cerita sebenarnya seperti apa. Kalian bisa menilainya sendiri setelah membaca yaaa. Selamat membaca.


Ku tatap mata indah dari sisi yang jauh. Aku tidak punya keberanian lebih untuk menatap mata indah itu secara dekat. Dia adalah gadis yang tanpa sengaja ku temui di ruang tunggu rumah sakit kemarin. Ya, dia yang sedang termenung mengahadap kolam ikan yang disediakan pihak rumah sakit. Entah mengapa, sejak pertemuan yang bahkan tidak saling memperkenalkan diri itu, aku jadi selalu ingin melihat wajah manisnya. Mendekatinya, kemudian menyapanya dan pada akhirnya kami saling mengenal. Tapi, aku tau itu sulit. Mengingat siapa aku, yang dengan beraninya berkenalan dengan gadis manis seperti dia.

Gadis berbola mata indah itu beranjak dari tempat duduknya. Ia tampak kesusahan dengan infus di tangannya dan harus memegangnya sendiri. Aku ikuti langkah kakinya. Aku berniat untuk tau dimana ruangan ia di rawat.

Kulihat ia memasuki ruangan VIP. Aku memutuskan untuk berhenti mengikutinya. Bukan karena takut. Hanya saja, VIP adalah ruangan yang tidak sembarang orang bisa masuk. Daripada aku buat suatu masalah nantinya. Dan buat kacau situasi aman saat ini. Lebih baik aku putar balik.

***

Keesokan harinya, ku lihat gadis itu merintih kesakitan memegang perutnya. Bak seorang pahlawan, aku menghampirinya untuk segera menolongnya. Aku berusaha membopohnya dengan hati-hati. Membawanya ke tempat yang aman atau masuk ke ruang inapnya.

''Jangan bawa aku ke sana...'' ucapnya saat aku membawanya menuju ruang VIP.

''Kenapa?''

''Pokoknya jangan! Dudukan aku di kursi itu.''

Aku mendudukannya di sebuah kursi panjang yang disediakan pihak rumah sakit. Wajahnya masih memancarkan ke sakitan yang aku yakin, itu sangat menyiksa.

''aku panggilin dokter ya.''

''jangan! Kamu disini aja. Ini cuman sakit lambung biasa kok.''

Aku menatap wajahnya yang masih kesakitan. Aku bingung harus melakukan apa.

''Ngapain liat aku kayak gitu?'' aku menggeleng kaku. ''aku cuman habis operasi usus buntu. Dokter memintaku untuk terus berbaring di kamar. Aku bosan, dan memilih untuk keluar. Nggak usah khawatir.''

Aku terkekeh pelan. Dan semenjak saat itu kami menjadi sangat dekat.

***

Sudah banyak hal kami kerjakan sama-sama. Sharing, hang out, bahkan aku juga sering mengantarnya ke sekolah. Sayangnya, kedekatan kami tidak bisa lebih dari sekedar sahabat.
Nilam -nama gadis itu-. Ia menyukai laki-laki lain di sekolahnya. Fadil namanya. Inilah yang selalu menjadi penghalang. Dan akan terus menjadi penghalang sampai rasa suka di hati Nilam terhadap Fadil sirna. Terkadang, di tengah kebersamaan kami, Nilam selalu menceritakan laki-laki di hadapanku. Telingaku terasa panas jika nama Fadil menginterupsi di setiap cerita kami.

Malam ini kami kembali bersantai di lapangan basket sekolahnya. Menikmati pesona langit malam yang bertabur bintang. Menertawakan hal-hal unik yang terjadi hari ini.

''Besok hari ulang tahunnya Fadil. Evan, kamu 'kan cowok. Bagusnya kasih apa ya?'' Fadil lagi. Senyum di wajahku hilang seketika. Moodku hancur.

Aku diam. Suasana berubah menjadi hening. Nilam menatapku. Matanya seolah merengek meminta pendapatku. Aku mendesah berat. Aku arahkan wajahnya yang sedari tadi mengarah ke wajahku, menatap bintang yang jauh di langit sana.

''Nil, di antara ribuan bintang di sana, mana yang kamu pilih?''

''Yang paling terang, lah.''

Aku tersenyum mengejek. Ku tatap wajahnya yang masih menatap sendu langit malam. ''Sesekali menengoklah ke arah bintang yang memiliki sinar yang redup. Bintang itu selayaknya kasih sayang seseorang. Yang begitu terang, belum tentu tulus. Yang selalu kamu puji-puji belum tentu orang yang pantas untuk dipuji. Sementara, bintang yang memiliki cahaya redup, adalah bintang yang paling tulus. Jangan abaikan dia, dia adalah bintang yang selalu merasa sakit saat mendengar bintang lain disebut, dia adalah bintang yang selalu iri dengan bintang yang kau kagumi. Kau tau? Itu adalah aku, Nil.''

Aku berlalu meninggalkan Nilam begitu saja. Setelah pengakuan malam itu, aku kembali menjadi pengagum rahasianya. Kembali mengangumi mata indahnya dari jauh. Memilih untuk mundur secara perlahan.

END

Selasa, 15 September 2015

Shadow of You...

“Terima kasih, Bu.”

Aku membuka pintu kamar baruku. Ya,aku adalah seorang mahasiswi yang baru saja pindah kost. Bosan dengan suasana kost lama, sampai akhirnya aku memutuskan pindah ke tempat yang lebih nyaman dari yang sebelumnya. Dan kost inilah pilihanku.

Ku hempaskan badanku di sebuah kasur yang tidak empuk dan juga tidak keras ini. Sedikit merenggakan persendianku. Tulang-tulang badanku terasa remuk. Mengingat aku mengangkat barang-barangku sendiri ke sini. Aku menghela nafas panjang. Mataku memandang langit kamar ini lekat-lekat. Perlahan,  mataku terpejam. Dan aku terlelap dalam buaian angin yang menerobos masuk jendela kamarku.

***

Aku dibangunkan oleh petikan gitar yang mengalun lembut di telingaku. Dari suaranya, alunan gitar itu sangat dekat dengan kamarku. Aku memutuskan untuk segera keluar dan mencari sumber suara gitar yang juga diiringi dengan suara khas laki-laki. Begitu merdu.

Aku dikejutkan oleh seorang laki-laki yang duduk di plafon rumah dengan sebuah gitar akustik di tangannya. Ia memainkan gitar  itu dengan penuh perasaan. Tampak dari tubuhnya yang ikut mengalun seiring suara petik gitar. Aku mencoba mendekat. Hanya ingin tau siapa laki-laki yang membuatku jatuh cinta dengan lagu yang –aku rasa– diciptakannya sendiri.

Alunan gitar itu berhenti dengan intro penutup yang sempurna.

“Wow, perfect. The perfect’s play.”

Ia menatapku. Tersenyum dengan begitu ramah dan seolah ia mengenal siapa aku. Aku mendekat ke arahnya. Dan duduk di samping tubuhnya yang lumayan proporsional.

“Lagunya ciptaan sendiri?” Tanyaku. Aku terlalu hyperactive mengomentari alunan gitar dan lagu yang ia mainkan.

“Yaa. Itu lagu ciptaanku.”

“Kenapa tentang kematian?”

Dia tersenyum. Matanya memandang lekat langit luas. Ia membuang nafasnya berat. Seolah ada yang tidak dapat ia ceritakan. Ku pandang lekat wajahnya, begitu manis dengan rambut yang sedikit panjang namun rapi dan terawat. Hidungnya yang mancung, mata yang menyejukan, ditambah suara yang merdu saat sebuah lagu ia nyanyikan dengan begitu sempurna.

Siapakah gerangan laki-laki di sampingku ini. Dia berada di kost yang ku tempati saat ini. Sementara, yang aku tau, kost yang aku tempati adalah kost khusus putri. Ingin bertanya lebih jauh, namun dari pertanyaan  pertama tadi ia tampak berat untuk memberikan jawabannya.

Aku berniat untuk meninggalkannya. Biarlah mungkin ia sedang tidak ingin diganggu. Aku beranjak dari posisi dudukku.

“Jangan pergi…”

Suaranya menahanku.

“Ada banyak hal yang ingin aku ceritakan olehmu…”

Aku membalikan badanku. Menatap tubuhnya yang masih membelakangiku.

“Aku bukan laki-laki baik, Nara.”

Aku mulai heran. Aku tidak mengerti maksud dari pernyataannya. Aku juga tidak tau, dari mana ia mengetahui namaku. Aku masih diam di balik tubuhnya. Menatapnya dengan penuh arti. Membiarkannya perlahan menceritakan apa yang ia rasakan.

“Aku menciptakan lagu ini satu hari sebelum semuanya berakhir. Aku hanya ingin dia tau, bahwa aku tidak ingin meninggalkannya, aku ingin terus bersamanya. Sayangnya, Tuhan punya rencana lain untukku…”

Ia beranjak dari duduknya. Menatap tubuhku yang masih menatapnya heran. Perlahan ia mendekat. Dan aku terdiam kaku.

“Wanita yang aku sayang, dengan tega mengkhianati diriku sendiri. Seseorang yang aku percaya, yang –sungguh– aku sangat berharap ia akan menjadi masa depan untukku, tega menghancurkan semua mimpiku. Dan kost ini adalah saksi bisunya, Nara. Ia membawa laki-laki lain ke dalam hubungan ini. Berkencan tanpa sepengetahuanku di kamar itu. Ya, kamar yang kamu tempati, Nara. Dalam amarah, aku tampar pipi yang selalu ku belai saat ia merajuk. Dalam amarah, aku jambak rambut yang selalu aku sentuh dan ku sisipkan di balik telinganya. Seketika itu…”

Perlahan, air mata itu mengalir membasahi pipinya. Kini aku mulai mengerti, aku pernah mendengar cerita ini sebelumnya dari temanku sebelum aku pindah ke kost ini.

“Jadi, kamu…”

“Ya, Nara.”

Aku ingin menyetuh pipinya yang basah oleh air mata itu, namun tidak bisa. Aku sadar, bahwa dunia kami berbeda. Dan aku tidak mungkin bisa menyentuh tubuhnya yang sebenarnya tidak ada. Air mataku perlahan jatuh. Aku terisak hingga tidak bisa mengontrol diriku sendiri.

***

Aku terbangun dengan wajahku yang basah. Aku menghapus air mata yang membasahi wajahku dan berlari keluar kamarku. Aku hanya mendapati bayangan laki-laki yang ku temui dalam mimpiku tadi. Sayang, aku tidak sempat menanyai siapa namanya. Yang jelas, ia sudah memperdengarkan aku lagu yang ia ciptakan. Dan itu saja sudah cukup bagiku.