Sabtu, 30 Mei 2015

Cinta Tak 'kan Kemana



Cinta Tak ‘kan Kemana…
Aku membereskan sajadah dan mukenahku yang kemudian ku letakkan di atas tempat tidurku yang sudah dihias dengan berbagai bunga mawar dan kain-kain berwarna putih dan ungu. Di dekor sebegitu apik dan meninggalkan kesan yang bagus untuk sebuah kamar pengantin. Yah, besok adalah hari pernikahanku. Dengan seseorang yang tidak pernah ku sangka akan menjadi imam untuk keluarga kecilku.
Aku mendesah berat. Semua rasa kini menyesakkan dadaku. Senang, terharu, takut, semua membaur menjadi satu. Aku hanya mampu menyimpulkan satu senyum jika mengingat perjuangan kami untuk menggapai ridha-Nya. Mengingat perjuangan untuk kebahagiaan ini tidak mudah untuk kami lalui. Namun, aku yakin. Bahwa Allah, memiliki rencana yang sangat indah.
            ***
Hubunganku dengan Nando Sebastian sudah terjalin sangat lama. Tepatnya sejak kami duduk di bangku kelas dua SMA. Berawal dari sebuah persahabatan yang berubah menjadi cinta, semua berjalan dengan baik. Sesekali ada perkelahian kecil yang menjadi bumbu dalam hubungan kami. Wajar, namanya juga hubungan. Dan bagi kami, perkelahian kecil itu semakin mekukuhkan hubungan kami.
Setahun, dua tahun, bahkan kami tetap menjadi sepasang kekasih meski sudah berbeda universitas. Cobaan semakin besar menimpa hubungan kami. Sebenarnya cobaan itu telah lama ada. Jauh, sebelum kami mengenal status pacaran. Dan kini, cobaan itu benar-benar menjadi cerminan untuk hubungan kami ke depannya.
“Kalian ‘kan beda agama, Lit.” Aku hanya diam mendengar ucapan sahabatku. Felisa.
Ya, kami terhalang keyakinan kami. Aku terlahir di dalam keluarga muslim. Meski tidak begitu kental. Setidaknya, lima waktu kewajiban umat muslim tak pernah keluargaku tinggalkan. Sementara dia Nando, dia lahir di keluarga Kristen. Bahkan bapaknya adalah seorang pendeta. Kedua orang tua kami menentang hubungan kami. Tak heran jika di pertengahan hubungan, kami memutuskan untuk backstreet.
Hubungan kami semakin bertambah berat, saat aku memutuskan untuk berhijab. Menciptakan suatu hal sempat dianggap abstrak menjadi jelas. Yah, perbedaan itu semakin jelas. Tapi, Nando tetap bertahan. Ia terus mencoba bertahan di atas hal yang menurutku sia-sia untuk diperjuangkan.
“Ndo, kamu beneran nggak apa-apa sama keputusan aku untuk berhijab?” Tanyaku meragu.
“Apa hak aku untuk melarang kamu, Lit? Tuhanmu mewajibkan seluruh wanita muslin untuk berhijab. Lalu apa hak aku untuk melarang kewajiban-Nya?”
Aku hanya terdiam mendengar penuturan Nando.
“Lita, jika tujuanmu memakai hijab hanya untuk melepaskanku secara perlahan,  berilah aku waktu untuk belajar melepasmu. Karena jujur, aku belum bisa memastikan apa yang harus aku pilih. Kamu, yang aku kenal selama 5 tahun ini. Atau agamaku, yang aku kenal sejak aku lahir. Terlalu berat untukku meninggalkan keduanya, Lit. Keduanya sama-sama berharga untukku.”
Lagi-lagi Nando begitu sabar menghadapi ujian hubungan ini. Aku salut dengan keteguhan hatinya. Bukan sekali ini dia menyikapi perbedaan ini dengan bijaksana. Sering kali aku menyinggung tentang Islam di depannya. Tapi, dia hanya tersenyum dan berkata, “Ajari aku lebih banyak tentang Islam, Lit.”
“Sampai kapan, Ndo? Sampai kapan aku beri waktu untuk kamu? Untuk akhir dari hubungan kita? Aku takut, aku takut jika pilihanmu tidak sesuai keinginanku, dan aku akan sulit menerima kepergianmu.” Ucapku tak kuasa menahan tangis. Emosi jiwaku tidak lagi dapat tertahan. Semua yang kupendam harus ku keluarkan detik ini juga. Aku wanita, wanita yang butuh kepastian.
“Beri aku waktu sebentar lagi, Lit.”
Aku menggeleng. “Ndo, aku nggak bisa bertahan lebih lama lagi. Aku tau akhir dari semua ini, Ndo. Salah satu dari kita, tidak akan ada yang mau mengalah. Dan mungkin, ini yang terbaik. Hubungan kita cukup sampai di sini.”
Nando menatap mataku lekat. Aku membuang pandanganku begitu saja. Aku tidak sanggup jika harus menatap matanya lebih lama. Karena hatiku yang seharusnya kuat bisa saja rapuh ketika tatapanku jatuh lebih dalam menatap matanya.
Aku beranjak dari tempat dudukku, dan berlalu meninggalkan Nando begitu saja. Mengakhiri hubungan ini, menurutku adalah jalan terbaik. Dan sekarang ada baiknya aku menunggu. Menunggu laki-laki yang Allah kirim untuk menjadi imamku. Meminangku tanpa harus menjadikanku “pacarnya”. Jika ia siap, ia akan menjemputku melalui orang tuaku, dan menjadikanku istrinya.
***
Namun, siapa yang menyangka, jika Nando yang ternyata menjadi imamku. Yah, besok aku akan meningkah dengannya. Aku telah dipinang olehnya. Bukan menjadi seorang umat Kristiani. Ia melamarku dengan keyakinannya sebagai seorang Muslim.
            Jauh sebelum aku memutuskan hubungan dengannya, secara diam-diam dia telah mempelajari agamaku dan mulai menganutnya menjadi agamanya setelah ia mendapat restu dari orang tuanya. Ini membuatku percaya, bahwa Jodoh Pasti Bertamu.
                                                                        END

Senin, 04 Mei 2015

One LINE One LOVE


Kali ini aku akan bercerita tentang sepasang remaja, yang pernah sangat dekat, saling menyimpan perasaan, saling berharap, dan saling mendoakan. Sayangnya, semua berakhir seiring dengan masa abu-abu mereka. Berpisah karena sebuah cita-cita dan ketidakmampuan menyatukan perasaan yang ada. Mereka lebih memilih untuk diam satu sama lain, menyimpan rasa itu, dan membiarkan takdir berbicara.
            “Jika kau jodohku, maka kita akan bertemu lagi suatu saat nanti.” Satu hal yang aku tau, bukan kah takdir tercipta atas sebuah usaha? Tuhan mempertemukan kalian bukan hanya untuk mengenal kemudian berpisah. Tuhan ingin melihat bagaimana usaha kalian memperjuangkan cinta yang dikenal sebagai anugrah Tuhan. Bahkan, Nabi Adam dan Siti Hawapun demikian. Mereka dipertemukan kemudian dipisahkan saat turun ke bumi, karena keduanya saling berjuang untuk bertemu, mereka dipertemukan kembali. Lalu, kenapa kedua remaja ini memilih diam? Hanya karena ketidakyakinan? Atau mereka hanya  ingin menguji takdir? Entahlah. Yang jelas, aku yakin mereka masih saling berharap satu sama lain.
            Sebut saja kedua remaja ini dengan nama Bayu dan Rara. Mereka adalah pelajar di salah satu SMA negeri di Jakarta. Temen sekelas yang tidak pernah bertegur sapa satu sama lain. Ralat. Mereka hanya saling berbicara jika dipertemukan dalam satu kelompok belajar yang memaksa mereka untuk saling berinteraksi. Di luar itu, mereka memilih diam. Berbeda saat di kelas, berbeda pula di rumah mereka masing-masing. Siapa yang tau jika mereka saling berhubungan melalui blackberry messenger. Berawal dari saling koment status atau sekedar menanyakan tugas. Kemudian berubah menjadi ajang berbagi satu sama lain.
            Konflik dimulai. Tepat saat Bayu memutuskan untuk menjaga perasaan wanita lain ketimbang Rara. Cemburu atau apapun itu, Rara memilih untuk menghapus kontak Bayu di BBMnya. Di sekolah, mereka masih saling diam. Tidak perduli di hati mereka menyimpan tanda tanya besar satu sama lain.
            “Ra, lo delcont gue di BBM ya?” Cegat Bayu tepat di depan teman-temannya.
            Rara hanya menatapnya binar. Terkejut dan salah tingkah. Ya, kata-kata itu begitu cepat keluar dari mulut Bayu.
            Merasa tidak enak. Rara memutuskan untuk menghubungi Bayu melalui LINE. Kenapa tidak re-invite pin Bayu? Simple, Rara gengsi untuk menginvite ulang seseorang yang sudah ia delcont. Dengan ragu di hatinya, Rara menuliskan beberapa kata yang pas untuk dikirim ke Bayu.
          Rara       : Bay?
Tulis Rara basa-basi.
                Bayu         : Yaa
                Rara       : Lo marah ya sama Gue?
                Bayu         : Nggak. Buat apa, Lo ‘kan nggak penting.
                Membaca pernyataan Bayu, Rara mencoba memahami. Apa benar selama ini Rara tidak penting? Lalu, kenapa Bayu begitu care terhadapnya jika memang Rara tidak penting di matanya. Atau mungkin Bayu benar, Rara tidak penting di matanya sehingga karena itu juga, Bayu lebih memilih menjaga hati cewek lain. Rara memutuskan tidak membalas pesan itu. Ia menghempaskan handphonenya begitu saja.
            Bayu        : Ra, lo marah ya? Gue cuman bercanda lagi.
                Rara       : Ngapain marah, gue ‘kan nggak penting.
                Bayu         : Sorry. Gue mau tanya, kenapa lo delcont gue?
                Rara       : Maaf, Di. Gue cuman lagi khilaf aja.
                Chat itu terus berlanjut, baikan kemudian berantem. Begitu terus, entah sampai kapan. Tapi, percaya atau tidak Rara bahagia. Setidaknya ia masih bisa berhubungan dengan Bayu sekalipun hanya berdebat hal-hal kecil. Bagi Rara, chat dengan Bayu adalah suatu hal yang bisa buat hatinya nyaman. Belum lagi –disadari atau tidak- Bayu sering kali melontarkan kata-kata manis yang akhirnya membuat hati Rara luluh. Sedikit rayuan, mengikiskan ruang kosong yang ada di hati Rara. Sangat wajar jika Rara merasa sepi kalau Bayu tidak menghubunginya terlebih dahulu. Dihinggapi rasa malu jika harus menghubungi laki-laki terlebih dahulu. Belum lagi, kalau seandainya Bayu hanya membalas chatnya dengan singkat.
            Dan sayangnya, Rara hanya mampu memendam rasa itu. Memendamnya dibalik keraguan. Ragu akan perasaan yang ada pada Bayu.
            “Bayu suka nggak ya sama gue? Atau dia suka sama sahabat gue? Terus apa gue harus nyerah?” Setidaknya kata-kata itu yang selalu terpikir di benak Rara. Sebagai cewek, ia bingung harus bertindak bagaimana. Menyerah sementara hati memintanya untuk bertahan. Atau bertahan tapi takut jika akhirnya mengecewakan.
            Sempet sampai ke telinga Rara juga, bahwa sesungguhnya Bayu menyukainya. Namun, ia masih merasa tidak enak dengan temannya yang tidak suka dengan tingkah Rara di sekolah. Rara di sekolahnya terkenal lebay, childish, menjengkelkan, dan mungkin mengundang hampir seluruh teman sekelasnya ilfeel terhadap Rara. Dan itu membuat Bayu enggan menyukai sosok Rara lebih dalam lagi.
            Rara sempat memilih menjauh terhadap Bayu saat dia dengar Bayu hanya deketin Rara untuk sekedar iseng. Atau hanya sekedar main-main. Tapi, hati memang tidak bisa dibohongi, semakin otaknya ingin membenci Bayu, semakin hatinya berkata jangan menyerah.
                                                                                    ***
            Untuk sementara waktu, mereka tidak saling mengirim pesan melalui LINE. Mereka masih harus fokus dengan ujian nasional. Selama tiga hari ke depan mereka tidak menjalin komunikasi, membuat Rara berpikir suatu hal tentang perasaannya. Haruskah ia menyatakan perasaannya dengan Bayu, mengingat sebentar lagi mereka akan berpisah. Tapi, bagaimana jika setelah itu Bayu memilih untuk menjauh dari Rara. Bagaimana setelah itu Bayu hanya menanggapi perasaannya dengan datar. Bagaimana jika setelah itu Bayu membenci Rara.
            “Mungkin itu lebih baik. Toh, sebentar lagi kita nggak bakal ketemu. Kalau memang dia menjauh tandanya aku memang harus menyerah. Namun, jika ia tetap bertahan dan berhubungan baik denganku. Aku akan menunggunya.”
            Tekad Rara sudah bulat. Tidak peduli teman-teman memandangnya seperti apa. Seorang wanita harus mengungkapkan perasaannya terlebih dahulu. Peduli apa, daripada menggantung tak kenal arah, lebih baik diungkapkan. Toh, di Korea hal itu sah-sah saja.
            Rara mulai mengetikan beberapa kata melalui akun LINE miliknya. Mencari kata yang pas untuk memulai apa yang harus diungkapkan perasaannya. Mulai dari sekedar pancingan, sampai akhirnya, Rara benar-benar mengungkapkan perasaannya. Entah perasaan yang ia rasakan saat itu adalah perasaan sementara atau untuk jangka waktu yang lama, setidaknya ia mengizinkan untuk beban di hatinya lepas. Semenit, dua menit, tak ada jawaban dari Bayu. Rara memilih untuk tidur. Berharap, pagiinya, ia mendapatkan jawaban yang membuat hatinya tenang.
                                                                        ***
            Tidak ada kejelasan status. Rara dan Bayu memutuskan untuk menjalani kedekatan mereka berjalan seiring waktu. Tanpa pacaran. Jika mereka berjodoh, Tuhan akan memberikan jalan agar suatu saat mereka bertemu kembali. Namun, jika tidak. Mereka percaya, kedekatan yang saat ini mereka jalin, tidak menutup kemungkinan untuk mereka tetap bersahabat. Percayalah, rencana-Nya itu indah.

THE END