Kamis, 31 Juli 2014

Sebentar saja...



"Argh, sial!"
"Kenapa lagi, Rex?"
"Tuh si Kevin, lagi-lagi pamer kemesraan sama Gita. Ilfeel tau nggak?"
"What's wrong, Rexa? Kevin udah jadi milik Gita. Sah sah aja kalik. Salah siapa dulu lo putusin Kevin?"
Gue diem. Lagi-lagi Leta bener. Entah ucapan yang keberapa kalinya. Karena hampir setiap detik gue ngeluh tentang Kevin sama Aleta dia pasti dengan mudah jawab hal itu. Karena emang itu semua salah gue.

"Siapa suruh pas jadian sama gue dia nggak bisa jadi cowok romantis kayak sekarang."
"Salah elo yang main ambil keputusan gitu aja tanpa ngomong dulu." Aleta pergi begitu saja meninggalkan gue yang masih gerutu nggak jelas

Gue ambil satu batang coklat dari balik tas gue. Memakannya dengan penuh emosi. Seketika pikiran gue melayang jauh. Keinget lagi gimana waktu gue jadian sama Kevin. Cuek, nggak perhatian, nggak romantis. Ya gitu pacarannya gue sama Kevin dulu. Jauh beda dengan sekarang. Dia jauh lebih romantis. Setiap ada kesempatan, mungkin ketika itu juga dia bakal perlakuin cewek dia yang sekarang dengan begitu romantis. Gue juga pengen gitu. Kalau boleh jujur, gue tuh masih sayang banget sama dia. Masih pengen berharap bisa balikan tapi nggak mungkin.

Ck. Perlahan kelas mulai ramai. Yang tadinya cuman gue sendiri sekarang malah udah banyak mahasiswa dan mahasiswi disini. Aleta juga masuk dan langsung duduk di kursi sebelah gue. Masih dengan wajah sinis. Gue tau dia capek sama sikap gue yang kayak anak-anak. Tapi, namanya juga orang galau, wajar kalau tingkahnya nggak nentu.

Satu setengah jam nunggu di dalam kelas dengan bermalas-malasan berhasil buat kadar bosen gue melonjak drastis. Gue mutusin untuk cabut jam kuliah berikutnya. Otak gue udah  terlanjur beku di mata kuliah administrasi ini. Gue pengen bolos kali ini aja ke tempat yang bikin gue nyaman. Semangkuk es krim coklat dan waffle mix berry khas Rainbow cafe buat gue bener-bener pengen cepet keluar dari mata kuliah ini. Hayolah jam, bersahabatlah denganku sedikit saja.

Sip. Bel udah berbunyi. Seiring dengan perut gue yang udah semakin nggak karuan bunyinya. Gue mutusin untuk cabut dari kampus kemudian bakal betah lama-lama di Rainbow cafe. Sialnya lagi, di parkiran gue harus ngeliathal yang bikin mood gue down dengan cepat. Yaps, Kevin dengan Gita. Beruntungnya nggak lama, karena si Gita keburu pergi duluan. Dan gue nggak tau kemana. Nggak penting ngurusin cewek orang.

Perlahan gue jalan menuju motor gue yang letaknya deket banget sama posisinya Kevin. Baiklah, gue coba bersikap sewajarnya. Tersenyum sedikit, tanpa ada sapa menyapa. Dia tidak membalas. Oke, no prob. Padahal sakitnya tuh di sini. *nunjuk hati tapi dari luar jadi nggak keliatan*

"Mau kemana lo?" Pause. Ya gerakan gue terhenti ketika gue denger suara dia tuh menginterupsi. Gue coba menoleh ke arahnya untuk mastiin dia ngomong sama gue atau sama orang lain.
"Gue?"
"Iya,elo. Elo mau kemana? Masih ada jam kuliah juga."
"Adduuhh, gue sakit perut, Vin. Gue mau cabut. Gue duluan ya." Jawab gue berkelit. Berharap dia ngelepas gue pergi. Sayangnya, dia malah nyemperin motor gue dan melototin gue.
"Bohong 'kan lo? Elo mau bolos 'kan?"

Dicecar pertanyaan kayak gitu. Gue masang wajah sangar, dan berusah jutek.
"Peduli apa lo? Bukan urusan elo juga."
Dia narik tangan gue dan maksa gue turun dari motor yang saat ini tinggal gue nyalain terus kabur.
"Gue ikut, Rex. Gue juga males ngampus."
Mata gue yang sekarang gantian melotot. Gimana nggak melotot, ngeliat tubuh Kevin dengan santainya duduk manis di depan kemudi motor gue.
"Udah naek. Malah diem. Kita ke Rainbow cafe ya."

Gue naik keboncengan motor gue. Dan ngebiarin Kevin yang bawa motor gue. Tujuan kita sama, Rainbow cafe. Jelaslah. Itu cafe andalan kita waktu pacaran dulu. Nggak nyangka kalau Kevin masih suka ngumpul disitu. Bedanya sekarang mungkin lebih sering sama Gita bukan gue.

Di belakang dia gue cuman bisa diem. Menatapi belakang tubuhnya yang kini benar-benar berbeda jauh dari yang aku kenal dulu. Tubuhnya lebih tinggi dari yang dulu. Kevin, kenapa sekarang elo bisa lebih keren?

Motor gue terparkir rapi di deretan motor-motor lain di lapangan parkir cafe ini. Gue ikutin langkah kaki Kevin yang cepet banget masuk ke dalam cafe. Masih sama kayak dulu, pas masuk cafe ini nggak pernah sekalipun kita pegangan tangan. Gue yakin, kalau Kevin sama ceweknya pasti beda. Sedangkan gue? Udah, nggak perlu dibahas kalau gue ini MANTANnya.

Pesanan kita masih sama. Gue waffle mix berries dan es krim coklat. Kalau dia coffee latte dan waffle coklat. Gue serasa flash back. Tapi, nggak boleh. Dia udah milik orang.

"Dari tadi diem mulu lo, Rex? Nggak suka kalau gue ikut lo?"
"Apaan sih lo. Gue emang lagi nggak mood ngomong."
"Yaudah."
Suasana kembali hening. Hanya ada lalulalang motor dan mobil yang jadi pemandangan. Tempat ini emang nggak ada romantis-romantisnya. Cuman jalanan macet kota Jakarta. Tapi, makanannya itu lho, yang enak dan bikin betah. Tapi baru sore ini ada pemandangan indah.Ya ada pasangan yang sepertinya baru aja ngerayain annivenya dengan nerbangin puluhan balon warna-warni ke udara.

Gue excited banget ngeliatnya. Kevin juga.
"Dulu pas gue jadian sama lo, Rex. Gue pengen banget nerbangin balon ini di anniersarinya. Tapi, elonya malah..."
Gue menggigit ujung sendok es krim. Tatapan mata gue kini beralih ke Kevin yang masih betah mandangin balon balon itu.
"Dan lo tau, gue berharap supaya First love gue bakal jadi Last love gue. Tapi..."
Jangan diterusin, Vin. Ntar gue bakal mewek di cafe ini. Harapan gue dan Kevin sama. Sama-sama pengen terbangin balon, dan buat harapan kayak gitu. Tapi...

Aleta ternyata bener, andai aja gue bisa bersabar dikit dulu. Mungkin sekarang gue udah terbangin balon-balon itu dengan harapan yang semoga aja terkabul. Tapi, setidaknya hari ini, gue udah seneng kok. Gue bisa berdua sama Kevin. Meski itu sebentar saja... :)

Tentangku...

Hai, makasih buat yang udah baca blog aku. Tapi sejauh postingan ini aku belum pernah kasih tau langkapnya profile tentang aku. And now, this is my profile.

Ayu Novita Hasan atau biasa dikenal dengan Ayuk. Asal muasal panggilan ini ada di salah satu cerita yang aku buat. Kalian bisa search sendiri, namanya aku samarin. Hihihi... Aku punya hobby nulis, baca novel korea, denger musik, jalan, dan foto. Aku sangat menyukai winnie the pooh. Bukan fanatic sih, tapi buat yang mau kasih hadiah bisa kirimin ikon yang satu ini. :D

Angka kesukaan aku adalah 5. Itu alesan nama blog ini PentRiesLova. Pent diambil dari kata 5 dalam bahasa kimia, penta. Ries yang diambil dari stories yang artinya cerita.. Lova artinya cinta. Jadi, PentRiesLova itu artinya lima cerita cinta. Tapi, di blog ini lebih dari 5 yaaa? *hahaha*

Cita-cita aku, pengen jadi seorang penulis terkenal dan bisa pergi ke Korea. Ammiiinnnn o:)
Tapi kalau pekerjaan sampingan aku mau ambil management bisnis. :D amin amin amin... o:)
Oke, cukup disini profile tentang aku. Semoga kalian senang ya sama bacaannya. Terima Kasiih :)

Perjalanan Dalam Penantian (End)

Sudah lama sekali rasanya aku tidak membangun kontak dengan Kak Rama. Sampai pada akhirnya, aku pacaran dengan ketua OSIS. Jujur hatiku tidak sepenuhnya bersama Kak Budi. Aku hanya menjadikannya pelarian. Terlalu jahat memang. Namun aku harap, Kak Budi dapat menghilangkan perasaanku terhadap Kak Rama.

Getar hapeku menginterupsi. Aku meraihnya, tertera nama Kak Rama di layar monitor.
"Congrats ya, Nuk. Elo udah jadian sama Budi. Langgeng ya."
Ku biarkan begitu saja pesan itu. Ku jauhkan hapeku dan memusatkan perhatianku pada monitor notebookku.

Enggan rasanya berlama-lama berkutat di layar monitor yang menunjukkan akun facebookku.
Aku merebahkan tubuhku di atas tempat tidur. Membiarkannya tenang, sementara pikiranku melayang. Senyuman itu, entah kenapa masih sangat sulit untuk aku lupakan. Pikiranku masih saja ingin mengetahui kabar dia. Keramahannya membuatku sangat sulit menghapus semua ingatan tentang dia. Ya Tuhan... Aku harap dirinya bahagia sama siapapun nantinya dia melabuhkan hatinnya.

Perlahan mataku memejam. Membiarkan jiwa ini terbuai oleh mimpi yang indah.


***

Mentari pagi menyapaku dengan cahayanya yang begitu terik. Hangat terasa merembet masuk menuju pori-pori kulitku. Aku yakin siang nanti akan lebih terik dari ini. Cahayanya tak lagi menghangatkan. Berubah menjadi panas yang membuat semua manusia di bumi meringis.

Aku melesat perlahan menuju sekolahku. Tak sampai lima belas menit aku telah sampai d sekolah. Berjalan perlahan menuju kelasku. Melewati koridor-koridor dan beberapa kelas di mana kelas X mengikuti kegiatan belajar mengajar. Kelasku berada di ujung koridor. Sesampainya di kelas, Kak Restu kakak kelas lain yang dekat denganku sudah duduk manis di kursiku. Ia juga satu kelas dengan Kak Rama.

"Dek, ikut kakak." Dengan cepat Kak Restu menarik tanganku. Membawaku ke taman sekolah yang berada tidak jauh dari kelasku.
"Ada apa, Kak?"
"BM kamu aktif?" Aku menggeleng tegas.
"Rama jadian sama Prisil."

Pernyataan yang lagi lagi buatku sakit. Tuhan, kenapa harus pagi ini aku mendapat berita yang sesungguhnya tidak ingin Aku dengar.Aku menarik nafasku lebih dalam lagi. Berharap dengan begitu rasa sakit yang menyelinap masuk di hatiku sedikit terobati. Aku tersenyum -berat-.
"Terus kenapa, Kak? Kalau emang dianya seneng dan bahagia, yaudah biarin aja."
"Kamu nggak..."
"Aku udah move on, Kak."Pernyataan yang sangat bertentangan dengan hatiku saat ini. Bodoh. Memang, Aku bisa apa selain berkelit. Nggak ada 'kan?

"Munafik kamu Nuk!" Kak Restu pergi begitu saja meninggalkanku sendiri di taman sekolah. Dia marah. Wajar, karena dia tau sekali bagaimana perasaanku sesungguhnya.

Perlahan aku mulai melangkah gontai. Bel sekolah berbunyi sudah dari beberapa menit yang lalu. Enggan rasanya melangkahkan kaki ini menuju kelas. Toh, masukpun udah telat juga. Aku memutuskan untuk menuju perpustakaan. Sedikit menenangkan diri, atau mungkin.....Menangis. Hanya itu yang bisa aku lakukan. Tidak hanya aku, bahkan semua wanita jika ia merasa hatinya sudah rapuh, ia pasti menangis. Bedanya dari penerapan tangisan wanita itu, entah itu tangisan ketegaran atau tangisan keputusasaan.

Aku mendesah. Mendapati sosok yang aku kagumi itu sedang duduk manis menekuri buku komik di tangannya. Lagi-lagi di balik persembunyianku, aku memperhatikannya. Aku selalu memperhatikan gerak-geriknya. Aku selalu memperhatikan aktifitasnya. Mungkin karena itu akhirnya aku terlalu menggilainya.

***

Aku menutup album foto itu. Flashback akhirnya mengingatkan aku pada penantian yang cukup panjang. Lewat sebuah tulisan mungkin tidak akan mampu mendefinisikan bagaimana perasaan atau bahkan jalan sesungguhnya sebuah cerita yang nyata. :)

Kamis, 17 Juli 2014

Perjalanan Dalam Penantian (part2)

Semenjak aku mengungkapkan apa yang ada di hatiku. Kak Rama benar-benar menjaga perasaanku. Kami tetap dekat, saling sharing meski tidak terlalu dalam. Yang penting setelah pengakuan itu tidak ada kecanggungan yang ketara. Kak Rama masih bersikap sama seperti hari-hari biasanya. Di sekolah masih saling menyapa.

Namun, semua tidak berlangsung lama, sampai akhirnya suatu hal datang dan membuatku terkejut.

"Mir, kemarin pas gue latihan basket, Kak Rama minta nomor lo. Berhubung gue nggak punya nomer hape lo, nggak gue kasih, deh."
Mendengar penuturan Tika, aku, Reny, Mira, dan Fisa terhenyak. Kak Rama meminta nomor hape sahabatku. Ada apa? Apakah Kak Rama menaruh hati pada Mira? Aku tidak mengerti. Jika ya, aku harus bagaimana? Aku harus benar-benar melupakan Kak Rama? Lawanku sangat tidak sepadan. Terlebih lagi ia menyukai sahabatku yang itu berarti tidak ada harapan sedikitpun untuk aku singgah di hatinya. Karena hati itu telah lebih dulu diisi oleh Mira. Sahabatku.

Aku berusaha tersenyum manis. Mira menatapku. Ia panik melihat tingkahku yang ia tahu sedang menyembunyikan sesuatu.
"Nu, ini pasti salah paham. Gue nggak akan ngasih nomor hape gue sama Kak Rama."
"Kenapa, Mir? Gue nggak apa-apa kok. Kalau seandainya dia minta nomor lo, apa masalahnya buat gue? Gue bukan siapa-siapa dia. Lagian gue juga udah move on kok." Aku berbohong. Hatiku terasa perih saat aku mengatakan bahwa aku sudah tidak berharap lagi dengan Kak Rama. Ini sangat bertentangan dengan hatiku.

Aku beranjak meninggalkan mereka yang masih menatapku dengan tatapan tidak enak. Sekali lagi, aku kembali memunculkan senyum yang seolah mengartikan aku baik-baik saja. Seberapa baik diriku saat ini? Apakah benar-benar baik? Atau aku hanya berpura-pura baik? Entahlah. Aku memilih untuk menyendiri di perpustakaan sekolahku. Duduk di sebuah kursi baca dengan pikiran yang melayang entah kemana. Aku membuka layar hapeku. Di sana tertera fotoku dengan Kak Rama di malam ulang tahun sekolah. Aku mendesah berat. Derapan kaki seseorang membuatku dengan cepat memasukan hapeku ke saku rok seragam.

"Hai, Inu." Sapa Prisil. Ia duduk tepat di sampingku. Aku membalasnya hanya dengan sebuah senyuman.
"Lagi ngapain? Biasanya ngumpul bareng Reny, Mira, sama Fisa. Kok malah sendiri di perpus?" Ia mencecarku dengan banyak pertanyaan. Seolah kita sangat dekat.
"Lagi males." Jawabku singkat.
"Oh. Gue denger, lo suka ya sama Kak Rama?" Aku diam. Aku tau mengapa dia menanyakan hal yang demikian. Ia juga menyukai Kak Rama. Bahkan mereka sangat dekat. Berbeda dengan aku yang hanya berbatas sms dan teguran.

"Lo juga 'kan, Pris?"
"He'em. Tapi, kalau lo mau sama dia ambil aja. Gue juga udah lupain dia."
Semudah itu dia bilang aku bisa mengambil Kak Rama. Memangnya kamu pikir Kak Rama barang, yang bisa dikasih secara cuma-cuma. Dasar munafik.
"Gue udah move on, Pris. Lo bisa dapetin dia." Jawabku dan langsung ngeluyur pergi.

***

Semenjak aku tau Kak Rama menyukai sahabatku. Hubunganku dengan Mira juga berjalan alot. Tidak lagi pergi ke kantin sama-sama. Apa lagi saling sharing. Aku tau bukan Mira yang salah. Bukan  juga Kak Rama yang salah. Menyukai seseorang bukanlah suatu hal yang salah. Itu hak semua orang. Ahh, harusnya aku lebih tau diri.

Aku memposting banyak status galau di dinding facebook milikku. Aku rasa Kak Rama mengetahui itu semua. Sampai akhirnya dia mengirimiku pesan. Tentang kekesalannya terhadap sikap childishku.

"Nuk, berhenti buat status yang seolah-olah menyalahkanku. Aku udah berusaha ngertiin perasaan kamu. Sekarang, waktunya kamu yang ngerti perasaan aku. Aku udah hargai perasaan kamu. Jadi please, jangan buat aku ngerasa bersalah. Dan satu lagi, hapus perasaan itu dari hati kamu."

Kata-kata yang sangat menyakitkan. Ya, aku salah. Aku childish. Aku egois. Aku selalu berharap hal yang tabu. Namun aku bisa apa? Semua ini bukan aku mengontrolnya. Perasaan ini. Perasaan sayang ini sudah membuatku salah arah. Perasaan yang terlalu menggebu ini membuatku kikuk. Membuatku terlihat bodoh di depan dia. Membuatku salah dalam melangkah. Baiklah. Aku mundur. Aku menyerah dengan semua penantian ini.

***

Rabu, 09 Juli 2014

Perjalanan Dalam Penantian (part 1)

Aku membuka album yang ada di tanganku saat ini. Album masa-masa SMA ku dulu. Hanya ingin mengingat kenangan-kenangan apa saja yang pernah ku lalui bersama teman-temanku. Aku memfokuskan mataku pada sebuah gambar bisa aku bilang abadi. Begitu indah. Sampai akhirnya aku menemukan sebuah foto yang untuk sejenak aku hentikan gerak tanganku untuk membuka halaman yang baru.

Fotonya. Foto tiga orang pria dalam sebuah ruangan. Dari tiga pria itu aku memfokuskan mata pada satu objek. Dia yang berada di pojok kanan, sedang fokus mencermati jalannya sidang OSIS. Aku ingat betul itu. Kejadian di mana aku diam-diam mengambil fotonya. Ah, betapa dulu aku sangat mengidolakannya.

***

#Flashback...

Riuh terdengar suara para siswa/i baru di sekolah ini. SMA N 3 baru saja menerima murid baru dan Alhamdulillah aku menjadi salah satu siswi yang beruntung bisa masuk ke sekolah terfavorit ini. Melakukan upacara penerimaan siswa baru, kemudian dilanjutkan dengan acara MOS. Kami dikumpulkan di sebuah ruangan yang cukup besar untuk menampung 114 anak baru. Kami dibagi menjadi empat kelas, dan aku menjadi salah satu anggota di kelas XB.

Dipimpin oleh dua mentor cantik dan ganteng, kami satu kelas menjadi tim yang harus saling bekerja sama untuk melaksanakan setiap tugas dan perintah selama MOS berlangsung. Aku terpilih menjadi ketua kelas. Untuk sementara waktu.

Waktu berjalan dengan begitu cepat. Tanpa terasa kita sampai di mana hari terakhir MOS diadakan.  Agenda hari terakhir adalah out bond , dalam satu kelas kita dibagi lagi menjadi beberapa tim yang bergabung dengan kelas lain. Satu tim terbagi menjadi 7 orang.

Kami lewati semua halang rintang, permainan, bully-bullyan dari para senior, semua kita lewati dengan semangat. Meski ada sedikit ketegangan yang menyelimuti. Tim kami tiba di akhir permainan, permainan yang mengutamakan ke kompakan. Dan di permainan terakhir inilah aku bertemu dengan dia yang aku kagumi.

"Oke, kalian sudah sampai di permainan terakhir. Permainannya gampang, kok. Kalian hanya harus melewati tali-tali ini dengan membawa karet ini di mulut kalian menggunakan sedotan. Di setiap sudutnya ada teman kalian yang nantinya di saat kalian bertemu dengan teman kalian, kalian harus memindahkan karet yang ada di mulut kalian ke sedotan yang ada di mulut teman kalian. Jangan sampai jatuh. Hanya ada 3 kali kesempatan. Jika karet jatuh sebanyak 3 kali. Kalian dianggap gagal. Mengerti?"

"Mengerti, Kak!" Jawab kami serempak.
"Baik. Kamu...Hm.." Kak Rama mencoba memanggil namaku. Ia melihat sebuah nama di name text yang aku pakai. "Inuk. Kamu bisa membagi teman-temanmu untuk berada di posisinya."
"Nama saya Inu, Kak. Jangan ditambahin 'K' di belakangnya."  Keluhku.
"Iya-iya, maaf. Silahkan, Inu dimulai."

Kesan pertama bertemu dengan Kak Rama, biasa saja. Dia orangnya lucu, baik, ramah, dan manis. Tapi satu hal yang tidak ku suka dari dia, dia selalu menyapaku dengan Inuk. Namaku selalu ia beri tambahan 'K' di belakangnya. Jadi, setiap kali ia menyapaku aku selalu menegurnya untuk tidak memanggilku Inuk.

"Inu, Kak Rama."
"Iya, Inuk. Eh, Inu."
Selalu seperti itu.

Namun entah kenapa, semakin berjalannya sang waktu aku semakin menyukainya. Tidak, lebih tepatnya belajar menyukainya. Ya, aku hanya berpura-pura menyukai sosok kak Rama. Aku cukup dekat dengan Kak Resti. Kakak kelasku yang dulu pernah satu kelas dengan Kak Rama. Dan sekarang ia satu tingkat dengan Kak Rama, bedanya Kak Rama adalah anak IPA, sementara Kak Resti anak IPS.  Aku berpura-pura menyukai sosoknya hanya karena saat itu aku hanya ingin move on dari seseorang. Jahatnya aku, aku malah menjadikan Kak Rama pelarian rasa kagumku.

"Si Rama itu orang sunda, dek. Makanya dia ngomong kayak gitu. Nama Kakak aja selalu dikasih imbuhan 'K'. Dia lagi galau tuh, Dek. Baru putus dari Ria. Satu kelas sama dia pas kelas X sampe sekarang."
"Oh ya? Wah, ada kesempatan. Kak, titip salam ya buat dia."
"Sip. Tapi bukannya kamu suka sama Kak Angga? Anak kelas XII IPS2?"
"Ah, nggak ah. Dia PHP dan dari gayanya kayaknya dia sombong. Terus dia tu suka senyum-senyum gitu sama aku, mungkin gara-gara waktu itu aku pernah nulis surat buat dia dan bilang, senyuman mu begitu indah."
"Haha, kamu tuh. Udah ah, masuk kelas gih. Kakak ke kelas ya. Daa."

Aku mengangguk. Dan segera memasuki kelasku.

***

Waktu semakin cepat berlalu. Berawal dari iseng-iseng titip salam, mencari tau tentang dia melalui kak Resti, dan sekarang rasa keingin tahuan itu berujung menjadi sebuah rasa suka yang aku sendiri bingung kenapa tumbuh dengan begitu subur di hatiku. Sosoknya yang ramah, senyumnya yang khas dan suaranya yang selalu menyapaku kala kita berpapasan membuatku terus membayangkannya. Sejak saat  itu, aku menjadi tidak marah lagi jika dia memanggilku dengan panggilan Inuk. Malah sekarang seluruh akun socmed-ku, aku beri nama Inuk. Dan supernya lagi, nama itu menyebar satu sekolah.

Satu fakta yang aku ketahui tentang dia dan benar-benar aku suka. Dia anggota eskul basket. Keren. Setiap sore, aku selalu berpura-pura datang ke sekolah untuk melihatnya memainkan si bundar yang dapat memantul itu. Dia memiliki pesonanya sendiri ketika bermain. Dan itu membuatku sangat-sangat menyukainya.

Kita semakin dekat semenjak aku meminta nomor hapenya dari Kak Resti. Sering smsan meski aku terus yang selalu memulainya. Aku selalu merasa bahagia setiap kali ia membalas sms-ku meski itu hanya bertuliskan dua kata.

Sampai akhirnya aku menemui sebuah kenyataan yang begitu pahit. Wajah manisnya ternyata bukan hanya aku yang suka. Ada banyak cewek setingkatku yang mengagumi sosoknya. Dan mereka lebih dari aku. Aku bisa berbuat apa? Terlebih ada satu cewek yang menurutku dia sangat sempurna dan pas jika menjadi pasangan kak Rama. Dia adalah Alexa.

Dia juga dekat dengan Kak Rama. Sangat dekat. Rumah mereka juga tidak begitu jauh. Namun aku tetap bertahan.

Entah sudah berapa lama aku menahan perasaanku. Perasaan yang selalu ingin aku ungkapkan di depan dia. Oke, mungkin tidak secara langsung, hanya via sms. Tak apa, asal aku biisa lepas  dari beban ini. Nyeseknya nyimpan  perasaan ini adalah ketika di mana aku harus melihatnya tertawa lepas bersama Alex atau dia bisa begitu dekat dengan cewek lain. Aku cemburu, tapi aku bukan siapa-siapa. Di sekolah aku juga tidak begitu dekat. Hanya sebatas teguran dan saling mengejek. Nggak lebih. Disms pun terkesan biasa saja.

Sampai akhirnya, aku tidak lagi memikirkan gengsi seorang wanita. Rasa malu menghilang. Terkalahkan oleh sesak di hati yang begitu besar. Ku coba menghubunginya duluan.

"Kak, Inuk boleh bilang sesuatu nggak sama, Kakak." SMS pertama sukses terkirim. Jantungku berdebar begitu cepat. Entah karena tak sabar menunggu balasannya, atau karena aku takut.

Hapeku bergetar. Ku lihat di layar monitor tertera namanya. Jantungku berpacu semakin cepat.
"Mau bilang apa?"
"Aku suka sama Kakak. Maaf kalau aku terlalu berani. Aku cuman pengen ngungkapin apa yang ada di hati aku. Aku udah nggak bisa nahannya lagi. Terserah respon kakak kayak gimana. Tapi yang aku minta cuman satu,Kak. Kakak jangan jauhin aku. Tapi, kalau seandainya kakak mau aku menjauh aku akan coba, Kak."

Terkirim. Entah apa yang ada di benakku sampai akhirnya aku benar-benar melakukan itu. Melakukan hal yang benar-benar gila. Lama pesan itu terbalas. Berkali-kali ku buka tab kotak masuk dan keluar. Ku coba cerna kembali kata-kata yang ku kirim lima belas menit yang lalu. Nafasku semakin tak beraturan. Jantungku juga berpacu lebih cepat. Ritmenya semakin terasa saat getar hapeku menginterupsi. Kak Rama membalasnya. Aku memperlambat gerakan jemariku. Rasanya aku enggan membuka pesan itu. Aku takut pesannya akan mengecewakan aku.

"Hah? Serius, Nuk? Sejak kapan?" Responya. Ya Tuhan, kenapa malah nanya. Aku lebih suka dia berkata langsung tanpa harus muluk-muluk bertanya, karena itu hanya menyiksaku. Membuat dadaku semakin sesak.
"Sejak MOS. Kakak ingatkan aku sering tititp salam sama Kakak lewat Kak Resti? Oiya, Kak. Ini hanya pengungkapan. Bukan suatu pernyataan di mana aku berharap kita pacaran. Tidak, Kak. Aku hanya ingin Kakak tau perasaan yang selama ini aku pendam."

Jantungku mulai tenang. Setidaknya tidak setegan. Aku sedikit agak rileks mengetik setiap karakter untuk dikirimkan ke Kak Rama.
"Kakak hargai perasaan kamu. Kakak juga tersanjung dan terkesan sama keberanian kamu. Kakak yang cowok aja belum tentu bisa kayak kamu. Dan kakak berusaha untuk bisa jaga perasaan kamu. Terima kasih sudah mau menyukai orang seperti kakak."
"Makasih, Kak sudah mau mengerti. Hal ini baru pertama kali aku lakukan. Dan itu sama Kakak. Kakak jangan cerita sama siapa-siapa ya tentang ini. Bahkan ke bang Awan sedikitpun."
"Pertama? Wah, makasih udah jadiin kakak yang pertama. Pasti butuh keberaniaan yang besar ya. Iya, Inuk."
Smspun berlanjut. Sampai akhirnya berakhir karena sudah saling mengantuk. Bangga rasanya bisa mengungkapkan perasaan ini.

Bersambung :)...
Tunggu kelanjutannya ya. :D

Minggu, 06 Juli 2014

Rindu Di Balik Malam...

Alur malam semakin pekat. Sinar bintang perlahan memudar. Mungkin ia mulai lelah karena harus membagi energinya pada sang bulan yang semakin meninggi. Ia memancarkan cahaya begitu indah. Hanya cahaya sang bulan yang menemani Rindu menikmati suasana malam. Gadis manis yang saat ini duduk di bangku kelas tiga SMA. Entah malam yang ke berapa, Rindu menghabiskan separuh waktu malamnya di halaman belakang rumahnya. Mungkin hanya Rindu, remaja cantik yang berani duduk sendiri di sebuah halaman yang bisa dibilang cukup luas. Sekalipun itu adalah perkarangan rumahnya, tengah malam tetap hal yang mencekam bagi semua orang, termasuk wanita.

Namun baginya, malam adalah keindahan. Malam adalah teman tanpa wujud namun dapat mengerti tentangnya. Rindu lebih suka menyendiri di balik malam.  Membagi kesedihannya atau kebahagiaannya pada sang malam.

Biasanya Rindu selalu sendiri menikmati malamnya. Tapi, sudah hampir sebulan ia selalu ditemani oleh seorang laki-laki yang seumuran dengannya. Sahabat karibnya. Kadavi.

"Mau sampai kapan, hanyut dalam dinginnya malam?" Sapa pria yang selalu dipanggil Davi.
"Namaku adalah Rindu. Namun bukan aku yang dirindukan mereka. Tapi mereka yang selalu ku rindukan."
"Aku merindukanmu. Setiap aku jauh darimu, aku selalu merindukanmu. Dan aku janji, aku akan selalu bersamamu." Jawab Davi.
Rindu diam. Menatap wajah Davi sekilas, kemudian kembali menatap sinar bulan.

Pipinya basah. Embun bening itu jatuh. Bukan hanya pada malam ini. Setiap malam. Derai air mata itu semakin deras. Semakin jatuh membasahi pipinya yang terlihat tirus. Davi membelai rambutnya. Berusaha terus membuatnya tenang. Namun, Davi mengerti bagaimana sahabatnya itu.

"Coklat hangat..." Ucap Davi.
Rindu mulai tenang. Ia menghapus air matanya. Dan menatap secangkir coklat hangat dari Davi. Rindu tidak menyambutnya. Ia malah pergi meninggalkan Davi dalam pekat malam sendiri.

***

Tatapan mata bulat milik Rindu kosong. Matanya menerawang jauh ke depan. Roti bakar yang ada di hadapannya tidak ia sentuh sedikitpun.  Susu coklat yang sudah tantenya buatkan, juga tak ia minum barang setetes pun.

"Rindu..." Sapa hangat sang tante.
"Rindu berangkat."
Hanya dua kata itu, kemudian pergi.

Semenjak Ayahnya meninggal. Rindu lebih suka menyendiri. Padahal dulu Rindu termasuk anak yang aktif, pintar, supel, dan juga periang. Sang Ibu menderita gangguan jiwa karena kematian sang Ayah. Sejak saat itulah, hidupnya menjadi berubah. Rindu menjadi pendiam, lebih sering ngelamun, lebih banyak menghabiskan waktunya sendiri. Sejak semua orang yang ia sayang tak ada lagi di sampingnya.

***

Rindu membawa puluhan lembaran kertas. Kembali ia menikmati malamnya. Rindu membuka kertas itu perlahan. Berisi puisi-puisi yang selalu Davi tulis untuknya. Kertas itu terlihat usang. Mungkin karena terlalu lama tersimpan dalam kotak khusus di kamar Rindu.

Malam semakin pekat. Gelap. Tanpa bintang maupun bulan. Hanya ada angin yang menyiratkan bahwa, sebentar lagi akan turun hujan.

Derap langkah seseorang perlahan mulai mendekat. Rindu tersenyum, meski air matanya mengalir perlahan. "Kau kembali, Davi?" Ucapnya.
Davi menghentikan langkahnya. Jaraknya tidak begitu jauh dari Rindu. Hanya saja Davi berada di belakang Rindu.

"Bertahanlah di sampingku sampai matahari terbit. Tetaplah berada di sampingku sampai sang malam menghilang. Buktikan janjimu bahwa kamu akan terus bersamaku."
"Rindu..." Suara Davi terdengar parau.
"Kenapa? Bukankah kamu sudah berjanji untuk tidak akan pergi meninggalkanku. Iya 'kan, Davi?"
Davi diam. Rindu membalikan tubuhnya. Mendekati Davi yang masih berdiri mematung.

"Aku benci kamu, Davi! Aku benci kamu!" Rindu memukul tubuh tegap milik Davi. Ia menangis. Menangis seiring derai hujan yang semakin deras. "Pergi dari kehidupanku Davi. Pergi! Kita sudah berbeda. Biarkan aku sendiri. Di dunia ini aku memang di takdirkan untuk sendiri. Tuhan! Setelah Kau ambil Ayahku, Davi, adikku, Ibuku. Siapa lagi yang akan Kau ambil dariku? Arrgghhh. Aku benci. Aku benci!"
Rindu histeris. Tante Rani dengan sigap membawanya masuk ke dalam rumah. Mencoba menenangkan jiwa Rindu yang semakin terguncang.

***

Puisi-puisi itu hanyut. Hilang tanpa bekas karena hujan. Sama dengan sang penulis yang menghilang kemudian pergi menuju Sang Kuasa. Meninggalkan rindunya sendiri. Tanpa bisa menemaninya lagi.

Jumat, 04 Juli 2014

Rahasia Hati Yunda (last Part)

Aku diam. Angin pantai berusaha menenangkanku. Setidaknya ia bisa menahan air mataku untuk tidak jatuh membasahi pipiku. Yang pada akhirnya, Kak Ina akan bertanya mengapa aku menangis. Kak Ina tidak boleh menikah dengan orang lain selain Irgi. Bukankah itu tujuanku sebenarnya untuk datang ke sini?

Aku beranjak dari posisiku. Menarik tangan Kak Ina dan membawanya segera pergi dari pantai ini. Kak Ina mengikuti langkahku dengan tatapan heran. Dan mungkin di benaknya tersimpan seribu tanya. Aku tak perduli. Aku tetap berlari sembari merengkuh tangannya. Tak ingin membiarkannya pergi begitu saja. Inginku hanya satu,aku ingin membuat seseorang yang aku cintai bahagia bersama orang yang dicintainya. Tersenyum bersama orang yang ia sayang. Setidaknya itu bisa mewakilkan kebahagianku, meski rasanya sangat munafik.

Aku memintanya untuk ikut denganku. Menceritakan sedikit kehidupannya setelah Kak Irgi berada di Jawa dan meninggalkannya tanpa kabar.

"Kedua orang tua kami sudah setuju. Meski awalnya orang tua Kakak tidak menyetujui hubungan kami. Seiring berjalan waktu, hati mereka pun luluh. Berusaha menerima Irgi dengan senang hati. Tanpa memandang status atau apa pun itu. Sampai akhirnya, malam itu, malam di mana Irgi meminta Kakak untuk mempertemukannya dengan orang tua Kakak. Kakak meng'iya'kan apa maunya. Kakak tidak berpikir bahwa malam itu adalah malam terakhir untuk Kakak dan Irgi...

Ia berbicara dengan orang tuaku. Mengatakan bahwa hubungan kami harus berakhir. Ia harus pergi merantau ke Jawa. Aku sempat tidak mengijinkan keputusannya. Waktu itu kami sepakat, sudah tidak ada masalah llagi dalam pekerjaan. Aku tetap akan merasakan kebahagiaan meski hidup sederhana. Namun, esoknya ia tetap pergi. Tanpa pamit, dan menghilang begitu saja. Orang tua mana yang terima anaknya dipermainkan seperti ini.  Dan akhirnya aku dijodohkan oleh pria yang bekerja sebagai dosen muda di salah satu kampus."

Aku masih bertahan dalam kebisuan. Tanpa perlu ku meminta Kak Ina menceritakan kehidupannya, sorot mataku seolah terbaca dengan begitu mudah olehnya. Sampai akhirnya ia menceritakan itu semua begitu saja.

"Aku datang ke sini untuk menyatukan kalian. Kenapa jadinya seperti ini." Sebuah kalimaat terlontar dari bibirku.
"Maksudmu?"
"Aku datang jauh-jauh dari Jawa ke sini hanya untuk menyatukan cinta kalian. Di sana Kak Irgi masih terus memikirkan Kakak. Ada sedikit penyesalan di dalam hatinya. Dan... Dan aku hanya ingin membuat dia bahagia bersama Kakak." Suaraku semakin melemah. Semoga Kak Ina tidak sepeka yang ku kira. Semoga ia tidak menyadari bahwa aku bersedih saat ku harus merelakan seseorang yang aku sayang pergi bersamanya.
"Apa rencanamu?"

***

Sudah hampir satu bulan aku berada di Padang. Aku juga sudah menjalani test masuk perguruan tinggi. Aku lulus melalui jalur prestasi.

Aku duduk di sebuah bangku taman yang pihak kampus sediakan sebagai fasilitas. Taman di sekitaran kampus ini memang tempat efektif untuk para mahasiswa menghabiskan waktunya selama berada di kampus. Termasuk aku yang sangat senang menghabiskan waktu di sini. Aku membuka tab andalanku. Aku mengecek ada sebuah pesan masuk di e-mailku. Kak Ina.

"Malam ini Kakak menjalankan acara Malam ba inai, Yunda. Andaikan kamu ada di sini. Kakak pengen kamu yang ada di samping kakak nemenin kakak. Kakak tetap pegang janji Kakak untuk tidak memberitahu keberadaan kamu ke Irgi. Terima kasih telah membawa Kakak dalam kebahagiaan ini, terima kasih sudah mengantarkan kakak ke Jawa untuk menemui Irgi."

Aku mendalami sebuah tulisan elektronik dalam tab ku. Uraian kebahagian Kak Ina akan segera menikah dengan Kak Irgi. Dan kalimat terakhir yang aku baca ... "Irgi terus mencari kamu. Dia menanti kamu pulang, Yunda. Dia ingin menceritakan kebahagiaan ini sama kamu. Mungkin dulu, kakak adalah orang yang ditunggunya untuk datang. Namun sekarang, ia menunggumu, Yunda. Jangan siksa hati kecil kamu..."

Air mataku mengalir perlahan. Membiarkannya tumpah begitu saja. Berharap rasa sakit ini akan berkurang. Berharap luka di hati ini cepat mengering dan menghilang begitu saja. Apapun yang ku rasakan saat ini, aku bahagia karena berhasil menyatukan cinta sesungguhnya. Kemudian membiarkan ini menjadi sebuah rahasia besar yang aku simpan sendiri :')

Selesai :)

Minggu, 15 Juni 2014

Rahasia Hati Yunda (part 2)

Kelanjutan Rahasia Hati Yunda (part 1)

Sepanjang perjalanan menuju kota Padang hanya aku habiskan dengan termenung. Memikirkan sebuah rencana besar untuk menyatukan sebuah hati yang terpisah. Entah apakah aku akan sanggup atau tidak menjalankan rencana ini. Aku hanya bermunajat kepada Allah, untuk melancarkan rencanaku.

Satu jam setengah perjalanan yang cukup melelahkan ini aku tempuh. Abang sepupuku telah menungguku di balik pintu kedatangan. Ia menjemputku dengan sebuah mobil Innova.

"Latiah bana nampaknyo ko diak."(Capek banget keliatannya, dek)
Aku hanya tersenyum getir .

"Bang, antarkan Yunda ke Pantai Pariaman. Yunda mau ngeliat pemandangan di sana." Abangku hanya mengangguk.
Aku memang belum terlalu fasih berbahasa Padang. Maklum aku dibesarkan orang tuaku di Jawa jadi jarang sekali aku menggunakan bahasa Padang sekalipun Ayah dan Ibu selalu menggunakannya di rumah atau bersama teman-teman satu suku sebagai ciri khas.

2 Jam lebih ditempuh abangku dari kota Padang ke Pariaman. Dan akhirnya aku tiba di pantai Pariaman. Aku segera berlari mengejar ombak-ombak kecil. Sejenak aku bisa melupakan beban di otakku. Aku duduk di bibir pantai dan menikmati angin sore tepi pantai yang berhembus syahdu. Abang sepupuku memilih untuk menunggu di mobil.

Tubuhku mungkin berada di Pariaman. Sayangnya, pikiran dan hatiku masih tertinggal di Jawa. Aku masih belum bisa melupakan sosok pria yang dulu sempat hadir di kehidupanku. Membuatku terbiasa dengan asap rokoknya, membuat aku terbiasa menyukai hal buruk yang dulu aku tak pernah mau mendekatinya.

Pandanganku menangkap satu objek yang mampu memecahkan seluruh lamunanku. Seorang wanita cantik, memakai baju putih dan rok berwarna pink. Kerudung yang dipakainya, meliuk indah tertiup angin pantai. Cantik, dan anggun. Hatiku kembali bergumam, wanita itu tak asing di mataku. Wajahnya seperti pernah melintas di benakku. Atau aku hanya ber-de javu? Tidak, aku yakin aku mengenal wanita cantik  itu.

Perlahan kakiku melangkah ke arahnya. Semakin dekat dengannya, jantungku berdetak begitu kencang. Entah karena aku takut, gugup, atau ... Ahh, aku tidak mengerti tentang isi hatiku. Semakin dekat, semakin aku menyadari, di tangan kanannya ia memegang sebuah botol berisikan secarik kertas. Sementara di tangan kirinya, berisikan sebuah foto yang aku sendiri tidak tahu itu foto siapa.

Aku duduk perlahan di sampingnya. Sampai akhirnya aku menyadari siapa dia sebenarnya.

"Wisatawan ya, Dek?" Dia membuka suaranya. Memecah keheningan yang sedari tadi menjadi teman.
Aku mengangguk.
"Dari mana?"
"Jawa Tengah." Mendengar jawabanku wanita itu tertegun. Ia menundukkan wajah ayunya.
"Aku orang Padang juga kok. Cuman aku tidak terlalu fasih berbahasa Padang." Wanita itu menoleh kepadaku. Ia tersenyum. Manis sekali. Wajar jika Irgi sangat menyayanginya.

"Aku bisa membantu Kakak."
Wanita itu kembali terkejut.
"Aku mengenal siapa laki-laki yang ada di foto itu. Aku tau jika kakak sangat merndukannya."
Wanita yang aku ketahui bernama Ina itu, tetap diam. Ia menatap wajahku sangat serius meski heran. Aku tak membalas padangannya.Aku menatap jauh kedepan, ke hamparan laut yang bersih.

"Ahmad Irgi. Laki-laki yang hadir dengan begitu ramah, menyapaku dengan hangat. Aku tidak mengerti awalnya, mengapa aku begitu mengagumi sosoknya yang aku sendiri tau bahwa dia hanya seorang pedagang. Tapi, apa pentingnya sebuah statu ketika cinta sudah mengambil alih semuanya. Aku jatuh cinta. Aku benar-benar mencintainya sampai detik ini. Dan aku terus menunggunya. Aku terus menunggu meski sebentar lagi statusku adalah istri orang."
Aku diam. Terhenyak dari lamunanku. Istri? Dia akan segera menikah? Tidak. Itu tidak boleh terjadi.

Bersambung... :)

Selasa, 10 Juni 2014

Bersama Hujan...

Rana POV's...
Hujan membangunkan aku dari dunia mimpi. Aku beranjak dari tempat tidurku dan berjalan menuju jendela kamarku. Merasakan dinginnya percikkan hujan tepat di telapak tanganku. Percikkannya juga membasahi pipiku. Sejuk.

Aku mendesah. Tersenyum melihat bulir-bulir itu jatuh dan membasahi permukaan bumi. Aroma yang khas pertemuan antara air dan tanah. Puas aku menikmati pagi yang sangat spesial. Spesial karena bertemankan hujan. Aku suka hujan.

Hujan sepertinya masih betah bermain dengan permukaan tanah. Hujan masih sangat ingin membuat manusia bermalas-malasan untuk beranjak dari tempat tidurnya. Ya, ku rasa demikian. Sama dengan manusia yang berada tepat di depanku. Maksudku, seorang pria yang saat ini sedang berdiri di balkon kamarnya yang ternyata kamarnya sejajar denganku apabila dilihat dari depan rumahku. Rumah kami berhadapan, dan setiap pagi hal yang paling sering dia lakukan adalah menghirup aroma pagi sembari merenggangkan otot-ototnya. Tapi, di hari minggu ini bisa ditebak, bahwa ia baru bangun dari tidurnya sementara waktu menunjukkan pukul 08.30. Pemalas.

***

"Rain!" Sapaku saat tiba di rumahnya. Dialah Rain, seseorang yang selalu aku perhatikan saat pagi. Sahabat kecilku, yang kini tumbuh menjadi cowok cool. Dia tidak lagi sekocak jaman SMP. Sekarang dia berubah menjadi lebih dewasa.

"Senang kamu pagi ini?" Tanya Rain.
"Iya dong."
"Apa senangnya, dia datang dan menghancurkan semua aktifitas manusia."
"Tapi dia rezeki dari Tuhan. Kalau nggak ada dia, pasti bumi jadi kering kerontang."
"Tapi, pagi ini dia sudah menghancurkan rencana kita."

Aku terdiam. Rain benar, pagi ini sebenarnya kami berencana untuk saling memperkenalkan siapa pasangan kami. Tapi, gagal karena hujan. Pantas saja, Rio marah padaku tadi. Rio adalah gebetanku. Dialah yang akan aku kenalkan pada Rain. Sementara Rain, entah siapa yang akan dia perkenalkan denganku.

Melihat Rain kesal aku menundukkan wajahku. Membiarkan wajahku tenggelam oleh rambut panjangku. Rain masih sibuk memainkan iPhone miliknya. Kami masih saling diam di kamar Rain. Semakin jelas aku merajuk karenanya. Rain mendekatkan tubuhnya denganku, menyibak rambut panjangku, kemudian mengangkat wajahku agar menatap dirinya.

"Ini bukan salah hujan." Ucapku lirih.
"Iya iya. Ini bukan salah hujan."

Rain POV's...
Gadis manis itu terlalu menyukai hujan. Dia bahkan rela menangis apabila hujan yang ia suka selalu aku rendahkan. Tuhan bukan maksudku untuk merendahkan karuniaMu. Hanya saja dia terlalu menggilai hujan. Terkecuali hujan badai.

Berbeda denganku yang lebih menyukai angin. Bagiku angin itu lembut, syahdu, namun menyejukkan. Sama seperti seseorang yang aku sukai namun dia tidak pernah tau bahwa ku menyukainya. Ah, gadis itu benar-benar telah membutakanku. Hanya dia yang mampu membuatku tertarik. Pesonanya seperti angin. Aku suka angin.

Baiklah berhenti membicarakan anginku. Kita masih memiliki satu hujan yang harus dihentikan.

"Semangkuk es krim coklat untuk sang dewi hujan. Mau?"
Senyumnya mengembang. Cantik. Terlebih lesung pipinya yang dalam menjadi point plus untuknya. Sayang, kami berbatas persahabatan.

***

Rana POV's...
Rain mentraktirku satu mangkuk es krim coklat dengan topping oreo di atasnya. Yummy. Satu hal yang paling ku suka setelah hujan.

"Gimana kalau di sini aja kita ketemuan sama gebetan masing-masing. Mereka pasti maulah diajak ke sini." Usulku.
Seketika air di wajah Rain berubah. Rautnya menyiratkan sebuah mimik bingung. Mungkin. Aku sangat tidak bisa menebak bagaimana pemikiran Rain. Dia labil. Selalu berubah-ubah kapanpun dia mau. 

"Baiklah." Desahnya. Aku dan dia meraih handphone masing-masing. Rain diam. Sesekali ujung matanya melirik ke arahku. Aku tersenyum menghadapnya. Dia hanya membalasnya dengan sebuah tatapan yang aku sendiri tidak mengerti.

***

Rain POV's...
Gadis itu tertawa lepas bersama gebetannya. Sementara aku, hanya dapat melihat kejadian itu dengan sangat miris. Ya, aku sendiri di kursi ini. Tanpa gebetan, pacar, atau malah seorang sahabat cewek.

Aku tidak memiliki seorang wanita terspesial kecuali dia dan Ibuku. Hanya gadis itu yang bisa membuatku terpesona dan jatuh cinta. Dia. Tidak ada yang lain. Dia yang saat ini sedang tertawa lepas bersama seseorang yang ia katakan spesial. Cih, sespesial apa dia? Apakah dia mengetahui segala hal tentang kamu? Apakah dia mengerti tentang kejelekanmu, kesukaanmu, dan hal lain yang benar-benar berhubungan denganmu?

Ah, aku gila karena kamu, Rana. Dari kecil perasaan ini selalu membunuhku. Mengangumi tanpa dikagumi. Aku memang pengecut. Aku akui itu. Bayangkan saja aku memendam perasaan ini sudah hampir 6 tahun. Tepatnya sejak aku duduk di bangku SMP. Tapi, aku masih belum bisa mendapati keberanian untuk mengungkapkan semua.

"Hey, jangan ngelamun. Aku tau Dena nggak bisa datang. Tapi, jangan cemberut gitu, dong. Rio, kamu kan pecinta basket. Kenapa kalian nggak saling sharing." Tegur Rana menghancurkan semua lemunanku.

"Oh ya? Gimana kalau sabtu besok kita sparing? Team lo lawan team gue?"

"Gue sibuk." Aku berlalu meninggalkan mereka berdua. Meninggalkan cafe itu, dan semangkuk es krim coklat oreo yang sudah lama meleleh sedari datangnya Rio.

***

Rana POV's...
"Childish! Norak! Kampungan!"
Kesabaranku sudah di ambang batas. Aku benar-benar bingung dengan sikap Rain yang terlalu ke kanak-kanakan. Terlebih lagi itu di depan Rio.

Aku mendengar decit suara sepatu. Aku yakin itu suara sepatu Rain. Tapi, decit suara sepatu itu bukan hanya satu. Ada deru suara lain yang hadir di lapangan basket sore itu. Aku membalikan badanku. Mendapati Rain hadir dengan seorang cewek manis, berambut pendek, yang menggendong bola basket di tangan kirinya.

Dua pasang bola mata yang menyiratkan keheranan tertuju ke arahku. Aku masih terpaku di tempatku berdiri.

"Ngapain lo ke sini?" Tanya Rain dengan juteknya.
"Elo pasti Rana kan?"
Gadis itu berbicara padaku. Aku diam. Tanpa ada niat sedikitpun untuk aku menjawabnya.
"Kalau orang nanya tu dijawab." Suara Rain meninggi. Aku kesal. Rain sudah berani membentakku. Aku menghentakkan kakiku ke tanah dan meninggalkan Rain bersama gadis asing itu pergi begitu saja.

***

Rain POV's...
Hujan. Dia datang lagi. Aku berdiri tepat di balik jendelaku. Menatapi rintik hujan yang menghujam bumi. Mencoba menelusuri kenapa Rana menyukai hujan. Apa yang istimewa dari sebuah hujan? Hujan itu dingin.

Aku mengalihkan pandanganku ke sebuah jendela yang berada di seberang sana. Melihat seorang gadis cantik tengah menatap sendu rintik hujan. Aku yakin, setiap pagi dia pasti selalu seperti ini. Menatapku dari jendela kamarnya. Aku tersenyum sampai akhirnya aku menyadari sesuatu.

Rana POV's...
Rain mengejutkanku. Mengejutkan dengan sesuatu yang romantis. Bagiku. Ia merengkuh tubuhku dari belakang. Memecahkan lamunanku. Aku bahagia dalam peluknya. Aku merasakan kehangatan dalam peluknya.

"Kau menyukaiku kan, Rana?"
Satu pertanyaan yang membuatku terkejut. Pipiku memerah. Aku sesegera mungkin melepaskan pelukan itu. Menjauh dari tubuhnya.
"Kau menyukai hujan. Itu berarti kau menyukaiku."

Aku tersenyum. "Kau juga menyukaiku kan, Rain?" Aku mendekat, dan menatap dalam si pemilik mata nan indah itu, "Kau menyukai angin karena aku."

Rain merengkuh wajahku. Mendekatkan wajahnya tepat di depan wajahku. Wajah kami seperti hanya berjarak 5cm. Aku memejamkan mataku. Menunggu Rain untuk....
"Woyy, ngapain elo pake nutup-nutup mata segala. Hahaha, ngarep banget buat gue cium."

"Rainn!!" Teriakku.

                                                   *THE END*

Jumat, 30 Mei 2014

Rahasia Hati Yunda (part1)

Tangannya yang kuat itu memantik korek api dan menyulutnya ke sebatang rokok. Menghisapnya dengan penuh kenikmatan. Lelaki itu. Lelaki dewasa itu yang akhir-akhir ini berhasil menghantui otakku. Lelaki yang bekerja sebagai penjaga sebuah toko baju di pasar. Hidungnya yang mancung, tulang rahangnya yang tegas, matanya yang bulat indah, rambutnya yang bergaya klimis namun tetap membuatnya tterlihat manis. Tidak. Dia tidak cupu. Gayanya benar-benar seperti pria dewasa. Ku rasa usianya berkisar dua puluh tahunan. Ah, sungguh, setiap kali melihatnya tersenyum, hatiku serasa melayang jauh. Terlebih lagi dia ramah.

Yang aku tahu dia adalah orang Padang. Sama denganku. Nampak jelas dari logatnya yang khas. Khas orang Padang.

Cukup. Waktuku sudah habis mengagumi setiap lekuk wajahnya. Kini saatnya aku pergi dari pasar ini dan kembali ke rumah. Ibu dan Ayah akan sangat marah jika mengetahui anaknya terlambat pulang ke rumah.

Hanya mampu menatapnya dari kejauhan. Entah kapan tiba waktu yang pas aku bisa berbicara dengannya untuk sebatas dekat atau berkenalan diselingi basa-basi. Sampai dimana saat aku menemani Ibu berbelanja ke pasar, aku meminta pada Ibu untuk mampir ke toko laki-laki yang ku kagumi itu. Ibu menyetujuinya, dan lebih baik lagi Ibu meninggalkanku di sana dengan alesan Ibu ingin menjumpai sahabatnya di toko yang letaknya tidak jauh dari toko ini. Alhasil aku terdiam dan sibuk memainkan handphoneku. Meski terkadang mataku sedikit melirik ke arahnya.

"Namanya siapa, Dek?"
Dia menyapaku. Suara khasnya keluar. Meski bernada sedikit cempreng namun ku menyukainya.
"Ayunda Monita. Panggil saja Yunda."
"Oh, nama abang Ahmad Irgi. Panggil aja Irgi."

Perkenalan singkatku dengan pria yang sudah aku ketahui bernama Irgi. Tentu saja aku memanggilnya Bang Irgi, dia berusia lebih tua dariku.

Berawal dari perkenalan tu, kami pun semakin dekat. Selesai pulang sekolah aku selalu main ke tokonya. Ibu juga tahu bahwa anak sematawayangnya mengagumi Bang Irgi. Selama aku masih dalam batas wajar dan Ayah tidak mengetahuinya, aku masih boleh bergaul dengannya. Ayah adalah orang yang paling menentang apabila aku berteman atau bergaul dengan anak-anak pasar. Dan itu yang aku takutkan dari Ayah.

                                                                             ***
Semakin hari , aku dan dia semakin dekat. Masih dengan diam-diam di belakang Ayah tentunya. Aku juga sering sharing dengan dia. Ternyata Kak Irgi orangnya pintar, ia juga sering membantuku mengerjakan atau mengajariku soal-soal di sekolah. Maklum sebentar lagi aku akan menghadapi Ujian Nasional.

"Abang ini perokok. Maaf jika terganggu dengan asap rokok abang."
Aku mengangguk tegas. Bagiku aku sudah terbiasa menghirup asap rokok yang sangat menyiksa paru-paruku. Mulai terbiasa seiring dengan rasa ini yang sudah semakin merasa nyaman dengan dirinya.
"Mau denger cerita cinta abang nggak?"
"Mau. Mau banget." Jawabku semangat.

Aku mendengarkan setiap kata demi kata yang ia lontarkan. Mencermatinnya menjadi sebuah kalimat yang akhirnya aku akan mengerti. Ternyata, Irgi memiliki seorang kekasih di Kota Pariaman. Seorang bidan muda yang sangat cantik. Hidung mancung, bermata belo, berlesung pipit, dan satu hal yang Irgi suka darinya. Wanita itu adalah wanita soleh, ia berhijab. Ia meninggalkan gadis yang aku dengar bernama Ramadhina Adinda karena ketidaksepadanan status mereka. Ina--panggilan wanita itu-- adalah seorang wanita bertitle bidan sementara Irgi hanya seorang pedagang. Hubungan mereka sudah berjalan 2 tahun. Dan sampai akhirnya Irgi diminta untuk menjaga toko bibinya di Jawa, dan harus meninggalkan Ina di kota Pariaman. Ina tidak menerima keputusan Irgi. Ina bukan tipe cewek yang bisa bertahan untuk hubungan jarak jauh. Namun, Irgi tetap harus pergi.

Sampai dimana Irgi berangkat ke Jawa secara diam-diam. Meninggalkan Ina tanpa sebuah kabar atau pesan. Hal ini karena Irgi ingin Ina bisa melupakannya kemudian mendapatkan pria yang lebih baik dan sepadan dengannya. Irgi pun memutuskan untuk menukar nomor hapenya sesampainya ia di Jawa. Berat sebenarnya hati Irgi untuk melepasnya. Namun, apa hendak dikata, semua sudah terjadi.

"Dan kalau boleh jujur abang masih sangat menyayanginya. Abang hanya takut, dia benar-benar mendapatkan yang terbaik di sana."
Sebuah kalimat yang entah mengapa membuatku sakit. Mataku memanas. Hatiku sakit. Seseorang yang aku sayang, masih berharap dengan mantannya. Ya Tuhan...
Aku hanya tersenyum getir. Foto yang ada di tangannya ia genggam dengan sangat erat. Foto Ina.

                                                                              ***
Semenjak mengetahui akan hal itu, aku tidak pernah lagi dengan Irgi. Entah aku menjauh untuk benar-benar membencinya dan melupakan rasa ini, atau memang aku sedang malas untuk bertemu dengannya akhir-akhir ini, atau mungkin juga aku ingin terfokus dulu dengan ujianku..

Satu hari, dua hari, tiga hari, kemudian berganti minggu. UN ku selesai. Hasil akhir pun telah diberitahu olleh pihak sekolah dan aku lulus. Aku memutuskan untuk melanjutkan sekolah di Pariaman. Hati kecilku mengatakan aku harus kuliah di sana. Dan akhirnya, hari keberangkatanku tiba.

"Nda, kamu nggak mau ngomong sama Irgi dulu?" Sapa Ibu dengan nada khasnya.
Aku menggeleng. "Bu, seandainya ia menanyakan keberadaan Yunda, katakan jika Yunda tidak mau memberitahu di mana Yunda kuliah. Pokoknya pandai-pandai Ibu berbicara ya, Bu."
"Kalian ada apa? Lagi berantem?"
Aku menggeleng sekali lagi. Menegaskan bahwa aku dan Irgi baik-baik saja.
"Baiklah, Bu. Yunda berangkat. Ayah, Yunda berangkat. Assalamua'alaikum."
"Wa'alaikumsalam. Kabari Ibu ya."
Aku mengangguk. Aku mengecup tangan orang tuaku. Kemudian berlalu dan menghilang dari balik pintu keberangkatan.

(bersambung)
Tungguin lanjutan ceritanya ya, :)

Rabu, 28 Mei 2014

Cinta datang Terlambat (puisi)

Sahabat dan cinta...
Terkadang mereka berjalan beriringan...
Terkadang juga mereka saling menutupi...
    Munafik menjadi pijakkan langkah mereka...
    Mengatakan 'tidak' yang sebenarnya adalah 'iya'...
Sahabat dan cinta...
Dalam persahabatan selalu ada cinta...
Seperti kita...
Kita saling mencintai, juga saling menyayangi...
Kita saling mengisi, juga saling memberi...
Lalu apa?
Dimana salahnya?
   Salahnya, kita saling menutupi...
   Kita saling membohongi diri...
   Berpikir bahwa cinta hanya mampu
   merusak persahabatan...
   Kita tidak bisa lebih...
Munafik...
Menyesal...
Ketika cinta  itu pergi...
Hati mulai merasa sepi...
Menangis...
Untuk apa?
Semua terlambat...
Cintaku datang terlambat...

Sabtu, 17 Mei 2014

Aku Sakit


Ini adalah malam kesekian aku dan Rion menemani Asha di rumah sakit. Masih terbaring lemah dengan mata yang juga tertutup. Sudah hampir satu minggu Asha terbaring di rumah sakit dan masih belum juga sadar.
            Rion sahabatku yang kini telah menjadi kekasih Asha masih setia menunggu Asha untuk bangun dari tidur panjangnya.
            Aku, Rion, dan Asha adalah sahabat dari kecil. Bermain, tertawa, bahkan menangis bersama. Namun, ketka kami beranjak remaja. Tepatnya pada kelas 2SMA. Rion mengungkapkan perasaannya pada Asha. Hingga akhirnya mereka menjadi sepasang kekasih.
            Hampir satu tahun mereka berpacaran, cobaan besar mulai datang. Yaitu, sakitnya Asha karena penyakit gagal ginjal yang dialaminya 1 tahun terakhir ini. Dan mengharuskannya untuk cuci darah setiap 3 bulan sekali. Dan Rion memang cwok yang teramat setia, yang masih setia menunggu dan mensuport Asha agar kelak ia bisa sembuh dan kembali tertawa bersama kami.
            “Mil, kalo kamu mau pulang. Pulang aja. Biar Asha aku yang jagain.”
            “Tapi, Ion. Aku masih mau nemenin Asha.” Tolak ku.
            “Gak, Mil. Aku kasian sama kamu. Ini udah malam, Mil. Kamu pulang ya. Istirahat, biar besok kamu bisa jaga dia lagi.”
            Aku hanya diam menatap Rion. Dan mengangguk lesu. “Baiklah aku pulang, Ion. Nanti, kabarin aku tentang keadaan Asha ya, Ion.”
            Rion cukup meresponnya dengan sebuah anggukan. Dan aku pun melangkah kaki gontai meninggalkan ruangan dimana Asha dan Rion berada.
***
            Aku merebahkan tubuhku di atas ranjang. Melihat sebuah figura foto dimana ada aku, Rion, dan Asha. Setiap kali kami berfoto, Rion selalu menempatkan dirinya di tengah. Seakan-akan dia memiliki dua orang gadis yang sangat menyayanginya.


            Memang, bukan hanya Asha yang menyayangi Rion. Tapi, aku juga mempunyai perasaan yang sama pada Rion. Mungkin bisa diibilang aku lah yang pertama memiliki perasaan ini. Karena Akulah orang yang lebih dulu mengenal Rion. Namun, aku berusaha memendam. Dengan tujuan aku gak mau merusak persahabatan ini.
            Sampai akhirnya, Asha hadir di antara kami. Dan merubah semua kedekatan kami. Aku tidak sepenuhnya menyalahkan Asha. Karena aku tau, ini semua adalah rencana Tuhan.
            Aku terlalu lelah memikirkan semua. Aku terlalu letih untuk mem-Flash back semua kenangan ini. Aku ingin memejamkan mata ini, untuk sejenak saja. Dan kemudian hanyut dalam mimpi indah.
***
            “Hahahaha, gila kamu, Ion. Berani-beraninya ngerjain Pak Siswanto. Nekad, aabbiisss…” Ujarku.
            “Ya, dong. Kapan lagi bisa kayak gini, Mil?”
            “Tapi, ntar kamu kualat, lho. Orang tua tuh.”
            Gelak tawa tercipta di antara aku dan Rion. Masih teringat di ingatanku bagaimana senyuman itu merekah di wajahnya. Dan senyuman itulah yang memikatku.
            “Rion…!!!” Panggil seorang gadis cantik nan anggun.
            “Asha, darimana aja, kamu??” Ucap Rion.
            “Tadi aku dari perpus. Terus aku tungguin kamu di kantin. Ehh, gak taunya kamu disini bareng Emil.”
            “Oh iya, maaf ya sayang. Heheh.”
            “Iya, ini aku bawain jus buat kamu.”
            Melihat tawa di antara mereka, Aku juga berusaha untuk tersenyum. Meski sebenarnya di hati aku menyimpan sebuah sakit yang begitu menyiksa.
            “Emil, hidung kamu. Mimisan lagi.” Seru Asha.
            “Mil, kamu gak papa??” Tanya Rion.
            “Aku gak papa, Ion, Sha. Aduh..” Teriakku ketika kakiku tak dapat menyeimbangkan tubuhku lagi.
            “Emiiilll…!!!” Seru Rion menopang tubuhku.
            “Awww,, Ahhhh.. Rion. Perut aku sakit. sakit banget, Ion.”
            “Asha.. Kita ke UKS ya. Atau ke rumah sakit aja. Penyakit kamu pasti lagi kambuh.”
            Rion pergi meninggalkanku yang tengah menahan sakit juga disini. Dia lebih memilih Asha, kekasihnya daripada aku sahabatnya.
***
            Kini aku benar-benar tersadar. Siapalah orang yang benar-benar Rion sayang. Ketika aku juga tengah sakit dan butuh bantuan. Rion malah memilih menyelamatkan Asha. Apakah kini pacar lebih berarti dari segalanya? Entahlah, aku sebagai sahabat hanya berusaha mengerti dan bersabar. Aku yakin semua akan indah pada waktunya. Waktu dimana Rion tau, bagaimana hatiku sebenarnya.
***
            Semakin lama aku menunggu. Semakin aku banyak belajar dari kehidupanku yang tidak lama lagi. Penyakit ini terlalu ganas untuk aku lawan sendiri tanpa adanya support dari teman-teman dan sahabat. Aku menyerah Tuhan. Aku menyerah. Aku tidak lagi bisa melawan rasa sakit ini. Aku sudah tidak sanggup, Tuhan. Kini jemputlah aku dengan kereta kencanamu. Aku siap pergi dengan sejuta senyuman yang tersisa di akhir umurku. Misi ku sudah selesai Tuhan, jemputlah aku. Ku mohon Tuhan.
            “Emill, Emill. Emill, bangun, Mil. Ini Aku Rion. Please, bangun Emill.” Suara sendu menolongku untuk membuka mata. Untuk menyampaikan salam terakhirku untuk seseorang yang ku sayang.
            “Rion, akhirnya kamu ada di samping aku juga, ya. Setelah sekian lama aku sakit,Ion. Setelah sekian lama penyakit ini menggerogoti tubuhku. Hari ini, dihari terakhirku ini, kamu hadir merengkuh tanganku…”
            “Kenapa kamu gak cerita dari awal tentang ini, Mil.”
            “Aku gak mau cerita, karena aku ingin kamu yang bertanya langsung. Tapi, kenyataannya, kamu gak pernah nanyain aku sakit apa, Ion. Aku pengen kamu respect sama aku. Tapi, itu hanya mimpi bagiku.”
            “Gak, Mill. Kamu gak boleh bicara seperti itu. Dan ini bukan hari terakhir kamu. Please, bertahan. Bertahan sampe aku bisa bahagiain kamu di sisa hidupmu, Mil.”
            “Rion, aku sayang kamu. Dan ingin aku, aku tetap nunggu kamu. Tapi, aku capek. Aku letih, Ion. Letih berharap kamu memandang mata ini. Tapi, aku yakin dengan aku donorkan ginjal aku untuk Asha. Aku tetap bisa bahagia, Ion. Karena kamu mencintai seseorang yang di tubuhnya tersimpan organ seseorang yang menyayangimu dengan tulus. Sekarang aku, tenang Ion. Biarkan aku pergi. Agar aku tidak lagi merasakan bagaimana sakitnya hati yang tidak bisa memiliki.”
            Akupun menghembuskan nafas terakhirku. Dalam pelukkan Rion. Dalam pelukkan seseorang yang amat sangat aku sayang. Hati ini memang sakit Rion. Tapi, ketika tiba waktunya, hati ini bahagia dapat melihat seseorang yang dicinta bahagia bersama orang yang dia sayangi.
*the end*