Kamis, 18 Februari 2016

Peri Kecil

"remas tanganku dan bawa daku pergi bersamamu.."



Langkah kakinya berlarian dengan lugu melewati rerumputan halus di padang yang indah. Gaun pink dengan sayap kecil di belakang, mempercantik tubuh mungilnya. Ia berputar sembari tertawa riang bermain dengan sang angin. Wajah nya yang bersih, rambut hitam panjangnya yang terurai sempurna, menambah keelokkan pada dirinya. Senyumnya. Astaga. Aku meleleh. Aku hanyut dalam senyumnya yang hangat.

Tangan mungilnya, menarik tanganku. Membawaku menari lucu bersamanya. Hamparan rumput hijau bertemankan suasana sore yang indah. Membuatku nyaman dan enggan beranjak pergi meninggalkan gadis mungil ini. Ia begitu bahagia. Membiarkan kaki kecilnya itu bermain dengan rumput-rumput hijau.

Aku berjalan menjauh darinya. Kembali mengamatinya dari sisi yang aku suka. Melihat gaun pinknya berayun kesana kemari mengikuti gerakkannya.

“Peri Kecil…” Begitu aku menjulukinya.

Ia hanya dapat aku temukan saat aku terlelap dalam tidur nyenyakku. Aku tidak pernah tau siapa namanya. Yang aku tau, karenanya aku selalu ingin di tempat yang terlihat seperti surga. Bermain bersamanya. Melewati hari-hariku bersamanya.

“Damar…” Panggil Bundaku.

Peri kecil itu menghentikan langkahnya. Ia menatapku. Menatapku dengan rasa takut. Tak lama, peri kecil itu berlari dan menghilang.

Aku pun hanya melihat cahaya yang menyilaukan mataku. Aku membuka mataku saat aku yakin tidak ada lagi cahaya menyilaukan itu. Yang ada hanya beberapa peralatan rumah sakit dan selang infuse yang melekat di tanganku.

“Kamu makan dulu, ya…” ucap Ibuku.

Ahh, sial. Aku kembali ke sebuah tempat yang tidak aku suka. Neraka. Tanpa ada peri kecil. Yang ada hanya iblis-iblis jahat berbentuk kapsul dan tablet.

Aku memasang wajah cemberut di depan Ibuku. Ia hanya mengelus kepalaku. Kepalaku yang dulu sempat dihiasi oleh rambut hitam yang harum dan bersih. Sekarang, rambutku perlahan gugur. Dan aku hanya laki-laki botak yang terbaring lemah di rumah sakit.

“Sampai kapan aku di sini, Bunda?” Tanyaku sebelum aku mengunyah makanan hambar khas rumah sakit.

“Sampai kau sembuh.”

“Kapan? Aku bahkan tidak merasakan ada tanda-tanda aku akan sembuh, Bunda. Apa aku akan keluar dari rumah sakit ini setelah peri kecil memanggilku pergi?”

Bunda menatapku iba. Ia terus menyuapiku dengan bubur putih yang didampingi sayuran rebus. Sungguh. Makanan ini adalah makanan terburuk yang selalu aku makan. Tak lama, aku lihat air bening yang jatuh dari ujung mata Bunda. Tuhan, harus sampai kapan aku melihat Bunda menangis seperti ini? Aku hanya anak berusia sepuluh tahun yang tidak mengerti apa-apa. Aku bingung harus bagaimana menghadapi wanita yang sedang menangis. Dengan polos, aku menghapus air mata Bunda. Dengan tanganku yang ringkih dan sedikit gemetar.

Bunda memelukku. Dan aku hanya terdiam tak mengerti apa-apa. Yang aku tau, Bunda hanya terus menangis saat aku merintih kesakitan, yang aku tau tubuhku semakin lama semakin mengecil, rambutku semakin habis, dan tubuhku harus terus menerus merasakan obat yang begitu pahit dan menyakitkan. Aku tidak tau apa yang salah dengan tubuhku bahkan aku juga tidak tau penyakit apa yang sebenarnya aku derita.

“Bunda, jangan terus-terusan nangis dong. Damar ‘kan nggak suka liat Bunda nangis. Damar ada buat salah ya sama Bunda?”

“Nggak, sayang. Kamu nggak ada salah. Berjanjilah untuk tidak memilih peri kecilmu itu ya, Nak. Sesuka apapun kamu dengan peri kecil yang kamu temui itu, jangan pernah duakan cinta Bunda.”

“Bunda, Damar ini masih kecil. Damar nggak mau pacaran sama peri kecil, meskipun Damar suka dengan dia.” Jawabku malu-malu.

Dan Bundaku sedikit tertawa. Meski aku tau, air matanya mengalir semakin banyak.

***

“Damar…”

Peri kecil itu datang lagi. Dengan lugunya, ia berjalan menghampiriku. Ia tersenyum indah di hadapanku. Rambut hitamnya berliuk manja tertiup sang angin seiring dengan gaun pink khasnya. Aku seolah jatuh dalam pesonanya. Tapi, janjiku terhadap Bunda. Aku seolah hampir mengabaikannya.

“Ikutlah denganku, Damar…” Ujarnya dengan manis.

Ia meraih pergelangan tanganku. Dengan lembut aku mencoba menolak rengkuhan tangannya. Dan aku menggeleng dengan pelan.

“Kenapa? Bukankah kau lebih menyukai bermain di sini bersamaku?”

“Aku sudah janji dengan Bunda.”

“Bundamu hanya akan terus menangis jika kamu selalu merintih kesakitan di sampingnya. Jika kamu ikut aku, kamu tidak akan sakit lagi. Dan Bunda pasti bahagia. Kamu mau lihat Bunda terus bahagia, kan?”

Aku diam. Peri kecil itu berkata benar. Toh, Bunda hanya berpura-pura tertawa di sampingku. Sesungguhnya ia hanya menangisiku. Menangisi badan ringkihku. Aku juga lebih bahagia di sini. Bermain bersama peri kecil yang aku suka.

Tangan mungil peri kecil itu terjulur ke arahku. Dengan ramah ia memintaku untuk menggapai tangannya. Aku menarik nafasku panjang. Dan ku raih pergelangan tangan peri kecil itu. Berlari mengikuti langkah kecilnya. Bermain di padang rumput yang luas. Dan mulai berbahagia meski tidak di samping Bunda.

***

"Pergilah jika kau merasa bahagia, Damar. Bunda juga tidak akan tega melihatmu hidup bersama obat-obatan yang hanya membuatmu sakit. Tenanglah di Surga-Nya, Nak.”