Senin, 28 November 2016

Teruntuk Senja

Senja. Nama gadis manis yang menjadi tokoh utama sebuah kisah ketika hati yang semula yakin, mulai goyah. Perawakannya bertubuh mungil, namun berisi. Wajahnya yang manis dengan lesung pipi di kedua sudut pipinya. Teduh saat melihat kerudung yang ia gunakan selalu pas membalut auratnya.

Senja. Ia seorang gadis berdarah minang. Ayah dan Ibunya adalah orang asli Padang. Dengan tatanan agama yang begitu kuat mengakar dan tumbuh dalam jiwanya. Didikan itulah yang kini membawanya menjadi seorang mahasiswi di Perguruan Tinggi Negeri di kotanya dengan jurusan pendidikan bahasa Inggris.

Senja. Ia kini tengah dekat dengan seorang pria bernama Doni. Mas Doni, begitu ia memanggilnya. Seorang guru di salah satu sekolah menengah atas di daerahnya. Namun, hubungan itu belum dapat dilanjutkan ke jenjang yang lebih serius, lantaran adanya bayangan masa lalu yang membayang di benak Senja.

Di suatu senja, di tepian sungai, Senja dan Doni duduk berdua. Memandang hamparan arus lembut aliran sungai dengan syahdunya angin yang berhembus. Senja menatap nanar jingga penghantar mentari beristirahat di peradaban. Berganti tugas pada sang bulan yang bekerja separuh hati di gelapnya malam.

"Kemarin, Senja sempat mampir ke rumah, Mas..." Suara parau itu memecah keheningan. "Dan Senja melihat, ada Kak Rosa di sana..." Lanjutnya.

Doni masih terdiam. Ia mendesah berat.

"Kenapa tidak memberitahuku, atau sedikit bercerita tentang pertemuan kemarin?" Senja kembali berbicara.

"Mas hanya tidak ingin membicarakannya. Mas menjaga perasaan Senja." Jawab Doni.

"Dia datang untuk meminta Mas kembali, bukan?"

Doni kembali diam.

"Maaf, jika aku lancang mendengar percapakan kalian." Mata indah itu mulai menampakan air bening yang masih bisa ditampung pelupuk matanya.

"Dia memang meminta Mas untuk kembali. Tapi, Mas menolak. Mas sudah punya kamu, Senja." Doni masih tenang menanggapi semua pertanyaan Senja.

"Hubungan kita baru berjalan dua bulan. Lepaskan jika memang ingin. Melupakan sebuah perasaan lama bukan hal mudah, terlebih kalian sudah banyak menghabiskan waktu bersama. Kembalilah, Mas."

Setetes air bening itu akhirnya jatuh. Membasahi pipi lembut sang tokoh utama.

Semenjak hubungan itu ada, Senja menyimpan ragu akan hati pria yang kini ada dihadapannya. Pria itu baru saja dikhianati oleh wanita yang sudah menemaninya selama setahun. Bahkan mereka sudah merencanakan sebuah pernikahan. Tapi, kemudian hancur lantaran orang ketiga yang hadir di antara keduanya. Wanita itu pergi meninggalkan Doni begitu saja.

Dan kini hadir meminta Doni untuk kembali saat Doni sudah bersama Senja.

"Bukankah kedua keluarga kalian sudah setuju? Cerita kalian masih bisa diperbaiki. Kalian tinggal hapus tulisan buruk, kemudian perbaiki lagi." Lanjut Senja.

"Sayangnya, cerita ini bukan tentang menulis sebuah sastra bertema cinta. Yang mudah di hapus, kemudian diketik lagi dengan cerita yang lebih menarik. Ini tentang sebuah perasaan yang sempat hancur oleh seseorang. Kemudian orang itu kembali dan meminta untuk memperbaiki hati yang telah hancur. Tidak semudah itu Senja. Aku menyatukan lagi kepingan hati yang hancur itu sendiri, yang kemudian dibantu oleh Senja yang meredupkan keletihanku."

"Tapi, orang tuaku tidak menginginkan kita menikah, Mas. Pergilah bersama dia yang lebih pasti."

"Aku akan berusaha keras agar kedua orang tuamu, menyetujui kita. Aku akan berusaha. Tapi, aku tidak bisa berusaha sendiri, Senja. Aku butuh Senja yang menguatkanku."

Senja terdiam. Isaknya memecahkan keheningan jingga yang merangkak hitam. Suara adzan maghrib, terdengar perlahan.

"Senja, aku sudah lelah. Lelah dengan semua cerita cinta yang berakhir sama. Yang berakhir menyakitkan. Yang aku butuhkan sekarang adalah rumah untukku beristirahat dengan tenang. Rumah tempatku mengadu senang dan susahku, rumah tempat aku berteduh, dan aku harap rumah itu kamu Senja. Kita berjuang bersama-sama. Patahkan ragumu, dan yakinlah bersamaku."

END

Sabtu, 26 November 2016

Pacaran = numpang hidup

Pacaran=numpang hidup??

Oke, kenapa gue ambil judul ini? *think*
Cukup menarik, 'kan? Hehe

Sebelumnya, gue mau kasih info dulu, kenapa dengan jarak waktu yang begitu lama, gue nggak ngepost beberapa short story or sad story yang biasa gue tampilin di blog gue. Alasannya, selama ini laptop gue rusak -sampe sekarang- dan gue belum punya uang yang cukup buat benerin atau beli laptop yang baru *sedih*. Dan yang namanya nulis nggak semudah yang dibayangin, bener-bener harus ngelawan mood dan berpikir gimana caranya bisa main dengan beribu kata. Ngerangkai jadi satu kesatuan kalimat yang indah #ciellahh

Oke, skip.

Nah, kali ini gue mau ngebahas, pacaran sama dengan numpang hidup. Ini tulisan opini gue, bukan fiksi-fiksi seperti yang biasa gue tulis. Oke, buat yang ngerasa dirinya cowok, udah pasti ngerasain banget ini bahasan ada benernya.

Kenapa gue bilang gitu? Ya iyalah, untuk para cowok-cowok yang udah berani mutusin buat macarin anak gadis orang, itu bakal ngerasa yang namanya diporotin abis-abisan sama si Cewek. Makan kesono, lu yang bayarin. Mau ngemil, minta ke lu juga. Sian banget idup lo, ntong.

Buat yang udah baca tulisan ini, jujur aja lo pasti ngerasa bener, 'kan?

Nih yaa. Buat para cewek-cewek *termasuk w*. Pacaran itu bukan tentang numpang idup. Lu pacaran ama bocah ingusan yang duitnya masih minta ama emak bapaknya. Lu pikir enak, setiap makan, bayarin makan lu mulu. #yakagaklah . Sesekalilah lu juga yang kudu bayar. Pacaran itu kan harus saling melengkapi *betulnggak?

Hukum ini sangat berlaku buat kalian para anak rantau. Yang nyari pacar hanya untuk numpang idup. Hello, lu pikir ntu bocah kagak mikir apa, uang jajan seminggu dipake cuman dua tiga harian doang. Haayyoollaahh, cewek-cewek berhenti matre. Iya, gue tau. Emang kodratnya cewek itu terlahir jadi manusia yang morotin kaum lelaki. Cuman, dipikirin lagi, deh. Yang pengen hidup, bukan cuman lu doang. Pacar lu, cowok kesayangan lu, itu juga kepengen idup panjang tanpa beban pikiran.

#buatcewek Cowok bakalan bener-bener seneng, ketika lu sebagai kekasih hatinya yang amat dicinta, bilang gini "Yang, makan kali ini aku yang bayar, ya." Terus ntar si cowok bilang gini, "ahh, nggak usah sayang, biar aku aja yang bayar. Aku kan cowok." Lu sebagai cewek kudu bilang gini, "Sesekali cewek juga harus bayarin makan. Masa cowok mulu."

Beeuuhh, itu cowok lu seneng bukan main. Dapat cewek yang pengertian. Kan jadinya, point plus juga buat lu, neng. Betul kagak?

Dipikirin lagi, direnungin lagi nih kata-kata gue. Terkadang ada benarnya loh. #insyaaAllah oke, sampe sini dulu. Salam Gahol. Dabray!

N.B: kenapa di tulisan ini gue nggak kagak pake kata Pria. Karena, pria itu dirasa sudah cukup mapan untuk bisa menafkahi kekasihnya. Buat yang ngerasa udah jadi seorang Pria dan memiliki pasangan, buruan halalin. Daripada digondol orang. Hehe.

Kamis, 25 Agustus 2016

Kehormatan Cinta



Namanya Rani. Wanita berusia 25 tahun yang bekerja sebagai karyawati di perusahaan swasta. Rani adalah anak perempuan satu-satunya di keluarga. Ia hanya memiliki seorang kakak laki-laki bernama Hadad.

Rani adalah wanita yang ramah, dan elok budi pekertinya. Namun sayang, kisah percintaannya tak seelok dirinya. Rani baru dua minggu menyandang status istri dari Tubagus Hendro Pranoto. Salah satu CEO restaurant terbesar di Jakarta. Sayangny, ia harus menelan pil pahit perceraian yang digugat oleh Bagus sendiri.

Terdengar kabar bahwa sesungguhnya Rani bukanlah seorang perawan ketika menikah dengan Bagus. Ya, perawannya hilang oleh laki-laki yang Bagus tidak tau siapa. Saat berada dipelukannya, istrinya itu bukanlah seorang gadis yang masih perawan.

Merasa dibohongi, keluarga Bagus menggugat cerai Rani tanpa membicarakannya terlebih dulu dengan keluarga Rani. Mendengar hal yang tidak adil ini, Rani sempat di sidang oleh keluarganya. Dan pengakuan hebat terlontar dari bibir mungilnya.

Rani mengakui bahwa ia sudah tidak perawan ketika ia duduk di bangku kelas 2 SMA. Saat itu Rani memang benar-benar terhasut oleh pergaulan bebas karena kedua orang tua dan kakaknya tinggal di Jogja yang mengharuskan ia sekolah di Jakarta.

Amarah besar terlukis jelas di wajah sang ayah. Bagaimana tidak, putrinya yang selalu memberi kesan baik di depan keluarga, rupanya menyimpan hal yang memalukan untuk keluarganya. Sementara sang ibu tak dapat menahan air matanya dan ia sudah beberapa kali pingsan mendengar skandal yang harus dihadapi oleh keluarganya.

Rasa tidak percaya, terpancar di wajah sang Kakak. Rani terkenal anak yang pintar dengan perilaku yang sebenarnya baik-baik saja. Jangankan untuk berbuat seperti itu, untuk berbohong kepada orang tua dalam hal baikpun ia tidak berani. Tapi, kenapa adiknya dapat jatuh kedalam lubang kehancuran seperti ini?

Karena hal memalukan ini, Rani diusir dari rumahnya. Sang ayah tak mampu jika harus memandang wajah anaknya yang bisa membohongi kedua orang tuanya dalam jangka waktu yang cukup lama itu.

"Ayah, Rani mohon Ayah, Rani minta maaf. Rani juga sudah meninggalkan pergaulan bebas itu ketika Rani kuliah, Ayah. Rani sudah berubah! Rani mohon maafkan Rani, Ayah."

"Jangan pernah panggil aku dengan kata ayah lagi. Aku malu mempunyai anak yang mencoreng muka ayahnya sendiri dengan dosa. Mulai detik ini Rani yang aku kenal itu sudah MATI!!!"

Brraakk
Dentuman keras pintu rumah Rani, terhempas di depan wajahnya. Tangisnya pecah. Isaknya menjadi-jadi. Sang ibupun tak dapat berbuat apa-apa lagi. Kakinya lemah, seolah tak mampu menopang tubuhnya lagi.

***

Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Tanpa terasa, Rani sudah sebulan menjanda dan tidak kembali ke rumahnya.

Sang ibu duduk di tepian tempat tidur sembari menatap nanar foto Rani. Hanya itu yang bisa mengobati rindunya terhadap Rani. Ibu mana yang tahan jika harus berpisah dengan anaknya tanpa kabar dan berita. Ibu mana yang tidak gila ketika anak kandungnya sendiri keluar dari rumah dan menjadi orang asing begitu saja karena ulahnya sendiri.

Mata sendu itu kembali menitikkan air mata. Air mata yang terus jatuh semenjak Rani diusir dari rumahnya sendiri. Batinnya terasa terkoyak setiap kali silued perkelahian itu tereplay di otaknya.

Hadad, putra pertamanya, datang menghampirinya dengan sepiring nasi. Bobot tubuh ibunya berkurang karena kejadian ini.

"Bu, ibu makan dulu yaa. Ibu belum ada makan, loh. Biar Hadad suapin ya, Bu."

"Ibu nggak ada nafsu makan, Dad. Ibu kepikiran adekmu terus." 

"Bu, Rani itu udah besar. Dia bisa mengurus dirinya sendiri, Bu. Biarkan dia di luar dulu sampai hati Ayah luluh lagi, Bu."

Sang Ibu bergeming. Dari sudut matanya, kembali setitik embun siratan luka hatinya membasahi pipi dengan beberapa kerutan di sana. Hadad semakin iba melihat sang Ibu meratap rindu terhadap adiknya.

"Sekarang Ibu makan dulu ya. Biar kalau Rani kesini, Ibu tetap dalam keadaan sehat."
Hadad mencoba sekali lagi membujuk Ibunya. Beruntung sang Ibu mau membuka mulutnya untuk memasukkan beberapa sendok nasi ke mulutnya.

***
Rani lebih memilih mengasingkan dirinya kesebuah desa di Bandung. Desa tersebut sudah cukup maju. Rani mengontrak sebuah rumah petak dengan harga yang cukup terjangkau. Ia harus memulai hidupnya dari awal. Sendiri. Tanpa suami, ayah, ibu, atau abangnya.

Ironi. Rani harus diceraikan oleh suaminya karena keperawanan yang telah hilang. Dicampakan oleh kedua orang tuanya dan disisihkan oleh keluarga besarnya. Jauh berbeda dengan perkiraannya dulu. Di mana suatu keluarga tidak akan mempermasalahkan sebuah keperawanan. Dan ia pikir pasangannya akan mengerti. Ternyata tidak. Perkiraannya salah besar. Kenikmatan yang dulu ia rasakan benar-benar menjadi boomerang kehancuran untuknya.

Itu mungkin cerita lama. Namun, bekas dan sesal itu akan tetap ada. Kesucian seorang wanita layaknya kain putih, yang apabila sudah ternodai oleh air keruh, kain tersebut tidak akan bisa bersih seperti semula sekalipun dibersihkan di air bening. Begitulah perumpaan yang tepat.

Kini Rani hanya dapat berserah. Menjadi janda seumur hidup atau mendapatkan suami yang mau menerima ia apa adanya.

Rani menjadi sebuah penjaga toko di sebuah toko baju milik orang Padang. Beruntung keluarga orang Padang tersebut memiliki pribadi yang baik. Rani dapat merasakan hadirnya keluarga baru jika berada di tengah-tengah keluarga kecil bosnya.

Waktu terus berjalan. Rani sepertinya betah menjadi seorang pramuniaga di toko pakaian itu. Gajinya juga lumayan. Dan yang terpenting baginya adalah keramahan keluarga bosnya.

Di sebuah kesempatan, Rani bertemu oleh seorang pelanggan bernama Hanafi. Seorang guru agama di salah satu SMA di desa itu. Saat itu Hanafi mencari sebuah pakaian bayi dan kebetulan Ranilah yang melayaninya.

Diakui Hanafi, bahwa ia jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Rani. Entah bagaimana hal itu bisa terjadi, Hanan-panggilan laki-laki itu- bisa merasakan getaran hebat dalam hatinya ketika melihat wajah Rani dengan lembutnya melayaninya sebagai pembeli.

Tak heran, Hanan jadi suka pergi berbelanja di toko tempat Rani bekerja. Kebetulan ia suka menyantuni anak yatim yang tengah membutuhkan pakaian layak. Karena ia hanya berdua dengan sang Ibu, Hanan menyisihkan uangnya untuk membelikan baju baru yang akan ia berikan pada anak yatim itu.

Singkat cerita. Rani merespon sedikit demi sedikit perasaan Hanan. Jujur saja, Rani memiliki trauma terhadap mencintai seseorang. Namun entah mengapa, ketika bersama Hanafi rasa trauma itu perlahan terkikis.

Hanan merupakan calon imam yang baik menurut Rani. Sholatnya yang tidak pernah dan beberapa syariat islam yang selalu ia berikan ke Rani.

"Rani..." panggil Hanan.
"Iya, Han."
"Mau sampai kapan menjalani hubungan tanpa status? Sejujurnya kita tidak boleh berjalan berdua seperti ini. Harus ada orang lain di sekitar kita untuk menjaga perzinahan atau fitnah yang terjadi, Ran."

Rani diam. Pikirannya kini berkecamuk. Hanafi memang pria yang baik. Dewasa, dan bisa dikatakan cukup mapan. Hanya saja, kegagalan di masa lalu membuat ia harus berhati-hati mengambil keputusan. Terlebih lagi, Rani adalah seorang janda.

"Jika kamu butuh waktu, tidak apa-apa. Tapi, biarkan aku bertemu dengan orang tuamu. Bagaimana?"

Orang tua? Pernyataan Hanafi membuatnya semakin bingung. Bagaimana bisa ia menemui orang tua Rani, sementara, sang ayah saja belum mau menerima dirinya.

"Kenapa diam, Ran?"

Hanafi memang belum mengetahui bagaimana keadaan keluarga Rani sesungguhnya. Yang Hanafi tau, Rani adalah seorang janda muda yang baru bercerai sebulan yang lalu. Ya, mungkin ini saatnya Rani harus menceritakan semuanya pada Hanafi.

"Han, bawa aku ke danau. Ada yang harus aku ceritakan padamu."
"Baiklah."

Jantungnya kink berdetak tak beraturan. Otaknya mulai berpikir bagaimana kalimat yang tepat untuk menjelaskan keadaanya pada Hanafi.

Hanafi memarkirkan motornya di tempat khusus. Rani berjalan lebih dulu meninggalkan Hanan yang masih memarkirkan motornya. Menatap hamparan danau di bawah pepohonan rindang. Angin bertiup syahdu. Matahari sore itupun tidak begitu terik.

"Ada apa, Ran?" Tanya Hanan yang kini berdiri tepat di sampingnya.

Rani menarik nafas dalam-dalam. Membiarkan oksigen masuk di rongga paru-parunya. Dan memberikan sedikit ketenangan untuknya.

"Sebenarnya..." Rani menatap wajah laki-laki yang ia sayangi itu. "Aku bercerai dengan suamiku satu bulan yang lalu. Alasan suamiku menceraikanku adalah ketidak perawanan aku di malam pertama kami. Aku telah memberikan perawanku kepada laki-laki yang menjadi pacarku di waktu SMA. Bukan suamiku."

"Lantas?"

"Aku bukanlah wanita baik-baik, Han. Bahkan karena rendahnya akhlakku, aku diusir dari rumah, aku tidak lagi dianggap sebagai anak oleh mereka. Aku adalah wanita hina, Han. Dan kamu tidak pantas mendapatkan istri sepertiku."

Air mata itu kembali menetes di sudut matanya. Air mata yang biasanya mengalir hanya pada saat ia berdoa atau akan tertidur kala malam. Air mata yang kini jatuh di depan laki-laki yang baru ia kenal. Laki-laki yang mencintainya dan serius dengannya.

"Rani, masa lalu adalah cerita lampau yang tidak akan pernah ada di masa depan. Masa lalu adalah sebuah perjalanan layaknya jalan setapak menuju masa depan yang lebih baik. Aku tidak perduli bagaimana masa lalumu. Bagaimana statusmu. Bahkan keluargaku tidak mempermasalahkan itu. Aku akan menerimamu apa adanya, Rani. Masa lalumu biarlah menjadi masa lalu yang pahit untuk dikenang. Jadikan aku masa depanmu yang akan menuliskan cerita indah untukmu."

Mata Hanafi menunjukkan sebuah ketulusan. Binar matanya meneduhkan hati Rani yang saat itu tengah kalut. Cacian ayahnya, hinaan yang diberikan oleh ibu mertuanya, terputas kembali di otaknya. Dan saat melihat ketulusan yang terpancar di mata Hanafi menenangkan semuanya.

"Masalah orang tuamu. Kita akan temui bersama. Semarah-marahnya orang tua, tetap akan ada rasa iba dan maaf untuk anaknya. Karena seorang anak merupakan darah daging kedua orang tuanya. Tidak akan ada istilah mantan anak, bukan?"

Tangan lembut Hanafi menyentuh pipi yang telah basah oleh air mata itu. Sekali lagi, Rani merasakan kehangatan yang tulus. Hanafi benar. Mungkin kehadirannya bersama Hanafi ke rumah, kemudian meminta maaf, ayahnya akan memaafkannya dan memperbaiki segalanya.

*** Rani dan Hanafi pamit untuk pergi kembali ke Jakarta. Tekad Rani sudah bulat untuk menemui Ayahnya. Ia tidak perduli bagaimana sang Ayah merespon kedatangannya. Toh, di sampingnya kini ada Hanafi. Laki-laki yang datang saat sepi melandanya. Laki-laki yang datang untuk menguatkannya. Laki-laki yang selalu ada dalam kiasan doa di sepertiga malamnya. Ya, Hanafi adalah calon imam yang dikirim Tuhan untuknya. Semoga Allah meridhoi laki-laki ini, seiring dengan ridho orang tuanya.

Rani dan Hanafi tiba dirumah sederhana milik orang tua Rani. Rumah sederhana yang tampak sepi dari luar. Apakah tidak ada orang di rumah?

"Assallamu'alaikum..." Suara salam itu terdengar parau. Rani menahan tangis di sanubarinya. Ia merasa ragu untuk masuk ke dalam rumahnya sendiri.

"Wa'allaikumsalam..." Wanita cantik berusia 30 tahun keluar dari balik pintu utama. "Rani..." serunya

"Mbak Maya..."
Wanita bernama Maya yang tidak lain adalah istri dari Hadad menjadi orang pertama yang menyaksikan kedatangan Rani.

Suasana haru menjadi latar sore itu. Hanafi hanya dapat berdiri dari sisi lain melihat dua wanita di hadapannya tengah melepas rindu.

"Apa kabar kamu, Dek."
"Baik, Mbak. Ibu, Ayah, dan Mas Hadad ada?"
"Ada. Ibu ada. Tapi, Mas Hadad dan Ayah sedang pergi. Ayo, masuk, Dek."

Rani tersenyum pada Hanafi. Pertanda Rani menyuruhnya untuk masuk. Hanafi membalas senyuman itu. Ia menarik nafasnya panjang, sembari melangkah menuju rumah sederhana yang akan sering ia kunjungi nantinya.

Mbak Maya menuntunnya menuju kamar kedua orang tuanya. Semenjak kepergian Rani dari rumah itu, Ibunya memilih untuk mengurung diri di kamar. Rasanya, berinteraksi dengan orang rumah hanya akan mengingatkan ia pada Rani.

Rani melangkah perlahan memasuki kamar orang tuanya. Ia melihat sang Ibu tengah duduk di tepian tempat tidur dengan menghadap jendela. Sebulan bukanlah waktu yang sebentar jika harus dihabiskan di dalam kamar tua itu. Hanya menatap matahari yang berjalan ke peristirahatannya kala senja sehingga berganti malam, sembari menyairkan doa yang tersirat rindu. Ya, itulah yang dilakukan ibunya kala Rani harus meninggalkan rumah yang sudah ada jauh sebelum Rani lahir.

"Ibu..." suara parau yang kembali memecah keheningan sore itu.

Ujung mata Rani kembali berair. Menetes perlahan membasahi pipinya. Sang ibu bergeming.

"Ibu..." suara parau itu terus menerus terdengar dan semakin jelas. Hanya saja, Ibunya belum mau memalingkan wajahnya ke sumber suara.

"Rani pulang, Bu..."

Perlahan, wajah tua itu mulai berpaling. Ia mulai mencari sumber suara yang menjadi perhatian gendang telinganya kini.

Rani berada tepat di depan wajahnya. Ya, Rani. Putrinya yang meninggalkan ia sebulan yang lalu. Putrinya yang menjadi asing hanya dalam hitungan detik karena dosa yang ia lakukan. Rani bersempuh di bawah kaki sang Ibu. Rindu itu pecah seiring tangis yang meraung di sudut kamar tua. Tiada yang lebih hebat dari rindu Ibu dan Putrinya.

Sang Ibu memeluk putrinya dengan begitu erat. Rasanya, apapun yang terjadi, ia tidak akan mau melepaskan putrinya begitu saja. Tidak akan lagi ia biarkan putrinya pergi meninggalkan ia dalam gejolak rindu yang menyiksa.

Mbak Maya dan Hanafi memutuskan untuk membiarkan kedua anak dan ibu itu saling melepas rindu. Mbak Maya membuatkan secangkir teh hangat untuk Hanafi yang sedang dudum manis di ruang tamu. Pandangan mata Hanafi beredar ke seluruh sudut rumah. Terdapat beberapa figura yang memperlihatkan betapa bahagianya keluarga ini. Hanya saja, ia tidak melihat foto Rani di pajang di ruangan itu.

"Foto Rani udah dibuang sama Ayah. Sepertinya, Ayah benar-benar kecewa dan marah dengan, Rani." Perjelas Mbak Maya sembari meletakkan secangkir teh hangat dan kue kering ke atas meja kaca.

"Terima kasih, Mbak. Mbak seperti paham apa yang saya pikirkan."
"Kebanyakan tamu mempertanyakan hal tersebut. Selama sebulan kami harus menjawab dengan kalimat yang sama."

Hanafi mengangguk paham. "Oiya, Mbak. Saya Hanafi. Teman Rani dari Bandung."

"Jadi selama ini Rani di Bandung? Apa selama di sana Rani baik-baik saja. Ia merepotkan kamu?"
"Apa selama ini Rani tidak memberi kabar keluarga di sini, Mbak?"

Mbak Maya hanya menggeleng tegas. "Rani paham betul Ayahnya seperti apa. Mungkin bagaimanapun alasannya, Ayahnya tidak akan memperbolehkan kami untuk berbicara dengan Rani."

Tak lama Rani keluar bersama sang Ibu. Rindu mereka telah terbayar lunas. Mereka juga sudah mulai tenang. Dan bermaksud ikut menimbrung di ruang tamu.

"Inikah laki-laki itu, Rani?" Tanya sang ibu.
"Iya, Bu. Namanya Hanafi. Rencananya kami akan segera menikah. Dan memohon restu kepada Ibu, Ayah, Mas Hadad, dan Mbak Maya. Sekaligus memperbaiki hubungan kita, Bu."

Sang Ibu paham. Ia menyuruh anaknya untuk sabar menunggu sang pulang. Terdengar suara motor bebek yang biasa dipakai oleh Ayahnya. Sang Ayah langsung memasuki rumah bersama Hadad dan terkejut kala melihat anak yang telah mengecawakannya hadir di hadapannya kini.

"Rani!"
"Assalamua'alaikum, Ayah." Rani meraih tangan kanan Ayahnya. Namun sang ayah menepisnya begitu saja.

"Untuk apa kau kemari lagi?! Belum puas kau mempermalukan ayah dan keluarga ini?! Sudah sangat nyaman rumah ini tanpa kehadiran anak pembuat malu sepertimu!" Amarah sang memuncak begitu saja.

Tangis Rani kembali pecah. Ketakutannya terealisasi dengan begitu cepat. Hadad selaku anak tertua hanya dapat menahan emosi sang Ayah dengan membawanya menuju kamar utama.

Disusul oleh sang Ibu yang berharap dapat meredam amarah sang ayah.

"Yah, sudahlah. Jangan begitu larut dalam kebencian. Bagaimanapun, Rani anak kita. Rani kesini untuk meminta maaf dan mengenalkan laki-laki yang tulus mencintai dia apadanya, Yah."
"Laki-laki mana yang mau menerima wanita murah seperti dia itu, Bu!"
"Yah, Ibu mohon. Tolong maafkan Rani. Hilangkan egomu. Selama lebih 50 tahun, Ibu percaya sama Ayah, bahwa Ayah adalah kepala keluarga yang baik dan bijaksana. Tolong pikirkan sekali lagi, Yah. Ini juga tidak sepenuhnya kesalahan Rani. Kesalahan kita juga selaku orang tua tidak memperhatikan masa mudanya. Yah, Ibu mohon. Beri Rani kesempatan sekali lagi. Dia itu anak kandung kita. Darag daging kita. Dan munafik jika Ayah tidak rindu oleh putri yang amat ayah sayangi dulu. Tepikan egoismu, Yah."

Bujuk sang Ibu. Sesungguhnya, jauh di batin Ayah terselip rasa rindu dan juga penyesalan karena telah membiarkan putrinya hidup sendiri di luar sana. Sebagai seorang ayah, ia juga sudah gagal dalam membina keluarganya sendiri. Ya, mungkin memaafkan dan menerima putrinya kembali adalah cara untuk memulai semuanya dari awal.

Sang ayah luluh. Ia membimbing tubuh istrinya keluar menuju ruang tamu. Di ruang tamu, ia merengkub putri satu-satunya sembari menitikkan air mata. Dalam dekapan sang ayah pun, Rani menangis. Ia rindu aroma tubuh ayahnya. Ia rindu kehangatan dekap peluk sang ayah.

Inilah akhir dari ironi kehidupan. Tak selamanya yang kita pikirkan akan berjalan sesuai dengan apa yang kita inginkan. Berdoa dan berserah diri kepada Tuhan adalah sebagian kendali kehidupan. Dan tetap menjaga diri menjadi pribadi yang elok dipandang keluarga maupun masyarakat.

End

Kamis, 18 Februari 2016

Peri Kecil

"remas tanganku dan bawa daku pergi bersamamu.."



Langkah kakinya berlarian dengan lugu melewati rerumputan halus di padang yang indah. Gaun pink dengan sayap kecil di belakang, mempercantik tubuh mungilnya. Ia berputar sembari tertawa riang bermain dengan sang angin. Wajah nya yang bersih, rambut hitam panjangnya yang terurai sempurna, menambah keelokkan pada dirinya. Senyumnya. Astaga. Aku meleleh. Aku hanyut dalam senyumnya yang hangat.

Tangan mungilnya, menarik tanganku. Membawaku menari lucu bersamanya. Hamparan rumput hijau bertemankan suasana sore yang indah. Membuatku nyaman dan enggan beranjak pergi meninggalkan gadis mungil ini. Ia begitu bahagia. Membiarkan kaki kecilnya itu bermain dengan rumput-rumput hijau.

Aku berjalan menjauh darinya. Kembali mengamatinya dari sisi yang aku suka. Melihat gaun pinknya berayun kesana kemari mengikuti gerakkannya.

“Peri Kecil…” Begitu aku menjulukinya.

Ia hanya dapat aku temukan saat aku terlelap dalam tidur nyenyakku. Aku tidak pernah tau siapa namanya. Yang aku tau, karenanya aku selalu ingin di tempat yang terlihat seperti surga. Bermain bersamanya. Melewati hari-hariku bersamanya.

“Damar…” Panggil Bundaku.

Peri kecil itu menghentikan langkahnya. Ia menatapku. Menatapku dengan rasa takut. Tak lama, peri kecil itu berlari dan menghilang.

Aku pun hanya melihat cahaya yang menyilaukan mataku. Aku membuka mataku saat aku yakin tidak ada lagi cahaya menyilaukan itu. Yang ada hanya beberapa peralatan rumah sakit dan selang infuse yang melekat di tanganku.

“Kamu makan dulu, ya…” ucap Ibuku.

Ahh, sial. Aku kembali ke sebuah tempat yang tidak aku suka. Neraka. Tanpa ada peri kecil. Yang ada hanya iblis-iblis jahat berbentuk kapsul dan tablet.

Aku memasang wajah cemberut di depan Ibuku. Ia hanya mengelus kepalaku. Kepalaku yang dulu sempat dihiasi oleh rambut hitam yang harum dan bersih. Sekarang, rambutku perlahan gugur. Dan aku hanya laki-laki botak yang terbaring lemah di rumah sakit.

“Sampai kapan aku di sini, Bunda?” Tanyaku sebelum aku mengunyah makanan hambar khas rumah sakit.

“Sampai kau sembuh.”

“Kapan? Aku bahkan tidak merasakan ada tanda-tanda aku akan sembuh, Bunda. Apa aku akan keluar dari rumah sakit ini setelah peri kecil memanggilku pergi?”

Bunda menatapku iba. Ia terus menyuapiku dengan bubur putih yang didampingi sayuran rebus. Sungguh. Makanan ini adalah makanan terburuk yang selalu aku makan. Tak lama, aku lihat air bening yang jatuh dari ujung mata Bunda. Tuhan, harus sampai kapan aku melihat Bunda menangis seperti ini? Aku hanya anak berusia sepuluh tahun yang tidak mengerti apa-apa. Aku bingung harus bagaimana menghadapi wanita yang sedang menangis. Dengan polos, aku menghapus air mata Bunda. Dengan tanganku yang ringkih dan sedikit gemetar.

Bunda memelukku. Dan aku hanya terdiam tak mengerti apa-apa. Yang aku tau, Bunda hanya terus menangis saat aku merintih kesakitan, yang aku tau tubuhku semakin lama semakin mengecil, rambutku semakin habis, dan tubuhku harus terus menerus merasakan obat yang begitu pahit dan menyakitkan. Aku tidak tau apa yang salah dengan tubuhku bahkan aku juga tidak tau penyakit apa yang sebenarnya aku derita.

“Bunda, jangan terus-terusan nangis dong. Damar ‘kan nggak suka liat Bunda nangis. Damar ada buat salah ya sama Bunda?”

“Nggak, sayang. Kamu nggak ada salah. Berjanjilah untuk tidak memilih peri kecilmu itu ya, Nak. Sesuka apapun kamu dengan peri kecil yang kamu temui itu, jangan pernah duakan cinta Bunda.”

“Bunda, Damar ini masih kecil. Damar nggak mau pacaran sama peri kecil, meskipun Damar suka dengan dia.” Jawabku malu-malu.

Dan Bundaku sedikit tertawa. Meski aku tau, air matanya mengalir semakin banyak.

***

“Damar…”

Peri kecil itu datang lagi. Dengan lugunya, ia berjalan menghampiriku. Ia tersenyum indah di hadapanku. Rambut hitamnya berliuk manja tertiup sang angin seiring dengan gaun pink khasnya. Aku seolah jatuh dalam pesonanya. Tapi, janjiku terhadap Bunda. Aku seolah hampir mengabaikannya.

“Ikutlah denganku, Damar…” Ujarnya dengan manis.

Ia meraih pergelangan tanganku. Dengan lembut aku mencoba menolak rengkuhan tangannya. Dan aku menggeleng dengan pelan.

“Kenapa? Bukankah kau lebih menyukai bermain di sini bersamaku?”

“Aku sudah janji dengan Bunda.”

“Bundamu hanya akan terus menangis jika kamu selalu merintih kesakitan di sampingnya. Jika kamu ikut aku, kamu tidak akan sakit lagi. Dan Bunda pasti bahagia. Kamu mau lihat Bunda terus bahagia, kan?”

Aku diam. Peri kecil itu berkata benar. Toh, Bunda hanya berpura-pura tertawa di sampingku. Sesungguhnya ia hanya menangisiku. Menangisi badan ringkihku. Aku juga lebih bahagia di sini. Bermain bersama peri kecil yang aku suka.

Tangan mungil peri kecil itu terjulur ke arahku. Dengan ramah ia memintaku untuk menggapai tangannya. Aku menarik nafasku panjang. Dan ku raih pergelangan tangan peri kecil itu. Berlari mengikuti langkah kecilnya. Bermain di padang rumput yang luas. Dan mulai berbahagia meski tidak di samping Bunda.

***

"Pergilah jika kau merasa bahagia, Damar. Bunda juga tidak akan tega melihatmu hidup bersama obat-obatan yang hanya membuatmu sakit. Tenanglah di Surga-Nya, Nak.”

Sabtu, 02 Januari 2016

Sayap yang Patah

Gadis itu tersenyum sembari meletakkan secangkir Coffee latte favoritenya di atas meja. Matanya berkaca. Seolah akan ada setitik embun hangat yang membasahi pipinya. Nosya menarik nafasnya perlahan. Seolah suasana sore itu terasa sesak. Di hadapannya, seorang laki-laki menatap matanya penuh arti. Iba lebih tepatnya.

"Jangan pernah hadir di hadapanku hanya untuk menceritakan laki-laki itu." Ucapnya tegas.

Kini matanya menyorot kebencian. Kebencian yang seolah membeku dan tak kan mencair meski kehangatan air mata menyelimuti kebenciannya.

"Aku sudah terlalu muak. Perempuan bodoh yang rela menunggu dan menghabiskan sebagian waktunya hanya untuk dicampakkan. Bahkan binatang sekalipun, akan menyerah ketika penantiannya tidak dihargai." Kalimat lantang itu keluar seiring dengan air mata yang menetes dari sudut matanya.

Laki-laki di hadapannya hanya mampu diam saat melihat gadis manis berkaca mata itu menangis. Isaknya terdengar semakin keras. Seluruh orang di cafe itu memandang mereka dengan tatapan heran. Nosya tak perduli. Air mata yang sudah tidak sanggup ia bendung beserta sesak hati yang menyiksa membuat suasana hatinya rumit.

"Tapi, sekarang dia mencari mu. Nosya." Laki-laki itu mulai berbicara meski ragu.

"Untuk apa?! Setelah ia mematahkan sayapku dan membiarkan aku stuck hanya untuk menantinya yang ternyata mempermainkan aku, dan sekarang ia hadir di saat ada seseorang yang mengobati sayap patahku. Mengizinkan aku terbang dan mencari arti akan kata 'tulus' yang sebenarnya. Jangan pernah sebut namanya di hadapanku."

"Dia ayahmu, Sya. Ayah kandungmu." Jelas laki-laki yang ternyata adalah paman gadis itu.

"Perduli apa?! Dia mencampakkan aku dan Ibuku. Aku yakin, dulu ia tidak menganggapku sebagai anaknya dan Ibuku sebagai istrinya. Lantas, buat apa aku masih mengharapkannya sebagai seorang ayah?! Bahkan ketika ia mengemis kembali kepadaku dan Ibuku, aku tidak akan pernah menerimannya kembali..."

Nosya beranjak dari tempat duduknya. Menghapus air matanya dan menatap lekat laki-laki di hadapannya, kemudian pergi begitu saja.


END