Kamis, 31 Juli 2014

Sebentar saja...



"Argh, sial!"
"Kenapa lagi, Rex?"
"Tuh si Kevin, lagi-lagi pamer kemesraan sama Gita. Ilfeel tau nggak?"
"What's wrong, Rexa? Kevin udah jadi milik Gita. Sah sah aja kalik. Salah siapa dulu lo putusin Kevin?"
Gue diem. Lagi-lagi Leta bener. Entah ucapan yang keberapa kalinya. Karena hampir setiap detik gue ngeluh tentang Kevin sama Aleta dia pasti dengan mudah jawab hal itu. Karena emang itu semua salah gue.

"Siapa suruh pas jadian sama gue dia nggak bisa jadi cowok romantis kayak sekarang."
"Salah elo yang main ambil keputusan gitu aja tanpa ngomong dulu." Aleta pergi begitu saja meninggalkan gue yang masih gerutu nggak jelas

Gue ambil satu batang coklat dari balik tas gue. Memakannya dengan penuh emosi. Seketika pikiran gue melayang jauh. Keinget lagi gimana waktu gue jadian sama Kevin. Cuek, nggak perhatian, nggak romantis. Ya gitu pacarannya gue sama Kevin dulu. Jauh beda dengan sekarang. Dia jauh lebih romantis. Setiap ada kesempatan, mungkin ketika itu juga dia bakal perlakuin cewek dia yang sekarang dengan begitu romantis. Gue juga pengen gitu. Kalau boleh jujur, gue tuh masih sayang banget sama dia. Masih pengen berharap bisa balikan tapi nggak mungkin.

Ck. Perlahan kelas mulai ramai. Yang tadinya cuman gue sendiri sekarang malah udah banyak mahasiswa dan mahasiswi disini. Aleta juga masuk dan langsung duduk di kursi sebelah gue. Masih dengan wajah sinis. Gue tau dia capek sama sikap gue yang kayak anak-anak. Tapi, namanya juga orang galau, wajar kalau tingkahnya nggak nentu.

Satu setengah jam nunggu di dalam kelas dengan bermalas-malasan berhasil buat kadar bosen gue melonjak drastis. Gue mutusin untuk cabut jam kuliah berikutnya. Otak gue udah  terlanjur beku di mata kuliah administrasi ini. Gue pengen bolos kali ini aja ke tempat yang bikin gue nyaman. Semangkuk es krim coklat dan waffle mix berry khas Rainbow cafe buat gue bener-bener pengen cepet keluar dari mata kuliah ini. Hayolah jam, bersahabatlah denganku sedikit saja.

Sip. Bel udah berbunyi. Seiring dengan perut gue yang udah semakin nggak karuan bunyinya. Gue mutusin untuk cabut dari kampus kemudian bakal betah lama-lama di Rainbow cafe. Sialnya lagi, di parkiran gue harus ngeliathal yang bikin mood gue down dengan cepat. Yaps, Kevin dengan Gita. Beruntungnya nggak lama, karena si Gita keburu pergi duluan. Dan gue nggak tau kemana. Nggak penting ngurusin cewek orang.

Perlahan gue jalan menuju motor gue yang letaknya deket banget sama posisinya Kevin. Baiklah, gue coba bersikap sewajarnya. Tersenyum sedikit, tanpa ada sapa menyapa. Dia tidak membalas. Oke, no prob. Padahal sakitnya tuh di sini. *nunjuk hati tapi dari luar jadi nggak keliatan*

"Mau kemana lo?" Pause. Ya gerakan gue terhenti ketika gue denger suara dia tuh menginterupsi. Gue coba menoleh ke arahnya untuk mastiin dia ngomong sama gue atau sama orang lain.
"Gue?"
"Iya,elo. Elo mau kemana? Masih ada jam kuliah juga."
"Adduuhh, gue sakit perut, Vin. Gue mau cabut. Gue duluan ya." Jawab gue berkelit. Berharap dia ngelepas gue pergi. Sayangnya, dia malah nyemperin motor gue dan melototin gue.
"Bohong 'kan lo? Elo mau bolos 'kan?"

Dicecar pertanyaan kayak gitu. Gue masang wajah sangar, dan berusah jutek.
"Peduli apa lo? Bukan urusan elo juga."
Dia narik tangan gue dan maksa gue turun dari motor yang saat ini tinggal gue nyalain terus kabur.
"Gue ikut, Rex. Gue juga males ngampus."
Mata gue yang sekarang gantian melotot. Gimana nggak melotot, ngeliat tubuh Kevin dengan santainya duduk manis di depan kemudi motor gue.
"Udah naek. Malah diem. Kita ke Rainbow cafe ya."

Gue naik keboncengan motor gue. Dan ngebiarin Kevin yang bawa motor gue. Tujuan kita sama, Rainbow cafe. Jelaslah. Itu cafe andalan kita waktu pacaran dulu. Nggak nyangka kalau Kevin masih suka ngumpul disitu. Bedanya sekarang mungkin lebih sering sama Gita bukan gue.

Di belakang dia gue cuman bisa diem. Menatapi belakang tubuhnya yang kini benar-benar berbeda jauh dari yang aku kenal dulu. Tubuhnya lebih tinggi dari yang dulu. Kevin, kenapa sekarang elo bisa lebih keren?

Motor gue terparkir rapi di deretan motor-motor lain di lapangan parkir cafe ini. Gue ikutin langkah kaki Kevin yang cepet banget masuk ke dalam cafe. Masih sama kayak dulu, pas masuk cafe ini nggak pernah sekalipun kita pegangan tangan. Gue yakin, kalau Kevin sama ceweknya pasti beda. Sedangkan gue? Udah, nggak perlu dibahas kalau gue ini MANTANnya.

Pesanan kita masih sama. Gue waffle mix berries dan es krim coklat. Kalau dia coffee latte dan waffle coklat. Gue serasa flash back. Tapi, nggak boleh. Dia udah milik orang.

"Dari tadi diem mulu lo, Rex? Nggak suka kalau gue ikut lo?"
"Apaan sih lo. Gue emang lagi nggak mood ngomong."
"Yaudah."
Suasana kembali hening. Hanya ada lalulalang motor dan mobil yang jadi pemandangan. Tempat ini emang nggak ada romantis-romantisnya. Cuman jalanan macet kota Jakarta. Tapi, makanannya itu lho, yang enak dan bikin betah. Tapi baru sore ini ada pemandangan indah.Ya ada pasangan yang sepertinya baru aja ngerayain annivenya dengan nerbangin puluhan balon warna-warni ke udara.

Gue excited banget ngeliatnya. Kevin juga.
"Dulu pas gue jadian sama lo, Rex. Gue pengen banget nerbangin balon ini di anniersarinya. Tapi, elonya malah..."
Gue menggigit ujung sendok es krim. Tatapan mata gue kini beralih ke Kevin yang masih betah mandangin balon balon itu.
"Dan lo tau, gue berharap supaya First love gue bakal jadi Last love gue. Tapi..."
Jangan diterusin, Vin. Ntar gue bakal mewek di cafe ini. Harapan gue dan Kevin sama. Sama-sama pengen terbangin balon, dan buat harapan kayak gitu. Tapi...

Aleta ternyata bener, andai aja gue bisa bersabar dikit dulu. Mungkin sekarang gue udah terbangin balon-balon itu dengan harapan yang semoga aja terkabul. Tapi, setidaknya hari ini, gue udah seneng kok. Gue bisa berdua sama Kevin. Meski itu sebentar saja... :)

Tentangku...

Hai, makasih buat yang udah baca blog aku. Tapi sejauh postingan ini aku belum pernah kasih tau langkapnya profile tentang aku. And now, this is my profile.

Ayu Novita Hasan atau biasa dikenal dengan Ayuk. Asal muasal panggilan ini ada di salah satu cerita yang aku buat. Kalian bisa search sendiri, namanya aku samarin. Hihihi... Aku punya hobby nulis, baca novel korea, denger musik, jalan, dan foto. Aku sangat menyukai winnie the pooh. Bukan fanatic sih, tapi buat yang mau kasih hadiah bisa kirimin ikon yang satu ini. :D

Angka kesukaan aku adalah 5. Itu alesan nama blog ini PentRiesLova. Pent diambil dari kata 5 dalam bahasa kimia, penta. Ries yang diambil dari stories yang artinya cerita.. Lova artinya cinta. Jadi, PentRiesLova itu artinya lima cerita cinta. Tapi, di blog ini lebih dari 5 yaaa? *hahaha*

Cita-cita aku, pengen jadi seorang penulis terkenal dan bisa pergi ke Korea. Ammiiinnnn o:)
Tapi kalau pekerjaan sampingan aku mau ambil management bisnis. :D amin amin amin... o:)
Oke, cukup disini profile tentang aku. Semoga kalian senang ya sama bacaannya. Terima Kasiih :)

Perjalanan Dalam Penantian (End)

Sudah lama sekali rasanya aku tidak membangun kontak dengan Kak Rama. Sampai pada akhirnya, aku pacaran dengan ketua OSIS. Jujur hatiku tidak sepenuhnya bersama Kak Budi. Aku hanya menjadikannya pelarian. Terlalu jahat memang. Namun aku harap, Kak Budi dapat menghilangkan perasaanku terhadap Kak Rama.

Getar hapeku menginterupsi. Aku meraihnya, tertera nama Kak Rama di layar monitor.
"Congrats ya, Nuk. Elo udah jadian sama Budi. Langgeng ya."
Ku biarkan begitu saja pesan itu. Ku jauhkan hapeku dan memusatkan perhatianku pada monitor notebookku.

Enggan rasanya berlama-lama berkutat di layar monitor yang menunjukkan akun facebookku.
Aku merebahkan tubuhku di atas tempat tidur. Membiarkannya tenang, sementara pikiranku melayang. Senyuman itu, entah kenapa masih sangat sulit untuk aku lupakan. Pikiranku masih saja ingin mengetahui kabar dia. Keramahannya membuatku sangat sulit menghapus semua ingatan tentang dia. Ya Tuhan... Aku harap dirinya bahagia sama siapapun nantinya dia melabuhkan hatinnya.

Perlahan mataku memejam. Membiarkan jiwa ini terbuai oleh mimpi yang indah.


***

Mentari pagi menyapaku dengan cahayanya yang begitu terik. Hangat terasa merembet masuk menuju pori-pori kulitku. Aku yakin siang nanti akan lebih terik dari ini. Cahayanya tak lagi menghangatkan. Berubah menjadi panas yang membuat semua manusia di bumi meringis.

Aku melesat perlahan menuju sekolahku. Tak sampai lima belas menit aku telah sampai d sekolah. Berjalan perlahan menuju kelasku. Melewati koridor-koridor dan beberapa kelas di mana kelas X mengikuti kegiatan belajar mengajar. Kelasku berada di ujung koridor. Sesampainya di kelas, Kak Restu kakak kelas lain yang dekat denganku sudah duduk manis di kursiku. Ia juga satu kelas dengan Kak Rama.

"Dek, ikut kakak." Dengan cepat Kak Restu menarik tanganku. Membawaku ke taman sekolah yang berada tidak jauh dari kelasku.
"Ada apa, Kak?"
"BM kamu aktif?" Aku menggeleng tegas.
"Rama jadian sama Prisil."

Pernyataan yang lagi lagi buatku sakit. Tuhan, kenapa harus pagi ini aku mendapat berita yang sesungguhnya tidak ingin Aku dengar.Aku menarik nafasku lebih dalam lagi. Berharap dengan begitu rasa sakit yang menyelinap masuk di hatiku sedikit terobati. Aku tersenyum -berat-.
"Terus kenapa, Kak? Kalau emang dianya seneng dan bahagia, yaudah biarin aja."
"Kamu nggak..."
"Aku udah move on, Kak."Pernyataan yang sangat bertentangan dengan hatiku saat ini. Bodoh. Memang, Aku bisa apa selain berkelit. Nggak ada 'kan?

"Munafik kamu Nuk!" Kak Restu pergi begitu saja meninggalkanku sendiri di taman sekolah. Dia marah. Wajar, karena dia tau sekali bagaimana perasaanku sesungguhnya.

Perlahan aku mulai melangkah gontai. Bel sekolah berbunyi sudah dari beberapa menit yang lalu. Enggan rasanya melangkahkan kaki ini menuju kelas. Toh, masukpun udah telat juga. Aku memutuskan untuk menuju perpustakaan. Sedikit menenangkan diri, atau mungkin.....Menangis. Hanya itu yang bisa aku lakukan. Tidak hanya aku, bahkan semua wanita jika ia merasa hatinya sudah rapuh, ia pasti menangis. Bedanya dari penerapan tangisan wanita itu, entah itu tangisan ketegaran atau tangisan keputusasaan.

Aku mendesah. Mendapati sosok yang aku kagumi itu sedang duduk manis menekuri buku komik di tangannya. Lagi-lagi di balik persembunyianku, aku memperhatikannya. Aku selalu memperhatikan gerak-geriknya. Aku selalu memperhatikan aktifitasnya. Mungkin karena itu akhirnya aku terlalu menggilainya.

***

Aku menutup album foto itu. Flashback akhirnya mengingatkan aku pada penantian yang cukup panjang. Lewat sebuah tulisan mungkin tidak akan mampu mendefinisikan bagaimana perasaan atau bahkan jalan sesungguhnya sebuah cerita yang nyata. :)

Kamis, 17 Juli 2014

Perjalanan Dalam Penantian (part2)

Semenjak aku mengungkapkan apa yang ada di hatiku. Kak Rama benar-benar menjaga perasaanku. Kami tetap dekat, saling sharing meski tidak terlalu dalam. Yang penting setelah pengakuan itu tidak ada kecanggungan yang ketara. Kak Rama masih bersikap sama seperti hari-hari biasanya. Di sekolah masih saling menyapa.

Namun, semua tidak berlangsung lama, sampai akhirnya suatu hal datang dan membuatku terkejut.

"Mir, kemarin pas gue latihan basket, Kak Rama minta nomor lo. Berhubung gue nggak punya nomer hape lo, nggak gue kasih, deh."
Mendengar penuturan Tika, aku, Reny, Mira, dan Fisa terhenyak. Kak Rama meminta nomor hape sahabatku. Ada apa? Apakah Kak Rama menaruh hati pada Mira? Aku tidak mengerti. Jika ya, aku harus bagaimana? Aku harus benar-benar melupakan Kak Rama? Lawanku sangat tidak sepadan. Terlebih lagi ia menyukai sahabatku yang itu berarti tidak ada harapan sedikitpun untuk aku singgah di hatinya. Karena hati itu telah lebih dulu diisi oleh Mira. Sahabatku.

Aku berusaha tersenyum manis. Mira menatapku. Ia panik melihat tingkahku yang ia tahu sedang menyembunyikan sesuatu.
"Nu, ini pasti salah paham. Gue nggak akan ngasih nomor hape gue sama Kak Rama."
"Kenapa, Mir? Gue nggak apa-apa kok. Kalau seandainya dia minta nomor lo, apa masalahnya buat gue? Gue bukan siapa-siapa dia. Lagian gue juga udah move on kok." Aku berbohong. Hatiku terasa perih saat aku mengatakan bahwa aku sudah tidak berharap lagi dengan Kak Rama. Ini sangat bertentangan dengan hatiku.

Aku beranjak meninggalkan mereka yang masih menatapku dengan tatapan tidak enak. Sekali lagi, aku kembali memunculkan senyum yang seolah mengartikan aku baik-baik saja. Seberapa baik diriku saat ini? Apakah benar-benar baik? Atau aku hanya berpura-pura baik? Entahlah. Aku memilih untuk menyendiri di perpustakaan sekolahku. Duduk di sebuah kursi baca dengan pikiran yang melayang entah kemana. Aku membuka layar hapeku. Di sana tertera fotoku dengan Kak Rama di malam ulang tahun sekolah. Aku mendesah berat. Derapan kaki seseorang membuatku dengan cepat memasukan hapeku ke saku rok seragam.

"Hai, Inu." Sapa Prisil. Ia duduk tepat di sampingku. Aku membalasnya hanya dengan sebuah senyuman.
"Lagi ngapain? Biasanya ngumpul bareng Reny, Mira, sama Fisa. Kok malah sendiri di perpus?" Ia mencecarku dengan banyak pertanyaan. Seolah kita sangat dekat.
"Lagi males." Jawabku singkat.
"Oh. Gue denger, lo suka ya sama Kak Rama?" Aku diam. Aku tau mengapa dia menanyakan hal yang demikian. Ia juga menyukai Kak Rama. Bahkan mereka sangat dekat. Berbeda dengan aku yang hanya berbatas sms dan teguran.

"Lo juga 'kan, Pris?"
"He'em. Tapi, kalau lo mau sama dia ambil aja. Gue juga udah lupain dia."
Semudah itu dia bilang aku bisa mengambil Kak Rama. Memangnya kamu pikir Kak Rama barang, yang bisa dikasih secara cuma-cuma. Dasar munafik.
"Gue udah move on, Pris. Lo bisa dapetin dia." Jawabku dan langsung ngeluyur pergi.

***

Semenjak aku tau Kak Rama menyukai sahabatku. Hubunganku dengan Mira juga berjalan alot. Tidak lagi pergi ke kantin sama-sama. Apa lagi saling sharing. Aku tau bukan Mira yang salah. Bukan  juga Kak Rama yang salah. Menyukai seseorang bukanlah suatu hal yang salah. Itu hak semua orang. Ahh, harusnya aku lebih tau diri.

Aku memposting banyak status galau di dinding facebook milikku. Aku rasa Kak Rama mengetahui itu semua. Sampai akhirnya dia mengirimiku pesan. Tentang kekesalannya terhadap sikap childishku.

"Nuk, berhenti buat status yang seolah-olah menyalahkanku. Aku udah berusaha ngertiin perasaan kamu. Sekarang, waktunya kamu yang ngerti perasaan aku. Aku udah hargai perasaan kamu. Jadi please, jangan buat aku ngerasa bersalah. Dan satu lagi, hapus perasaan itu dari hati kamu."

Kata-kata yang sangat menyakitkan. Ya, aku salah. Aku childish. Aku egois. Aku selalu berharap hal yang tabu. Namun aku bisa apa? Semua ini bukan aku mengontrolnya. Perasaan ini. Perasaan sayang ini sudah membuatku salah arah. Perasaan yang terlalu menggebu ini membuatku kikuk. Membuatku terlihat bodoh di depan dia. Membuatku salah dalam melangkah. Baiklah. Aku mundur. Aku menyerah dengan semua penantian ini.

***

Rabu, 09 Juli 2014

Perjalanan Dalam Penantian (part 1)

Aku membuka album yang ada di tanganku saat ini. Album masa-masa SMA ku dulu. Hanya ingin mengingat kenangan-kenangan apa saja yang pernah ku lalui bersama teman-temanku. Aku memfokuskan mataku pada sebuah gambar bisa aku bilang abadi. Begitu indah. Sampai akhirnya aku menemukan sebuah foto yang untuk sejenak aku hentikan gerak tanganku untuk membuka halaman yang baru.

Fotonya. Foto tiga orang pria dalam sebuah ruangan. Dari tiga pria itu aku memfokuskan mata pada satu objek. Dia yang berada di pojok kanan, sedang fokus mencermati jalannya sidang OSIS. Aku ingat betul itu. Kejadian di mana aku diam-diam mengambil fotonya. Ah, betapa dulu aku sangat mengidolakannya.

***

#Flashback...

Riuh terdengar suara para siswa/i baru di sekolah ini. SMA N 3 baru saja menerima murid baru dan Alhamdulillah aku menjadi salah satu siswi yang beruntung bisa masuk ke sekolah terfavorit ini. Melakukan upacara penerimaan siswa baru, kemudian dilanjutkan dengan acara MOS. Kami dikumpulkan di sebuah ruangan yang cukup besar untuk menampung 114 anak baru. Kami dibagi menjadi empat kelas, dan aku menjadi salah satu anggota di kelas XB.

Dipimpin oleh dua mentor cantik dan ganteng, kami satu kelas menjadi tim yang harus saling bekerja sama untuk melaksanakan setiap tugas dan perintah selama MOS berlangsung. Aku terpilih menjadi ketua kelas. Untuk sementara waktu.

Waktu berjalan dengan begitu cepat. Tanpa terasa kita sampai di mana hari terakhir MOS diadakan.  Agenda hari terakhir adalah out bond , dalam satu kelas kita dibagi lagi menjadi beberapa tim yang bergabung dengan kelas lain. Satu tim terbagi menjadi 7 orang.

Kami lewati semua halang rintang, permainan, bully-bullyan dari para senior, semua kita lewati dengan semangat. Meski ada sedikit ketegangan yang menyelimuti. Tim kami tiba di akhir permainan, permainan yang mengutamakan ke kompakan. Dan di permainan terakhir inilah aku bertemu dengan dia yang aku kagumi.

"Oke, kalian sudah sampai di permainan terakhir. Permainannya gampang, kok. Kalian hanya harus melewati tali-tali ini dengan membawa karet ini di mulut kalian menggunakan sedotan. Di setiap sudutnya ada teman kalian yang nantinya di saat kalian bertemu dengan teman kalian, kalian harus memindahkan karet yang ada di mulut kalian ke sedotan yang ada di mulut teman kalian. Jangan sampai jatuh. Hanya ada 3 kali kesempatan. Jika karet jatuh sebanyak 3 kali. Kalian dianggap gagal. Mengerti?"

"Mengerti, Kak!" Jawab kami serempak.
"Baik. Kamu...Hm.." Kak Rama mencoba memanggil namaku. Ia melihat sebuah nama di name text yang aku pakai. "Inuk. Kamu bisa membagi teman-temanmu untuk berada di posisinya."
"Nama saya Inu, Kak. Jangan ditambahin 'K' di belakangnya."  Keluhku.
"Iya-iya, maaf. Silahkan, Inu dimulai."

Kesan pertama bertemu dengan Kak Rama, biasa saja. Dia orangnya lucu, baik, ramah, dan manis. Tapi satu hal yang tidak ku suka dari dia, dia selalu menyapaku dengan Inuk. Namaku selalu ia beri tambahan 'K' di belakangnya. Jadi, setiap kali ia menyapaku aku selalu menegurnya untuk tidak memanggilku Inuk.

"Inu, Kak Rama."
"Iya, Inuk. Eh, Inu."
Selalu seperti itu.

Namun entah kenapa, semakin berjalannya sang waktu aku semakin menyukainya. Tidak, lebih tepatnya belajar menyukainya. Ya, aku hanya berpura-pura menyukai sosok kak Rama. Aku cukup dekat dengan Kak Resti. Kakak kelasku yang dulu pernah satu kelas dengan Kak Rama. Dan sekarang ia satu tingkat dengan Kak Rama, bedanya Kak Rama adalah anak IPA, sementara Kak Resti anak IPS.  Aku berpura-pura menyukai sosoknya hanya karena saat itu aku hanya ingin move on dari seseorang. Jahatnya aku, aku malah menjadikan Kak Rama pelarian rasa kagumku.

"Si Rama itu orang sunda, dek. Makanya dia ngomong kayak gitu. Nama Kakak aja selalu dikasih imbuhan 'K'. Dia lagi galau tuh, Dek. Baru putus dari Ria. Satu kelas sama dia pas kelas X sampe sekarang."
"Oh ya? Wah, ada kesempatan. Kak, titip salam ya buat dia."
"Sip. Tapi bukannya kamu suka sama Kak Angga? Anak kelas XII IPS2?"
"Ah, nggak ah. Dia PHP dan dari gayanya kayaknya dia sombong. Terus dia tu suka senyum-senyum gitu sama aku, mungkin gara-gara waktu itu aku pernah nulis surat buat dia dan bilang, senyuman mu begitu indah."
"Haha, kamu tuh. Udah ah, masuk kelas gih. Kakak ke kelas ya. Daa."

Aku mengangguk. Dan segera memasuki kelasku.

***

Waktu semakin cepat berlalu. Berawal dari iseng-iseng titip salam, mencari tau tentang dia melalui kak Resti, dan sekarang rasa keingin tahuan itu berujung menjadi sebuah rasa suka yang aku sendiri bingung kenapa tumbuh dengan begitu subur di hatiku. Sosoknya yang ramah, senyumnya yang khas dan suaranya yang selalu menyapaku kala kita berpapasan membuatku terus membayangkannya. Sejak saat  itu, aku menjadi tidak marah lagi jika dia memanggilku dengan panggilan Inuk. Malah sekarang seluruh akun socmed-ku, aku beri nama Inuk. Dan supernya lagi, nama itu menyebar satu sekolah.

Satu fakta yang aku ketahui tentang dia dan benar-benar aku suka. Dia anggota eskul basket. Keren. Setiap sore, aku selalu berpura-pura datang ke sekolah untuk melihatnya memainkan si bundar yang dapat memantul itu. Dia memiliki pesonanya sendiri ketika bermain. Dan itu membuatku sangat-sangat menyukainya.

Kita semakin dekat semenjak aku meminta nomor hapenya dari Kak Resti. Sering smsan meski aku terus yang selalu memulainya. Aku selalu merasa bahagia setiap kali ia membalas sms-ku meski itu hanya bertuliskan dua kata.

Sampai akhirnya aku menemui sebuah kenyataan yang begitu pahit. Wajah manisnya ternyata bukan hanya aku yang suka. Ada banyak cewek setingkatku yang mengagumi sosoknya. Dan mereka lebih dari aku. Aku bisa berbuat apa? Terlebih ada satu cewek yang menurutku dia sangat sempurna dan pas jika menjadi pasangan kak Rama. Dia adalah Alexa.

Dia juga dekat dengan Kak Rama. Sangat dekat. Rumah mereka juga tidak begitu jauh. Namun aku tetap bertahan.

Entah sudah berapa lama aku menahan perasaanku. Perasaan yang selalu ingin aku ungkapkan di depan dia. Oke, mungkin tidak secara langsung, hanya via sms. Tak apa, asal aku biisa lepas  dari beban ini. Nyeseknya nyimpan  perasaan ini adalah ketika di mana aku harus melihatnya tertawa lepas bersama Alex atau dia bisa begitu dekat dengan cewek lain. Aku cemburu, tapi aku bukan siapa-siapa. Di sekolah aku juga tidak begitu dekat. Hanya sebatas teguran dan saling mengejek. Nggak lebih. Disms pun terkesan biasa saja.

Sampai akhirnya, aku tidak lagi memikirkan gengsi seorang wanita. Rasa malu menghilang. Terkalahkan oleh sesak di hati yang begitu besar. Ku coba menghubunginya duluan.

"Kak, Inuk boleh bilang sesuatu nggak sama, Kakak." SMS pertama sukses terkirim. Jantungku berdebar begitu cepat. Entah karena tak sabar menunggu balasannya, atau karena aku takut.

Hapeku bergetar. Ku lihat di layar monitor tertera namanya. Jantungku berpacu semakin cepat.
"Mau bilang apa?"
"Aku suka sama Kakak. Maaf kalau aku terlalu berani. Aku cuman pengen ngungkapin apa yang ada di hati aku. Aku udah nggak bisa nahannya lagi. Terserah respon kakak kayak gimana. Tapi yang aku minta cuman satu,Kak. Kakak jangan jauhin aku. Tapi, kalau seandainya kakak mau aku menjauh aku akan coba, Kak."

Terkirim. Entah apa yang ada di benakku sampai akhirnya aku benar-benar melakukan itu. Melakukan hal yang benar-benar gila. Lama pesan itu terbalas. Berkali-kali ku buka tab kotak masuk dan keluar. Ku coba cerna kembali kata-kata yang ku kirim lima belas menit yang lalu. Nafasku semakin tak beraturan. Jantungku juga berpacu lebih cepat. Ritmenya semakin terasa saat getar hapeku menginterupsi. Kak Rama membalasnya. Aku memperlambat gerakan jemariku. Rasanya aku enggan membuka pesan itu. Aku takut pesannya akan mengecewakan aku.

"Hah? Serius, Nuk? Sejak kapan?" Responya. Ya Tuhan, kenapa malah nanya. Aku lebih suka dia berkata langsung tanpa harus muluk-muluk bertanya, karena itu hanya menyiksaku. Membuat dadaku semakin sesak.
"Sejak MOS. Kakak ingatkan aku sering tititp salam sama Kakak lewat Kak Resti? Oiya, Kak. Ini hanya pengungkapan. Bukan suatu pernyataan di mana aku berharap kita pacaran. Tidak, Kak. Aku hanya ingin Kakak tau perasaan yang selama ini aku pendam."

Jantungku mulai tenang. Setidaknya tidak setegan. Aku sedikit agak rileks mengetik setiap karakter untuk dikirimkan ke Kak Rama.
"Kakak hargai perasaan kamu. Kakak juga tersanjung dan terkesan sama keberanian kamu. Kakak yang cowok aja belum tentu bisa kayak kamu. Dan kakak berusaha untuk bisa jaga perasaan kamu. Terima kasih sudah mau menyukai orang seperti kakak."
"Makasih, Kak sudah mau mengerti. Hal ini baru pertama kali aku lakukan. Dan itu sama Kakak. Kakak jangan cerita sama siapa-siapa ya tentang ini. Bahkan ke bang Awan sedikitpun."
"Pertama? Wah, makasih udah jadiin kakak yang pertama. Pasti butuh keberaniaan yang besar ya. Iya, Inuk."
Smspun berlanjut. Sampai akhirnya berakhir karena sudah saling mengantuk. Bangga rasanya bisa mengungkapkan perasaan ini.

Bersambung :)...
Tunggu kelanjutannya ya. :D

Minggu, 06 Juli 2014

Rindu Di Balik Malam...

Alur malam semakin pekat. Sinar bintang perlahan memudar. Mungkin ia mulai lelah karena harus membagi energinya pada sang bulan yang semakin meninggi. Ia memancarkan cahaya begitu indah. Hanya cahaya sang bulan yang menemani Rindu menikmati suasana malam. Gadis manis yang saat ini duduk di bangku kelas tiga SMA. Entah malam yang ke berapa, Rindu menghabiskan separuh waktu malamnya di halaman belakang rumahnya. Mungkin hanya Rindu, remaja cantik yang berani duduk sendiri di sebuah halaman yang bisa dibilang cukup luas. Sekalipun itu adalah perkarangan rumahnya, tengah malam tetap hal yang mencekam bagi semua orang, termasuk wanita.

Namun baginya, malam adalah keindahan. Malam adalah teman tanpa wujud namun dapat mengerti tentangnya. Rindu lebih suka menyendiri di balik malam.  Membagi kesedihannya atau kebahagiaannya pada sang malam.

Biasanya Rindu selalu sendiri menikmati malamnya. Tapi, sudah hampir sebulan ia selalu ditemani oleh seorang laki-laki yang seumuran dengannya. Sahabat karibnya. Kadavi.

"Mau sampai kapan, hanyut dalam dinginnya malam?" Sapa pria yang selalu dipanggil Davi.
"Namaku adalah Rindu. Namun bukan aku yang dirindukan mereka. Tapi mereka yang selalu ku rindukan."
"Aku merindukanmu. Setiap aku jauh darimu, aku selalu merindukanmu. Dan aku janji, aku akan selalu bersamamu." Jawab Davi.
Rindu diam. Menatap wajah Davi sekilas, kemudian kembali menatap sinar bulan.

Pipinya basah. Embun bening itu jatuh. Bukan hanya pada malam ini. Setiap malam. Derai air mata itu semakin deras. Semakin jatuh membasahi pipinya yang terlihat tirus. Davi membelai rambutnya. Berusaha terus membuatnya tenang. Namun, Davi mengerti bagaimana sahabatnya itu.

"Coklat hangat..." Ucap Davi.
Rindu mulai tenang. Ia menghapus air matanya. Dan menatap secangkir coklat hangat dari Davi. Rindu tidak menyambutnya. Ia malah pergi meninggalkan Davi dalam pekat malam sendiri.

***

Tatapan mata bulat milik Rindu kosong. Matanya menerawang jauh ke depan. Roti bakar yang ada di hadapannya tidak ia sentuh sedikitpun.  Susu coklat yang sudah tantenya buatkan, juga tak ia minum barang setetes pun.

"Rindu..." Sapa hangat sang tante.
"Rindu berangkat."
Hanya dua kata itu, kemudian pergi.

Semenjak Ayahnya meninggal. Rindu lebih suka menyendiri. Padahal dulu Rindu termasuk anak yang aktif, pintar, supel, dan juga periang. Sang Ibu menderita gangguan jiwa karena kematian sang Ayah. Sejak saat itulah, hidupnya menjadi berubah. Rindu menjadi pendiam, lebih sering ngelamun, lebih banyak menghabiskan waktunya sendiri. Sejak semua orang yang ia sayang tak ada lagi di sampingnya.

***

Rindu membawa puluhan lembaran kertas. Kembali ia menikmati malamnya. Rindu membuka kertas itu perlahan. Berisi puisi-puisi yang selalu Davi tulis untuknya. Kertas itu terlihat usang. Mungkin karena terlalu lama tersimpan dalam kotak khusus di kamar Rindu.

Malam semakin pekat. Gelap. Tanpa bintang maupun bulan. Hanya ada angin yang menyiratkan bahwa, sebentar lagi akan turun hujan.

Derap langkah seseorang perlahan mulai mendekat. Rindu tersenyum, meski air matanya mengalir perlahan. "Kau kembali, Davi?" Ucapnya.
Davi menghentikan langkahnya. Jaraknya tidak begitu jauh dari Rindu. Hanya saja Davi berada di belakang Rindu.

"Bertahanlah di sampingku sampai matahari terbit. Tetaplah berada di sampingku sampai sang malam menghilang. Buktikan janjimu bahwa kamu akan terus bersamaku."
"Rindu..." Suara Davi terdengar parau.
"Kenapa? Bukankah kamu sudah berjanji untuk tidak akan pergi meninggalkanku. Iya 'kan, Davi?"
Davi diam. Rindu membalikan tubuhnya. Mendekati Davi yang masih berdiri mematung.

"Aku benci kamu, Davi! Aku benci kamu!" Rindu memukul tubuh tegap milik Davi. Ia menangis. Menangis seiring derai hujan yang semakin deras. "Pergi dari kehidupanku Davi. Pergi! Kita sudah berbeda. Biarkan aku sendiri. Di dunia ini aku memang di takdirkan untuk sendiri. Tuhan! Setelah Kau ambil Ayahku, Davi, adikku, Ibuku. Siapa lagi yang akan Kau ambil dariku? Arrgghhh. Aku benci. Aku benci!"
Rindu histeris. Tante Rani dengan sigap membawanya masuk ke dalam rumah. Mencoba menenangkan jiwa Rindu yang semakin terguncang.

***

Puisi-puisi itu hanyut. Hilang tanpa bekas karena hujan. Sama dengan sang penulis yang menghilang kemudian pergi menuju Sang Kuasa. Meninggalkan rindunya sendiri. Tanpa bisa menemaninya lagi.

Jumat, 04 Juli 2014

Rahasia Hati Yunda (last Part)

Aku diam. Angin pantai berusaha menenangkanku. Setidaknya ia bisa menahan air mataku untuk tidak jatuh membasahi pipiku. Yang pada akhirnya, Kak Ina akan bertanya mengapa aku menangis. Kak Ina tidak boleh menikah dengan orang lain selain Irgi. Bukankah itu tujuanku sebenarnya untuk datang ke sini?

Aku beranjak dari posisiku. Menarik tangan Kak Ina dan membawanya segera pergi dari pantai ini. Kak Ina mengikuti langkahku dengan tatapan heran. Dan mungkin di benaknya tersimpan seribu tanya. Aku tak perduli. Aku tetap berlari sembari merengkuh tangannya. Tak ingin membiarkannya pergi begitu saja. Inginku hanya satu,aku ingin membuat seseorang yang aku cintai bahagia bersama orang yang dicintainya. Tersenyum bersama orang yang ia sayang. Setidaknya itu bisa mewakilkan kebahagianku, meski rasanya sangat munafik.

Aku memintanya untuk ikut denganku. Menceritakan sedikit kehidupannya setelah Kak Irgi berada di Jawa dan meninggalkannya tanpa kabar.

"Kedua orang tua kami sudah setuju. Meski awalnya orang tua Kakak tidak menyetujui hubungan kami. Seiring berjalan waktu, hati mereka pun luluh. Berusaha menerima Irgi dengan senang hati. Tanpa memandang status atau apa pun itu. Sampai akhirnya, malam itu, malam di mana Irgi meminta Kakak untuk mempertemukannya dengan orang tua Kakak. Kakak meng'iya'kan apa maunya. Kakak tidak berpikir bahwa malam itu adalah malam terakhir untuk Kakak dan Irgi...

Ia berbicara dengan orang tuaku. Mengatakan bahwa hubungan kami harus berakhir. Ia harus pergi merantau ke Jawa. Aku sempat tidak mengijinkan keputusannya. Waktu itu kami sepakat, sudah tidak ada masalah llagi dalam pekerjaan. Aku tetap akan merasakan kebahagiaan meski hidup sederhana. Namun, esoknya ia tetap pergi. Tanpa pamit, dan menghilang begitu saja. Orang tua mana yang terima anaknya dipermainkan seperti ini.  Dan akhirnya aku dijodohkan oleh pria yang bekerja sebagai dosen muda di salah satu kampus."

Aku masih bertahan dalam kebisuan. Tanpa perlu ku meminta Kak Ina menceritakan kehidupannya, sorot mataku seolah terbaca dengan begitu mudah olehnya. Sampai akhirnya ia menceritakan itu semua begitu saja.

"Aku datang ke sini untuk menyatukan kalian. Kenapa jadinya seperti ini." Sebuah kalimaat terlontar dari bibirku.
"Maksudmu?"
"Aku datang jauh-jauh dari Jawa ke sini hanya untuk menyatukan cinta kalian. Di sana Kak Irgi masih terus memikirkan Kakak. Ada sedikit penyesalan di dalam hatinya. Dan... Dan aku hanya ingin membuat dia bahagia bersama Kakak." Suaraku semakin melemah. Semoga Kak Ina tidak sepeka yang ku kira. Semoga ia tidak menyadari bahwa aku bersedih saat ku harus merelakan seseorang yang aku sayang pergi bersamanya.
"Apa rencanamu?"

***

Sudah hampir satu bulan aku berada di Padang. Aku juga sudah menjalani test masuk perguruan tinggi. Aku lulus melalui jalur prestasi.

Aku duduk di sebuah bangku taman yang pihak kampus sediakan sebagai fasilitas. Taman di sekitaran kampus ini memang tempat efektif untuk para mahasiswa menghabiskan waktunya selama berada di kampus. Termasuk aku yang sangat senang menghabiskan waktu di sini. Aku membuka tab andalanku. Aku mengecek ada sebuah pesan masuk di e-mailku. Kak Ina.

"Malam ini Kakak menjalankan acara Malam ba inai, Yunda. Andaikan kamu ada di sini. Kakak pengen kamu yang ada di samping kakak nemenin kakak. Kakak tetap pegang janji Kakak untuk tidak memberitahu keberadaan kamu ke Irgi. Terima kasih telah membawa Kakak dalam kebahagiaan ini, terima kasih sudah mengantarkan kakak ke Jawa untuk menemui Irgi."

Aku mendalami sebuah tulisan elektronik dalam tab ku. Uraian kebahagian Kak Ina akan segera menikah dengan Kak Irgi. Dan kalimat terakhir yang aku baca ... "Irgi terus mencari kamu. Dia menanti kamu pulang, Yunda. Dia ingin menceritakan kebahagiaan ini sama kamu. Mungkin dulu, kakak adalah orang yang ditunggunya untuk datang. Namun sekarang, ia menunggumu, Yunda. Jangan siksa hati kecil kamu..."

Air mataku mengalir perlahan. Membiarkannya tumpah begitu saja. Berharap rasa sakit ini akan berkurang. Berharap luka di hati ini cepat mengering dan menghilang begitu saja. Apapun yang ku rasakan saat ini, aku bahagia karena berhasil menyatukan cinta sesungguhnya. Kemudian membiarkan ini menjadi sebuah rahasia besar yang aku simpan sendiri :')

Selesai :)