- Aku nggak bisa kasih jawabannya sekarang. Datang ke Reuni SMA nanti, kamu akan tau aku jawab apa." - Damar
Gue sibuk mencari sosok
itu hingga ke belakang panggung. Nggak tau alasannya apa, intinya gue harus
segera nemuin dia. Gue harus ungkapin hal yang ngeganjel di hati gue selama
ini. Toh, kalau gue liat dari sikap dia selama ini dia pasti masih nyimpen
perasaan yang sama ke gue.
Seolah waktu berpihak
ke gue, gue nemuin dia yang lagi berdiri menatap kolam ikan di taman sekolah.
Ya, gue yakin itu dia walau cuman punggungnya yang gue lihat dan dengan
penerangan yang minim. Gue mendekat perlahan ke arah pemilik tubuh tegap itu.
"Mar..."
Damar membalikkan
tubuhnya.
"Loh, Vi, kok lo
bisa tau gue di sini?"
"Nyarilah. Lagian
lo ngapain di sini? Bukannya nikmatin acara," basa-basi.
"Nggak tau, bosen
aja gue. Kita panitianya, jadi gue udah tau apa-apa aja acaranya. Bosen."
Damar dan gue terkekeh
kecil. Gue menghela nafas sesantai mungkin. Berjalan perlahan mendekat ke arah
Damar. Dan sekarang posisi gue berada tepat di samping Damar.
"Lo langsung
berangkat?"
"Nggaklah. Belum daftar
ulang juga. Lo sendiri gimana? Ambil beasiswa Semarang atau daftar universitas
lain?"
"Hmm, daftar
universitas lain. Gue bakal usahain kuliah di sini. Kasian nyokap sendirian
ntar."
Damar mengangguk. Ia
memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Gue lagi nyari waktu yang
tepat untuk bisa ungkapin apa yang jadi tujuan gue nemuin dia malam ini. Agak
tolol memang, seorang cewek memutuskan buat ngungkapin perasannya duluan. PD
banget kalau cowok yang di samping gue ini juga nyimpan perasaan yang sama ke
gue.
"Mar, gimana kalau
mulai malam ini kita perbaiki semuanya?"
"Perbaiki
apa?"
"Hubungan
kita,"
"Maksud lo?"
"Gue tau, dulu gue
salah. Gue udah ngekhianatin lo. Dan dari apa yang kita lewatin beberapa waktu
terakhir ini, kalau bisa, lo mau nggak kasih kesempatan sekali lagi buat gue?
Kita..."
"Vi, jangan
konyol. Lo ngungkapin perasaan ke gue? Lo dalam keadaan sadar 'kan?"
Respon yang tidak
terduga. Nada Damar penuh dengan keheranan sekaligus terdengar seperti
'mengejek'.
Malam ini memang hanya
ada lampu sorot dari lampu taman. Dan samar-samar gue melihat binar mata Damar
tergambar keraguan. Gue jadi merasa bersalah. Gue merasa udah salah langkah
karena mutusin buat ungkapin perasaan gue, mesti belum semuanya.
"Konyol banget ya
gue, bisa-bisanya gue terang-terangan nyatain perasaan gue ke lo. Sorry,"
Ovi, lo adalah cewek
ter-goblok di dunia. Lo udah jatuhin harga diri lo sendiri. Setelah ini, lo
musti lari ke belahan dunia lain, dan nguburin diri lo sendiri.
Damar beranjak dari
posisinya. Mundur beberapa langkah dan membalikkan tubuhnya.
"Ok, nggak
apa-apa, lo bisa tinggalin gue. Anggep aja gue nggak ada ngomong apa-apa,"
lanjut gue.
Gue beraniin buat
menatap punggung Damar yang sekarang berada beberapa sentimeter di belakang
gue.
"Vi, jujur, posisi
lo itu nggak akan pernah tergantikan oleh siapapun. Lo adalah cinta sekaligus
luka pertama buat gue. Sayangnya, gue nggak bisa gitu aja nimbulin perasaan gue
lagi, Vi. Gue emang nyaman sama lo. Lo masih jadi seseorang yang sama saat gue
kenal sama lo. Tapi, lo juga adalah alasan kenapa gue jauh berubah kayak
sekarang. Gue akui, susah untuk ngedapetin sosok cewek kayak lo. Tapi, gue
belum bisa ngasih jawabannya. Belum lagi, kita sebentar lagi bakal pisah. Gue
nggak yakin kalau lo bisa pegang kepercayaan gue lagi."
Gue tau, Mar. Gue tau
sebenernya lo bakal nolak gue 'kan? Ya, Damar. Lo bener. Lo emang udah nggak
bisa balik sama gue, mengingat apa yang udah gue lakuin ke lo 2 tahun silam.
Dan emang gue yang goblok, Damar. Ngungkapin perasaan yang harusnya nggak gue
ungkapin dan harusnya gue sadar gue siapa.
Isi kepala gue berisik.
Menyalahkan diri gue sendiri.
Gue denger suara Damar
terkekeh ringan.
"tapi, Vi, kita masih punya waktu buat sama-sama sebelum gue berangkat ke Jogja. Aku belum bisa kasih jawaban sekarang. Datang di Reuni SMA nanti, kamu akan tau aku jawab apa."
Damar membalikkan tubuhnya. Kalimat itu berhasil buat seluruh darah di tubuh gue yang ngalir udah agak tenang, tiba-tiba berdesir hebat. Alirannya begitu cepat seiring dengan pacu detak jantung gue. Gue sampe nggak berani natap mata dia. Damar kasih waktu buat gue?
Seenggaknya sebelum dia berangkat ke Jogja, gue masih bisa bareng dia. Dan buktiin yang terbaik supaya di Reuni SMA nanti dia bisa kasih jawaban buat gue.
*