Cinta Tak ‘kan Kemana…
Aku
membereskan sajadah dan mukenahku yang kemudian ku letakkan di atas tempat
tidurku yang sudah dihias dengan berbagai bunga mawar dan kain-kain berwarna
putih dan ungu. Di dekor sebegitu apik dan meninggalkan kesan yang bagus untuk
sebuah kamar pengantin. Yah, besok adalah hari pernikahanku. Dengan seseorang
yang tidak pernah ku sangka akan menjadi imam untuk keluarga kecilku.
Aku
mendesah berat. Semua rasa kini menyesakkan dadaku. Senang, terharu, takut,
semua membaur menjadi satu. Aku hanya mampu menyimpulkan satu senyum jika
mengingat perjuangan kami untuk menggapai ridha-Nya. Mengingat perjuangan untuk
kebahagiaan ini tidak mudah untuk kami lalui. Namun, aku yakin. Bahwa Allah,
memiliki rencana yang sangat indah.
***
Hubunganku
dengan Nando Sebastian sudah terjalin sangat lama. Tepatnya sejak kami duduk di
bangku kelas dua SMA. Berawal dari sebuah persahabatan yang berubah menjadi
cinta, semua berjalan dengan baik. Sesekali ada perkelahian kecil yang menjadi
bumbu dalam hubungan kami. Wajar, namanya juga hubungan. Dan bagi kami,
perkelahian kecil itu semakin mekukuhkan hubungan kami.
Setahun,
dua tahun, bahkan kami tetap menjadi sepasang kekasih meski sudah berbeda
universitas. Cobaan semakin besar menimpa hubungan kami. Sebenarnya cobaan itu
telah lama ada. Jauh, sebelum kami mengenal status pacaran. Dan kini, cobaan
itu benar-benar menjadi cerminan untuk hubungan kami ke depannya.
“Kalian
‘kan beda agama, Lit.” Aku hanya diam mendengar ucapan sahabatku. Felisa.
Ya,
kami terhalang keyakinan kami. Aku terlahir di dalam keluarga muslim. Meski
tidak begitu kental. Setidaknya, lima waktu kewajiban umat muslim tak pernah
keluargaku tinggalkan. Sementara dia Nando, dia lahir di keluarga Kristen.
Bahkan bapaknya adalah seorang pendeta. Kedua orang tua kami menentang hubungan
kami. Tak heran jika di pertengahan hubungan, kami memutuskan untuk backstreet.
Hubungan
kami semakin bertambah berat, saat aku memutuskan untuk berhijab. Menciptakan
suatu hal sempat dianggap abstrak menjadi jelas. Yah, perbedaan itu semakin
jelas. Tapi, Nando tetap bertahan. Ia terus mencoba bertahan di atas hal yang
menurutku sia-sia untuk diperjuangkan.
“Ndo,
kamu beneran nggak apa-apa sama keputusan aku untuk berhijab?” Tanyaku meragu.
“Apa
hak aku untuk melarang kamu, Lit? Tuhanmu mewajibkan seluruh wanita muslin
untuk berhijab. Lalu apa hak aku untuk melarang kewajiban-Nya?”
Aku
hanya terdiam mendengar penuturan Nando.
“Lita,
jika tujuanmu memakai hijab hanya untuk melepaskanku secara perlahan, berilah aku waktu untuk belajar melepasmu.
Karena jujur, aku belum bisa memastikan apa yang harus aku pilih. Kamu, yang
aku kenal selama 5 tahun ini. Atau agamaku, yang aku kenal sejak aku lahir.
Terlalu berat untukku meninggalkan keduanya, Lit. Keduanya sama-sama berharga
untukku.”
Lagi-lagi
Nando begitu sabar menghadapi ujian hubungan ini. Aku salut dengan keteguhan
hatinya. Bukan sekali ini dia menyikapi perbedaan ini dengan bijaksana. Sering
kali aku menyinggung tentang Islam di depannya. Tapi, dia hanya tersenyum dan
berkata, “Ajari aku lebih banyak tentang
Islam, Lit.”
“Sampai
kapan, Ndo? Sampai kapan aku beri waktu untuk kamu? Untuk akhir dari hubungan
kita? Aku takut, aku takut jika pilihanmu tidak sesuai keinginanku, dan aku
akan sulit menerima kepergianmu.” Ucapku tak kuasa menahan tangis. Emosi jiwaku
tidak lagi dapat tertahan. Semua yang kupendam harus ku keluarkan detik ini
juga. Aku wanita, wanita yang butuh kepastian.
“Beri
aku waktu sebentar lagi, Lit.”
Aku
menggeleng. “Ndo, aku nggak bisa bertahan lebih lama lagi. Aku tau akhir dari
semua ini, Ndo. Salah satu dari kita, tidak akan ada yang mau mengalah. Dan
mungkin, ini yang terbaik. Hubungan kita cukup sampai di sini.”
Nando
menatap mataku lekat. Aku membuang pandanganku begitu saja. Aku tidak sanggup
jika harus menatap matanya lebih lama. Karena hatiku yang seharusnya kuat bisa
saja rapuh ketika tatapanku jatuh lebih dalam menatap matanya.
Aku
beranjak dari tempat dudukku, dan berlalu meninggalkan Nando begitu saja.
Mengakhiri hubungan ini, menurutku adalah jalan terbaik. Dan sekarang ada
baiknya aku menunggu. Menunggu laki-laki yang Allah kirim untuk menjadi imamku.
Meminangku tanpa harus menjadikanku “pacarnya”. Jika ia siap, ia akan
menjemputku melalui orang tuaku, dan menjadikanku istrinya.
***
Namun,
siapa yang menyangka, jika Nando yang ternyata menjadi imamku. Yah, besok aku
akan meningkah dengannya. Aku telah dipinang olehnya. Bukan menjadi seorang
umat Kristiani. Ia melamarku dengan keyakinannya sebagai seorang Muslim.
Jauh sebelum aku memutuskan hubungan
dengannya, secara diam-diam dia telah mempelajari agamaku dan mulai menganutnya
menjadi agamanya setelah ia mendapat restu dari orang tuanya. Ini membuatku
percaya, bahwa Jodoh Pasti Bertamu.
END