***
“Lo sebenarnya masih nunggu Wahyu
nggak sih?” Tanya Kiki –sahabatku-.
“Gue sendiri bingung, Ki. Gue nggak
ngerti sama perasaan gue sendiri.”
“Kenapa? Gara-gara Adit?”
Aku diam.
“Dulu, lo perjuangin hati lo di
depan sahabat-sahabat lo. Lo rela berantem sama kita demi pertahanin hubungan
lo sama Wahyu. Sekarang apa? Lo sama dia nggak ada kabar, terus bubar gitu
aja.”
Aku tetap diam meski dimaki oleh
sahabatku. Jujur, nggak ada yang mau seperti ini sebenarnya. Aku nggak mau
lepas dari Wahyu. Tapi, semua memang salahku. Hanya aku yang tidak berusaha
untuk bertahan sebentar saja untuk mengerti keadaan Wahyu. Bayangkan, wanita
mana yang akan tahan jika tidak mendapati kabar dari pacarnya dengan keadaan
mereka terpisah jarak ribuan kilometer. Seiring dengan itu, kabar lain muncul.
Ada wanita lain yang tengah dekat
dengannya. Percaya atau tidak, yang jelas aku mulai goyah. Semuanya hadir
begitu saja, tepat di saat aku mengemis kabar dari dia. Tepat di saat aku gila
akan kehilangan keadaan dia di sana. Salah, kalau aku khawatir? Salah, jika aku
merasa akan menyerah ketika aku dipermainkan? Aku hanya ingin kepastian. Itu
aja.
“Lo nggak pernah tau gimana sakitnya
jadi gue, Ki.”
“Ngerti. Gue ngerti, Luna. Tapi, apa
salahnya lo dengerin dulu penjelasan dari dia? Hey, kalian berkomitmen untuk
menjalin hubungan jarak jauh. Lo siap. Dia juga. Itu tandanya kalian siap
hadapin konsekwensinya. Dewasa sedikit, Lun.”
***
Aku beranjak dari sebuah sofa yang
asing buatku. Kepalaku terasa berat. Sampai akhirnya, mataku mulai terbuka
penuh dan menyadari, aku sedang tidak berada di rumahku.
“Hai, Kak.” Sapa laki-laki bertubuh
sedang yang aku tau namanya Heru. Dan dia adalah adiknya Wahyu.
“Ha..aaii, Heru.” Jawabku dengan
wajah yang menyiratkan tanda tanya.
“Nggak usah heran, Kak. Kakak di
rumah aku. Tadi, abang nemuin kakak pingsan di tepi jalan. Nih, minum dulu
tehnya, Kak. Aku tinggal ya.”
Aku menyeruput tehku. Aku masih
termenung melihat kepergian Heru yang kini diganti kehadiran Wahyu dihadapanku.
“Seusai hubungan kita, jadi hobby
main hujan, ya?”
Aku tak merespon ucapannya.
“Apa kabar?” Tanyanya dengan
senyuman hangat. Senyuman yang aku rindukan.
“Baik.”
“Sebaikk seperti saat bersamaku?”
Tuhan, pertanyaan ini. Bolehkah aku
jujur bahwa sebenarnya aku kehilangan dia. Bahwa sebenarnya aku butuh dia? Aku
ingin dia. Aku ingin ada di sampingnya saat ini.
“Tidak. Aku tidak pernah merasa
senyaman saat bersama kamu. Aku tidak pernah merasa lebih baik, kecuali sama
kamu. Puas?”
“Kamu pikir aku senang seperti ini?
Kehilangan kamu untuk kedua kalinya. Terus tiba-tiba aku tau kamu dekat sama
Aditya, sahabatku sendiri. Sementara aku disini, masih berharap kamu bisa
kembali. Tapi, apa?”
Aku menatap wajahnya yang saat ini
menggebu mengungkapkan yang ada di hatinya. Wajah yang biasanya bersikap
dingin, kini begitu keras. Wajahnya menggambarkan bahwa ia benar-benar
kehilangan. Akhirnya aku menyadari satu hal. Bahwa aku telah memilih pilihan
yang salah. Bahwa aku telah meninggalkan sesuatu yang seharusnya tak patut
untuk ku tinggalkan.
END