Sabtu, 28 Februari 2015

Gagal Move On..

Cerita ini hanya karangan fiktif belaka. Kalau ada kesamaan nama, tempat, dll. Gue ucapin makasih karena udah bikin cerita ini ada. *maksudLO!!!*

Gue mendesah berat ketika gue mulai menggerakan jari-jari gue di atas keyboard. Belum lagi, judul yang gue buat, bikin hati nyess banget. Yang gagal move on, angkat tangan atau lo semua bisa tinggalin jempol lo di blog gue.

Berkaca dari pengalaman gue yang gagal move on. Sengaja gue ambil judul itu buat gue jadiin referensi bahan blog gue sekaligus curhat. Dan yah, siapa tau ada yang punya cerita cerita sama kayak gue, terus berniat untuk posting di mading sekolah.Okay, this is my story. Check it's out.

***

Berawal dari gue yang sempet pacaran sama abang kelas gue. Namanya Aldi. Yang saat itu gue masih duduk di kelas 2 SMA. Kita pacaran secara diem-diem. Alasannya? Gara-gara sebelum jadian sama dia, gue deket sama sahabat dia, namanya Arga. Nah, kata cowok gue -pada masa itu-, Arga suka sama gue dan rela putus dari ceweknya demi gue. (Bisa dibilang PHO nggak ya gue?) Intinya, kita sama-sama jaga perasaan orang yang deket sama kita.

Gue pikir, hubungan diem-diem ini bakal mulus. Nggak taunya, dipertengahan hubugan yang berjalan 1 minggu. Dia berani ngegonceng cewek tanpa sepengetahuan gue. And you know it, I'm jealous. Udah tau ngelakuin kesalahan bukannya berusaha minta maaf malah diemin gue gitu aja. Cowok apaan tuh?!

Dari situ, mulai timbul maslaah lain. Ya dimulai dari nggak kasih kabar, sampai ngakunya sibuk. Gue pikir, kalau dia serius sama gue, sayang sama gue, sesibuk apapun dia bakal tetep ngabarin meskipun cuman bilang, "ya.". Gue capek ngadepin tingkah dia, dan gue mutusin untuk udahan di usia hubungan 2 minggu.

Jarak 1 tahun. Kita saling deket -lagi-. Sayangnya, ketika gue udah punya yang lain. Dia juga. Tapi, karena suatu hal, dia putus dari ceweknya. Dan gue terenyuh oleh bujuk rayunya. Sampai akhirnya gue mutusin cowok gue. Selama deket, dia terus bilang sayang sama gue. Cewek mana sih yang nggak melting digituin. Tapi, hebatnya kita nggak terikat status apapun. Baiklah, sebagai cewek, gue nggak bisa memproklamirkan hubungan sesuka hati gue dong. So, gue menunggu.

Nunggu, nunggu., nunggu. Nggak ada jawaban. Kesabaran gue diuji. Dan kesabaran menuai buah hasilnya. Gue diajak balikan.Sayangnya, kita harus LDR. Hubungan yang ini nggak jauh beda sama yang sebelumnya. Dia nggak kasih kabar dan ujung-ujungnya putus. Alasan gue cukup jelas, hubungan yang lagu gue jalanin itu bukan hubungan jarak 1 kilometer atau 2 kilometer. Tapi ratusan. Bayangin aja, kalau lo nggak dapet kabar dari pacar lo yang jauh. Pikiran lo macem-macem kan?

Selesai dari masalah LDR, gue denger kalau dia deket sama cewek. Yang bikin gue neg adalah dia deket jauh sebelum kita balikkan. Serasa kena hantam bola bowling nih hati. Sakit banget. *backsound Cita Citata_Sakitnya Tuh Disini*

Tapi, sejauh apapun gue disakitin sama dia. Gue masih belum bisa lupa sama dia. Rasa sayang gue buat dia belum hilang. Sekalipun sekarang kita nggak kontakan lagi. Tapi, gue masih stalkerin dia. Menurut lo, gue bego atau emang gue tulus? Soalnya, sekarang gue hidup di zaman dimana orang tulus dianggap modus dan orang modus dianggap tulus.

Sampailah gue dititik, dimana gue nggak bisa move on. Gue skak di masa lalu gue. GUe skak dengan ketidakberdayaan gue untuk ngedelete kontak dia, foto dia, atau niatan gue buat nggak stalkerin dia.Udah berusaha buka hati buat yang laen. Tapi, semua nggak akan berjalan baik tanpa niat.

-Mungkin gue harus hapus semua tentang lo dalam kehidupan gue. Tapi, itu semua nggak semudah lo hapus tentang gue dikehidupan lo.-

END

Rabu, 04 Februari 2015

Bertahan di atas Perbedaan



Menjalani suatu hubungan yang disebut pacaran bukan hanya sekedar status. Tapi juga sebuah komitment yang menjadi bumbu utama. Kemudian dilengkapi dengan perhatian, kepercayaan, kasih sayang, dan saling pengertian yang menjadi bumbu pelengkap. Apabila semua sudah pas, maka akan ada sebuah hidangan cinta yang luar biasa. Perbedaan selera menjadi permasalahan terakhir selama masih saling mengerti.

Mungkin begitulah yang aku rasa saat ini. Hubunganku dengan Nada bukan lagi hubungan yang dibilanh sebentar. Hubungan yang sudah berjalan 2 tahun dengan begitu banyak cerita pahit dan manis yang sudah sering kita alami bersama. Namun, ada yang mulai runtuh. Hatinya mulai goyah. Ya, mungkin begitu juga denganku. Ada tembok yang begitu besar tengah menghadang jalan menuju kebahagian kami. Keyakinan yang berbeda.
***
"Ada undangan pernikahan Kak Rani, kok nggak bilang aku, Tar?"
Aku terkejut mendapati Nada duduk di sampingku sembari melemparkan sebuah undangan milik kakakku.

"Nggak mau aku datang? Temen-temen kamu diundang semua. Jahat ya kamu, aku tau kabar bahagia ini bukam dari kamu."

Berdebat lagi? Entah ini udah keberapa kalinya dalam bulan ini kami bertengkar. Jauh berbeda dengan yang dulu. Kini, ia lebih mudah tersinggung jika menyangkut masalah keluarga dan agama.

"Kamu bisa datang ke keluargaku kapanpun kamu mau, Nad. Hal seperti ini aku rasa kamu pasti mengerti bahwa keluargaku mengharap kamu hadir."
"Oh ya? Setelah kejadian dua bulan lalu, dimana saat keluarga besar kamu lagi berkumpul terus nyinggung tentang kits? Iya?!"

"Nggak usah ungkit masalah itu terus, Nad. Kamu juga sih yang suka sensitif."
"Aku? Sensitif? Iya, aku sensitif. Tau kenapa? Karena kita. Kita berbeda, Tara. Kita beda!"

Emosinya memuncak. Matanya memerah dan aku tau itu saatnya dia ingin menangis.
"Di awal hubungan kita, kita nggak pernah menyinggung hal ini kan, Nad? Jadi, please. Berhenti ngebahas masalah ini." Aku meraih tangannya. Dan saat itu juga air matanya jatuh dan membasahi pipinya.

Aku dekatkan tubuhku ke arahnya. Ku rengkuh tubuhnya agar ia merasa tenang. Tangisnya semakin pecah dalam pelukanku. Aku tau, masa ini akan tiba. Masa dimana perbedaan menjadi tolak ukur dari segalanya.

"Aku menyerah, Tar.." Kulepas rengkuhanku kala mendengar kalimat menyakitkan keluar dari bibirnya.
"Maksud kamu?"
"Mau sampai kapan kita kayak gini, Tar? Bertahan sama suatu hal yang kita tau akhirnya? Kita nggak bisa lanjut lagi. Semakin jauh kita melangkah, maka akan semakin sakit jika suatu saat kita mundur."
"Ya makanya kita jangan mundur, Nada. Kita bisa." Ku yakinkan dia sekali lagi.

Nada menggeleng tegas. "Siapa suatu saat yang mau mengalah, Tara? Aku? Kamu? Nggak ada kan? Nggak ada yang mau melepas keyakinan kita. Ini jalan terakhir kita, Tara."
Nada mengecup pipi kiriku. Kemudian berlalu begitu saja.

Makasih sudah mau berjuang selama dua tahun ini. Makasih sudah berusaha menghilangkan perbedaan di antara kita. Meski sulit. Tapi aku bahagia sempat menjalaninya bersamamu...