Jumat, 30 Mei 2014

Rahasia Hati Yunda (part1)

Tangannya yang kuat itu memantik korek api dan menyulutnya ke sebatang rokok. Menghisapnya dengan penuh kenikmatan. Lelaki itu. Lelaki dewasa itu yang akhir-akhir ini berhasil menghantui otakku. Lelaki yang bekerja sebagai penjaga sebuah toko baju di pasar. Hidungnya yang mancung, tulang rahangnya yang tegas, matanya yang bulat indah, rambutnya yang bergaya klimis namun tetap membuatnya tterlihat manis. Tidak. Dia tidak cupu. Gayanya benar-benar seperti pria dewasa. Ku rasa usianya berkisar dua puluh tahunan. Ah, sungguh, setiap kali melihatnya tersenyum, hatiku serasa melayang jauh. Terlebih lagi dia ramah.

Yang aku tahu dia adalah orang Padang. Sama denganku. Nampak jelas dari logatnya yang khas. Khas orang Padang.

Cukup. Waktuku sudah habis mengagumi setiap lekuk wajahnya. Kini saatnya aku pergi dari pasar ini dan kembali ke rumah. Ibu dan Ayah akan sangat marah jika mengetahui anaknya terlambat pulang ke rumah.

Hanya mampu menatapnya dari kejauhan. Entah kapan tiba waktu yang pas aku bisa berbicara dengannya untuk sebatas dekat atau berkenalan diselingi basa-basi. Sampai dimana saat aku menemani Ibu berbelanja ke pasar, aku meminta pada Ibu untuk mampir ke toko laki-laki yang ku kagumi itu. Ibu menyetujuinya, dan lebih baik lagi Ibu meninggalkanku di sana dengan alesan Ibu ingin menjumpai sahabatnya di toko yang letaknya tidak jauh dari toko ini. Alhasil aku terdiam dan sibuk memainkan handphoneku. Meski terkadang mataku sedikit melirik ke arahnya.

"Namanya siapa, Dek?"
Dia menyapaku. Suara khasnya keluar. Meski bernada sedikit cempreng namun ku menyukainya.
"Ayunda Monita. Panggil saja Yunda."
"Oh, nama abang Ahmad Irgi. Panggil aja Irgi."

Perkenalan singkatku dengan pria yang sudah aku ketahui bernama Irgi. Tentu saja aku memanggilnya Bang Irgi, dia berusia lebih tua dariku.

Berawal dari perkenalan tu, kami pun semakin dekat. Selesai pulang sekolah aku selalu main ke tokonya. Ibu juga tahu bahwa anak sematawayangnya mengagumi Bang Irgi. Selama aku masih dalam batas wajar dan Ayah tidak mengetahuinya, aku masih boleh bergaul dengannya. Ayah adalah orang yang paling menentang apabila aku berteman atau bergaul dengan anak-anak pasar. Dan itu yang aku takutkan dari Ayah.

                                                                             ***
Semakin hari , aku dan dia semakin dekat. Masih dengan diam-diam di belakang Ayah tentunya. Aku juga sering sharing dengan dia. Ternyata Kak Irgi orangnya pintar, ia juga sering membantuku mengerjakan atau mengajariku soal-soal di sekolah. Maklum sebentar lagi aku akan menghadapi Ujian Nasional.

"Abang ini perokok. Maaf jika terganggu dengan asap rokok abang."
Aku mengangguk tegas. Bagiku aku sudah terbiasa menghirup asap rokok yang sangat menyiksa paru-paruku. Mulai terbiasa seiring dengan rasa ini yang sudah semakin merasa nyaman dengan dirinya.
"Mau denger cerita cinta abang nggak?"
"Mau. Mau banget." Jawabku semangat.

Aku mendengarkan setiap kata demi kata yang ia lontarkan. Mencermatinnya menjadi sebuah kalimat yang akhirnya aku akan mengerti. Ternyata, Irgi memiliki seorang kekasih di Kota Pariaman. Seorang bidan muda yang sangat cantik. Hidung mancung, bermata belo, berlesung pipit, dan satu hal yang Irgi suka darinya. Wanita itu adalah wanita soleh, ia berhijab. Ia meninggalkan gadis yang aku dengar bernama Ramadhina Adinda karena ketidaksepadanan status mereka. Ina--panggilan wanita itu-- adalah seorang wanita bertitle bidan sementara Irgi hanya seorang pedagang. Hubungan mereka sudah berjalan 2 tahun. Dan sampai akhirnya Irgi diminta untuk menjaga toko bibinya di Jawa, dan harus meninggalkan Ina di kota Pariaman. Ina tidak menerima keputusan Irgi. Ina bukan tipe cewek yang bisa bertahan untuk hubungan jarak jauh. Namun, Irgi tetap harus pergi.

Sampai dimana Irgi berangkat ke Jawa secara diam-diam. Meninggalkan Ina tanpa sebuah kabar atau pesan. Hal ini karena Irgi ingin Ina bisa melupakannya kemudian mendapatkan pria yang lebih baik dan sepadan dengannya. Irgi pun memutuskan untuk menukar nomor hapenya sesampainya ia di Jawa. Berat sebenarnya hati Irgi untuk melepasnya. Namun, apa hendak dikata, semua sudah terjadi.

"Dan kalau boleh jujur abang masih sangat menyayanginya. Abang hanya takut, dia benar-benar mendapatkan yang terbaik di sana."
Sebuah kalimat yang entah mengapa membuatku sakit. Mataku memanas. Hatiku sakit. Seseorang yang aku sayang, masih berharap dengan mantannya. Ya Tuhan...
Aku hanya tersenyum getir. Foto yang ada di tangannya ia genggam dengan sangat erat. Foto Ina.

                                                                              ***
Semenjak mengetahui akan hal itu, aku tidak pernah lagi dengan Irgi. Entah aku menjauh untuk benar-benar membencinya dan melupakan rasa ini, atau memang aku sedang malas untuk bertemu dengannya akhir-akhir ini, atau mungkin juga aku ingin terfokus dulu dengan ujianku..

Satu hari, dua hari, tiga hari, kemudian berganti minggu. UN ku selesai. Hasil akhir pun telah diberitahu olleh pihak sekolah dan aku lulus. Aku memutuskan untuk melanjutkan sekolah di Pariaman. Hati kecilku mengatakan aku harus kuliah di sana. Dan akhirnya, hari keberangkatanku tiba.

"Nda, kamu nggak mau ngomong sama Irgi dulu?" Sapa Ibu dengan nada khasnya.
Aku menggeleng. "Bu, seandainya ia menanyakan keberadaan Yunda, katakan jika Yunda tidak mau memberitahu di mana Yunda kuliah. Pokoknya pandai-pandai Ibu berbicara ya, Bu."
"Kalian ada apa? Lagi berantem?"
Aku menggeleng sekali lagi. Menegaskan bahwa aku dan Irgi baik-baik saja.
"Baiklah, Bu. Yunda berangkat. Ayah, Yunda berangkat. Assalamua'alaikum."
"Wa'alaikumsalam. Kabari Ibu ya."
Aku mengangguk. Aku mengecup tangan orang tuaku. Kemudian berlalu dan menghilang dari balik pintu keberangkatan.

(bersambung)
Tungguin lanjutan ceritanya ya, :)

Rabu, 28 Mei 2014

Cinta datang Terlambat (puisi)

Sahabat dan cinta...
Terkadang mereka berjalan beriringan...
Terkadang juga mereka saling menutupi...
    Munafik menjadi pijakkan langkah mereka...
    Mengatakan 'tidak' yang sebenarnya adalah 'iya'...
Sahabat dan cinta...
Dalam persahabatan selalu ada cinta...
Seperti kita...
Kita saling mencintai, juga saling menyayangi...
Kita saling mengisi, juga saling memberi...
Lalu apa?
Dimana salahnya?
   Salahnya, kita saling menutupi...
   Kita saling membohongi diri...
   Berpikir bahwa cinta hanya mampu
   merusak persahabatan...
   Kita tidak bisa lebih...
Munafik...
Menyesal...
Ketika cinta  itu pergi...
Hati mulai merasa sepi...
Menangis...
Untuk apa?
Semua terlambat...
Cintaku datang terlambat...

Sabtu, 17 Mei 2014

Aku Sakit


Ini adalah malam kesekian aku dan Rion menemani Asha di rumah sakit. Masih terbaring lemah dengan mata yang juga tertutup. Sudah hampir satu minggu Asha terbaring di rumah sakit dan masih belum juga sadar.
            Rion sahabatku yang kini telah menjadi kekasih Asha masih setia menunggu Asha untuk bangun dari tidur panjangnya.
            Aku, Rion, dan Asha adalah sahabat dari kecil. Bermain, tertawa, bahkan menangis bersama. Namun, ketka kami beranjak remaja. Tepatnya pada kelas 2SMA. Rion mengungkapkan perasaannya pada Asha. Hingga akhirnya mereka menjadi sepasang kekasih.
            Hampir satu tahun mereka berpacaran, cobaan besar mulai datang. Yaitu, sakitnya Asha karena penyakit gagal ginjal yang dialaminya 1 tahun terakhir ini. Dan mengharuskannya untuk cuci darah setiap 3 bulan sekali. Dan Rion memang cwok yang teramat setia, yang masih setia menunggu dan mensuport Asha agar kelak ia bisa sembuh dan kembali tertawa bersama kami.
            “Mil, kalo kamu mau pulang. Pulang aja. Biar Asha aku yang jagain.”
            “Tapi, Ion. Aku masih mau nemenin Asha.” Tolak ku.
            “Gak, Mil. Aku kasian sama kamu. Ini udah malam, Mil. Kamu pulang ya. Istirahat, biar besok kamu bisa jaga dia lagi.”
            Aku hanya diam menatap Rion. Dan mengangguk lesu. “Baiklah aku pulang, Ion. Nanti, kabarin aku tentang keadaan Asha ya, Ion.”
            Rion cukup meresponnya dengan sebuah anggukan. Dan aku pun melangkah kaki gontai meninggalkan ruangan dimana Asha dan Rion berada.
***
            Aku merebahkan tubuhku di atas ranjang. Melihat sebuah figura foto dimana ada aku, Rion, dan Asha. Setiap kali kami berfoto, Rion selalu menempatkan dirinya di tengah. Seakan-akan dia memiliki dua orang gadis yang sangat menyayanginya.


            Memang, bukan hanya Asha yang menyayangi Rion. Tapi, aku juga mempunyai perasaan yang sama pada Rion. Mungkin bisa diibilang aku lah yang pertama memiliki perasaan ini. Karena Akulah orang yang lebih dulu mengenal Rion. Namun, aku berusaha memendam. Dengan tujuan aku gak mau merusak persahabatan ini.
            Sampai akhirnya, Asha hadir di antara kami. Dan merubah semua kedekatan kami. Aku tidak sepenuhnya menyalahkan Asha. Karena aku tau, ini semua adalah rencana Tuhan.
            Aku terlalu lelah memikirkan semua. Aku terlalu letih untuk mem-Flash back semua kenangan ini. Aku ingin memejamkan mata ini, untuk sejenak saja. Dan kemudian hanyut dalam mimpi indah.
***
            “Hahahaha, gila kamu, Ion. Berani-beraninya ngerjain Pak Siswanto. Nekad, aabbiisss…” Ujarku.
            “Ya, dong. Kapan lagi bisa kayak gini, Mil?”
            “Tapi, ntar kamu kualat, lho. Orang tua tuh.”
            Gelak tawa tercipta di antara aku dan Rion. Masih teringat di ingatanku bagaimana senyuman itu merekah di wajahnya. Dan senyuman itulah yang memikatku.
            “Rion…!!!” Panggil seorang gadis cantik nan anggun.
            “Asha, darimana aja, kamu??” Ucap Rion.
            “Tadi aku dari perpus. Terus aku tungguin kamu di kantin. Ehh, gak taunya kamu disini bareng Emil.”
            “Oh iya, maaf ya sayang. Heheh.”
            “Iya, ini aku bawain jus buat kamu.”
            Melihat tawa di antara mereka, Aku juga berusaha untuk tersenyum. Meski sebenarnya di hati aku menyimpan sebuah sakit yang begitu menyiksa.
            “Emil, hidung kamu. Mimisan lagi.” Seru Asha.
            “Mil, kamu gak papa??” Tanya Rion.
            “Aku gak papa, Ion, Sha. Aduh..” Teriakku ketika kakiku tak dapat menyeimbangkan tubuhku lagi.
            “Emiiilll…!!!” Seru Rion menopang tubuhku.
            “Awww,, Ahhhh.. Rion. Perut aku sakit. sakit banget, Ion.”
            “Asha.. Kita ke UKS ya. Atau ke rumah sakit aja. Penyakit kamu pasti lagi kambuh.”
            Rion pergi meninggalkanku yang tengah menahan sakit juga disini. Dia lebih memilih Asha, kekasihnya daripada aku sahabatnya.
***
            Kini aku benar-benar tersadar. Siapalah orang yang benar-benar Rion sayang. Ketika aku juga tengah sakit dan butuh bantuan. Rion malah memilih menyelamatkan Asha. Apakah kini pacar lebih berarti dari segalanya? Entahlah, aku sebagai sahabat hanya berusaha mengerti dan bersabar. Aku yakin semua akan indah pada waktunya. Waktu dimana Rion tau, bagaimana hatiku sebenarnya.
***
            Semakin lama aku menunggu. Semakin aku banyak belajar dari kehidupanku yang tidak lama lagi. Penyakit ini terlalu ganas untuk aku lawan sendiri tanpa adanya support dari teman-teman dan sahabat. Aku menyerah Tuhan. Aku menyerah. Aku tidak lagi bisa melawan rasa sakit ini. Aku sudah tidak sanggup, Tuhan. Kini jemputlah aku dengan kereta kencanamu. Aku siap pergi dengan sejuta senyuman yang tersisa di akhir umurku. Misi ku sudah selesai Tuhan, jemputlah aku. Ku mohon Tuhan.
            “Emill, Emill. Emill, bangun, Mil. Ini Aku Rion. Please, bangun Emill.” Suara sendu menolongku untuk membuka mata. Untuk menyampaikan salam terakhirku untuk seseorang yang ku sayang.
            “Rion, akhirnya kamu ada di samping aku juga, ya. Setelah sekian lama aku sakit,Ion. Setelah sekian lama penyakit ini menggerogoti tubuhku. Hari ini, dihari terakhirku ini, kamu hadir merengkuh tanganku…”
            “Kenapa kamu gak cerita dari awal tentang ini, Mil.”
            “Aku gak mau cerita, karena aku ingin kamu yang bertanya langsung. Tapi, kenyataannya, kamu gak pernah nanyain aku sakit apa, Ion. Aku pengen kamu respect sama aku. Tapi, itu hanya mimpi bagiku.”
            “Gak, Mill. Kamu gak boleh bicara seperti itu. Dan ini bukan hari terakhir kamu. Please, bertahan. Bertahan sampe aku bisa bahagiain kamu di sisa hidupmu, Mil.”
            “Rion, aku sayang kamu. Dan ingin aku, aku tetap nunggu kamu. Tapi, aku capek. Aku letih, Ion. Letih berharap kamu memandang mata ini. Tapi, aku yakin dengan aku donorkan ginjal aku untuk Asha. Aku tetap bisa bahagia, Ion. Karena kamu mencintai seseorang yang di tubuhnya tersimpan organ seseorang yang menyayangimu dengan tulus. Sekarang aku, tenang Ion. Biarkan aku pergi. Agar aku tidak lagi merasakan bagaimana sakitnya hati yang tidak bisa memiliki.”
            Akupun menghembuskan nafas terakhirku. Dalam pelukkan Rion. Dalam pelukkan seseorang yang amat sangat aku sayang. Hati ini memang sakit Rion. Tapi, ketika tiba waktunya, hati ini bahagia dapat melihat seseorang yang dicinta bahagia bersama orang yang dia sayangi.
*the end*

Senin, 12 Mei 2014

Cinta tiga sudut


“Vi, gue beliin elo jus alpukat nih. Semangat ya nulisnya…” Sapa Fael  dengan senyuman hangatnya.
Elvia Agatha, gadis manis dengan wajah orientalnya adalah gadis manis yang menemani hidup Fael selama hampir 2 tahun ini. Fael kagum terhadap kemahiran Via yang mampu mengolah sebuah kata menjadi kalimat penuh kiasan, penuh arti dan keindahan.
Via mengembangkan sebuah senyuman manisnya, menampilkan sebuah lesung pipi yang ia miliki di kedua sudut pipinya. Menambah point plus atas kecantikan yang dimilikinya.
Tawa di antara keduanya pecah. Menepiskan sepi yang menyelimuti suasana di taman belakang kampus sore itu. Angin yang bertiup semilir, dua gelas jus di tangan mereka masing-masing, sebuah kertas yang penuh dengan kata-kata menjadi sebuah bait keindahan milik Via, dan sebuah brownies yang sudah setengah dari bentuknya habis mereka nikmati. Rasanya masih kurang lengkap tanpa hadirnya Arletta Shahia. 
Gadis cantik yang juga sahabat mereka berdua. Letta berbeda dengan Via. Dia mahir bermain gitar, suaranya juga bagus, dan stylenya yang sedikit santai membuat Via betah berlama-lama berdua dengannya. Letta nggak seperti cewek lain yang selalu ribet dengan urusan penampilan. Letta sahabat semasa kecilnya Via. Mereka sempet berpisah enam tahun karena orang tua Via harus pindah ke Singapore.
"Jahat banget ya kalian. Ngumpul disini tanpa ada ngajak gue."
"Gue sama Via lagi nggak mau elo ganggu, ngerti!" Jawab Fael sembari mengacak rambut Letta dengan gemasnya.
Suatu hal wajib yang Fael lakukan. Fael sangat menyukai rambut Letta, panjang, hitam, lembut, sedikit ikal dan harum. Letta boleh santai terhadap penampilan, Letta juga memilikii gaya yang sedikit tomboy, tapi urusan rambut. Letta telah menjadikan itu prinsip pertamanya.
"Gue tau, gue nggak pernah penting di antara kalian. Gue juga bukan hal terpenting yang ada di antara kalian..." Letta membalikkan badannya dan berniat meninggalkan mereka.
"Letta..." Panggil Via, dan menghentikan tubuh Letta yang sudah berjalan lima langkah dari mereka.
"Ngambekkan elo." Fael langsung memeluk tubuh  Letta dari belakang. Mencium aroma shampoo essence melon dari rambut Letta.
Fael dan Letta saling mengenal lebih dulu ketimbang antara Fael dan Via. Jadi, Fael sudah tau hal apa yang membuat Letta tenang. Merengkuhnya.
Via menghampiri tubuh Letta. Meraih tangannya, dan menyuapinya sepotong brownies coklat almond kesukaan Letta.
Sebuah persahabatan yang manis sama halnya dengan rasa sepotong brownies itu...
                                                                         ***
"Fael Arasya. Cowok manis, jago main drum, keyboard, bass. Ahh, super deh." Lirih Letta mengagumi Fael sahabatnya. Di tangannya terdapat sebuah figura di mana di dalamnya ada tiga mahasiswa dan mahasiswi dengan fakultas berbeda bersatu dalam bingkai persahabatan.
Via hanya tersenyum simpul manis. Tangannya selalu sibuk mengelus lembut boneka beruang kecil berwarna putih pemberian Fael untuknya.
"Vi, kalau gue ungkapin perasaan gue ke Fael duluan, menurut elo gimana?"
Via mengalihkan pandangannya. Memandang lekat tubuh Letta yang membelakanginya. Mata Via bergantian menatap tubuh sahabatnya yang sedang menikmati suasana sore di komplek rumahnya, dengan  beruang kutub pemberian Fael. Letta tidak tahu bahwa sebelumnya Fael memberikan boneka itu sebagai suatu tanda sayang yang lebih dari hati Fael untuk Via. Yang ia tahu boneka itu pemberian dari orang terspesial bagi Via. Via juga tidak pernah memberi tahu siapa nama seseorang spesial itu.
Letta dan Via memang bersahabat sudah sangat lama. Dan mereka juga saling terbuka tentang apapun yang ada diri mereka. Saling mengetahui kelemahan dan kelebihan satu sama lain. Sayangnya untuk saat ini, tentang Fael, Via lebih memilih menutup mulutnya untuk bercerita lebih jauh tentang rasa di hatinya terhadapa Fael pada Letta. Ia tidak ingin menceritakan sebuah cerita  di mana inti cerita itu adalah ia terjebak dalam sebuah cinta tiga sudut. Dua sudut yang bertemu pada satu sudut lainnya. Satu sudut itu menjadi tujuan dalam hati keduanya. Fael, Letta, dan Via. Via tahu sebenarnya rasa yang ia miliki saat ini akan dibalas dengan tulus oleh Fael. Namun akankah kelancaran hubungan itu juga akan berimbas dengan hubungan persahabatan mereka? Tentu akan ada hati yang terluka pastinya dalam cerita ini. Hanya waktu yang dapat menjawab siapa yang tersenyum bahagia siapa juga yang akan tersenyum menutupi duka.
"Via, kok elo ngelamun?"
Via terbangun dari lamunannya. Matanya yang semula akan menjatuhkan setitik embun bening, seketika terbendung kembali. Agar air mata itu tidak jatuh dan membasahi pipi Via.
"Elo kangen sama someone yang ngasih elo boneka ini ya, Via?" Via masih diam. Letta merengkuh pundaknya erat. Mencoba mencari penyebab kegalauan hati sahabatnya. Namun nihil, Via tetap diam dalam seribu bungkam.
                                                                      ***
Letta memasuki kamar Via yang saat itu tidak terkunci. Ia sedang mencari sahabatnya yang rencanya sore itu Letta berniat mengajaknya hunting bersama. Fael mempunyai hobby fotografi akhir-akhir ini. Dan objek modelnya adalah Letta dan Via. Lelah Letta berteriak namun tak ada jawaban dari Via. Letta berniat menggeledah kamarnya. Sudah hal biasa yang Letta lakukan di kamar Via. Yah, itung-itung ia mencari aksesoris yang bisa ia pakai sore ini untuk berfoto.
Fokus mata Letta terarah pada sebuah buku di atas meja belajar Via. Buku bersampul batik berwarna coklat yang baru kali ini Letta melihatnya. Sejak kapan Via suka nulis diary? Dia memang suka menulis puisi atau cerpen. Tapi tidak pernah ia menulisnya di sebuah buku harian. Ia selalu menulisnya di buku khusus atau langsung mengetiknya di laptop. Perlahan Letta membuka buku harian itu. Ada sedikit ragu di hati kecilnya, namun entah kenapa rasa ragu itu berubah menjadi sebuah rasa ingin tahu yang begitu besar. Hati kecilnya berkata bahwa harus ada suatu rahasia yang terungkap. Ya, rahasia besar.
Kata demi kata terangkai menjadi sebuah kalimat, kemudian memenuhi setiap lembar dalam buku itu. Letta menitikkan air matanya ketika membaca sebuah halaman yang benar-benar membuatnya tertegun, menyesal, dan sakit. Letta menutup buku harian itu dengan emosi yang memenuhi batinnya. Meninggalkan kamar Via begitu saja. Berlari seiring dengan tangan sibuk menghapus derai air matanya yang jatuh.
"Letta mana ya?" Tanya Fael.
Fael tengah duduk sendiri di sebuah kursi di tengah taman dengan memegang camera Nikon D1000 miliknya. Via berjalan perlahan menemui Fael.  Duduk tepat di sebelah Fael. Via menggunakan mini dress berwarna beige dengan bando hitam menghias rambutnya. Tangannya terikat sebuah gelang perak bermata biru safir. Via sangat cantik dengan gaun itu.
"Via? Letta mana?"
"Letta? Aku pikir dia sama kamu."
"Nggak. Dia bilang dia mau jemput kamu."
Via diam. Seketika suara itu hadir. Suara merdu nan khas milik Letta. Gadis manis yang sore itu tengah menutupi kesedihannya dengan tawa memanggil nama kedua sahabatnya. Dia berlari dengan senyuman yang terus mengembang dari wajah manisnya. Celana jeans yang ia padukan dengan baju panjang bergaris biru sangat pas di tubuhnya yang tinggi semampai. Mata indah yang baru saja menangis sebisa mungkin ia melukiskan sebuah pelangi agar semua terlihat sempurna dan baik-baik saja. Letta hadir dan duduk di antara mereka. Senyum itu masih terus ada...
"Kok elo pake baju casual? Kita 'kan mau hunting tema nature."
"Alaminya gue ya kayak gini, El."
Letta beranjak dari duduknya. Mengambil tripod yang ada di samping kursi taman. Sengaja Fael meletakkannya di sana. Letta menyiapkan kamera dengan timer untuk mereka foto bertiga. Letta masih tetap di tengah. Menjadi pembatas di antara Fael dan Via.
"Keren banget fotonya. Gue berada di tengah-tengah kalian. Kayaknya gue emang selalu berada di antara kalian. Menjadi pembatas antara hubungan kalian. Ya 'kan, Vi?"
Via dan Fael saling berpandang. Letta masih asik melihat-lihat hasil jepretan dengan tripod. Tawa Letta lepas, namun sayang tawa itu hanya tawa yang dibuat-buat.
"Eh, kalian pernah berpikir tentang cinta tiga sudut nggak?"
Via dan Fael masih diam. Terbungkam dalam seribu bahasa.
"Liat gambar ini deh."
Letta mengeluarkan secarik kertas bergambar bangun datar segitiga.
Ia menjelaskan bahwa segitiga memiliki tiga sudut di mana setiap sudutnya harus disatukan oleh sebuah garis untuk membentuk sebuah bangun datar.
"Seandainya di sudut ini adalah kamu Fael, dan dua sudut ini adalah wanita yang sangat menyayangimu. Kamu akan pilih mana? Sahabat atau seseorang yang juga selalu ingin kamu harapkan kehadirannya untuk menemani kehidupanmu?"
"Letta..." Ucap Via lirih. Ia merengkuh pundak sahabatnya itu. Fael diam. Mata Letta terus menyusuri arti di dalam bola mata Fael. Mencari ketulusan dari sebuah jawaban.
"Jika aku memilih sudut ini dan menyatukannya dengan cinta. Aku rasa itu jauh lebih baik, daripada harus menyatukan sudut yang satunya dengan cinta untuk sebuah status melebihi persahabatan. Garis yang menyatukan sudut pertama dan sudut kedua karena perasaan hasilnya akan lebih lurus daripada garis yang menyatukan sudut pertama dan sudut ketiga."
"Fael..." Suara Via terdengar serak kala menyebutkan nama Fael.
Letta diam. Matanya memanas. Namun ia tahan untuk tidak berair. Senyum itu masih terus mengembang. Menjadi pemanis dalam kepahitan yang saat ini tengah Letta rasakan.
Letta bangkit dari tempat duduknya. Memeluk Via dengan begitu erat. Fael membuang pandangannya ke sembarang arah. Via menangis dalam rengkuhan itu. Tangannya melingkar semakin kuat di punggung Letta. Letta masih tersenyum. Dan sekarang tertawa lepas. Letta melepaskan rengkuhan itu. Tangannya meraih kedua tangan Fael. Menggenggamnya erat dan mengarahkannya menuju puncak kepala Letta. Melakukan satu gerakkan lembut. Mengelus rambut Letta.
"Gue harus pergi, guys." Letta membuka suaranya.
Fael menatap mata Letta. Membalas genggaman tangan Letta. Perlahan Letta melepaskan rengkuhan itu. Fael mencoba menahannya, namun senyuman Letta yang penuh harapan membuatnya luluh. Via menatap matanya, menyiatkan banyak tanya, kenapa? Kemana? Ada apa? Letta hanya tersenyum. Langkahnya perlahan berjalan mundur. Dan dengan cepat ia berlari. Berlari dengan begitu cepat. Menjauh dari Via dan Fael.
                                                                  ***
"Lllleeettttttaaaaa!!!!"
Via terbangun dari mimpi buruknya. Kepergian Letta yang sampai saat ini tak ia ketahui di mana membuatnya terus bermimpi akan keberadaan Letta. Bahkan keluarga Lettapun tidak tahu di mana Letta saat ini. Bukan hanya Via, Fael pun terus bermimpi tentang Letta. Rindu yang ada di hatinya sudah penuh mengisi setiap ruang di hatinya. Rindu itu kini menjadi sebuah rasa yang menyesakan. Rasa sayangnya pada Letta akan terus ada dan Fael terus menunggu sampai Letta kembali dan mengungkapkan semua yang ada di hatinya.
                                                               The End