Senin, 21 September 2015

Sudahlah...

Galau lagi galau lagi :D
Kapan bikin cerita happy nya? | Kalau kalian pada nanya hal yang seperti ini. Jawabannya adalah belum ada cerita yang bagus untuk diposting di sini. Yahh, meski cerita ini nggak ada bagus-bagusnya sih. Hehe. Udahlah nikmatin aja. Siapa tau bisa jadi pengantar tidur kalian. Baiklah, selamat membaca


''ehh, din.. Ini foto Raga 'kan? Kok sama cewek lain?'' tanya Intan pada Andina.

''Lo masih sama Raga 'kan?'' sambung Dea.

''Gue masih sama dia kok. Cewek itu cuman model dia. Bukan siapa-siapa.'' jawab Andina dengan senyuman yang siapapun mengerti itu senyuman terpaksa.

Selalu mencoba tegar. Itulah yang dirasakan Andina saat di akun Instagram milik Raga tersimpan banyak foto wanita. Raga memang seorang photographer handal. Wajar jika di Instagramnya terpampang banyak foto cewek bak galery seni.

Cemburu? Udah biasa. Tak jarang Raga pun selalu berfoto bersama modelnya. Dalam beragam pose yang lumayan menguras hati Andina. Sekarang hati Andina udah kebal dengan itu semua. Ia mulai terbiasa.

''sering nggak kasih kabar, pemotretan sama cewek sana sini, peluk2 cewek lain. Kok lo sabar sih, Din?'' Ujar Dea.

''gue ngertiin dia kali. Bukannya kalau pacaran harus saling ngerti?''

''Ya, tapi, ini udah jauh dari kenyataan sebenarnya, Din. Udahlah, putusin aja. Masih banyak yang mau sama lo.''

Andina terdiam. Pikirannya menerawang jauh. Ya, dia akui, dirinya memang bodoh. Pacaran dengan seseorang yang bisa dibilang nggak serius sama dia. Tetep bertahan, meski tak dianggap.

Andina bukan tidak bisa melepasnya. Ia hanya tidak ingin menyesal dikemudian hari karena tidak mau menunggu sedikit lebih lama. Bisa saja Raga berubah suatu saat nanti. Semoga.

***

''betah ya nggak kabarin aku selama dua hari ini.'' ucap Andina saat dirinya bertemu dengan Raga.

''aku ada pemotretan di luar kota, Din. Terus kuota aku habis untuk bisa kontak kamu lewat bbm.''

''susah ya keluarin duit berapa ribu untuk nyari kuota? Atau nggak bisa gitu kontak aku pakai hape temen kamu?''

''bukan gitu sayang. Nggak enaklah aku pinjem hape temen untuk ngontak pacar aku.''

''kalau emang aku penting buat kamu. Kamu selalu jadiin aku prioritas! Aku selalu ngertiin kamu, Raga! Kontak kamu, nanyain kabar kamu. Tapi, kamu?! Nihil!''

Raga diam. Mata Andina sedikit berkaca. Ia masih sanggup menahan air matanya untuk tidak jatuh. Karena baginya, laki-laki dihadapannya tidak pantas untuk mendapatkan air matanya. Laki-laki yang tidak dapat menghargai wanita, adalah laki-laki yang tidak pantas dapat penghargaan dari air mata seorang wanita.

Air mata wanita, hanya boleh jatuh untuk seseorang yang patut dihargai. Seseorang yang memang menganggap wanita adalah makhluk yang musti dilindungi. Bukan disakiti.

''Aku mau putus!''

''Putus?! Jangan kayak anak kecil yang ada masalah gini aja minta putus...''

''Sadar, Ga. Aku udah terlalu banyak ngalah sama sikap kamu. Aku capek. Dan sekarang nggak lagi. Semua selesai.''

Raga bangkit dari tempat duduknya. Semua mata orang di cafe menatap ke arah mereka. Andina tidak perduli. Sungguh, amarahnya sudah mencapai puncak dan kesabarannya sudah habis. Ini akhirnya. Raga pergi meninggalkan Andina, sementara Andina menghela nafas lega. Air mata yang sedari tadi ia tahan, perlahan menetes. Bukan air mata kesedihan. Tapi, air mata bahagia.

END

Minggu, 20 September 2015

Sesalku...


datanglah bila engkau menangis 
ceritakan semua yang engkau mau 
percaya padaku aku lelakimu...

Ya, laki-laki yang dulu pernah ada di setiap waktuku. Menghabiskan separuh waktuku dengan tawa dan air mata bahagia. Laki-laki yang berkata, "aku disini untukmu. Menjaga tawamu dan menghapus sedihmu." Kami terus bersama tanpa berpikir caranya berpisah. Kami terus bersama dan memberitahu pada dunia bahwa berdua dengannya aku merasa tenang.

mungkin pelukku tak sehangat senja 
ucapku tak menghapus air mata
tapi ku di sini sebagai lelakimu...

Laki-laki yang tidak pernah menyentuhku demi menghargaiku. Laki-laki yang selalu menenangkanku dengan peluk kalimat dewasanya. Dialah laki-laki yang selalu bersembunyi dibalik penantian dan tidak pernah berharap untuk dicari.

aku lah yang tetap memelukmu erat
saat kau berpikir mungkinkah berpaling

Aku yang dulu mencoba menjaga perasaannya. Mencoba mengerti akan hadirnya. Mencoba menerima sikap baiknya yang sebenarnya berbanding terbalik denganku. Aku coba itu semua untuk lebih menghargai dirinya.
 
aku lah yang nanti menenangkan badai 
agar tetap tegar kau berjalan nanti

Dialah laki-laki yang terus menyertaiku dalam doanya. Yang selalu berkata, "jangan menangis untuk dia yang sedikitpun tidak memperhatikanmu". Dia laki-laki yang terus menyapaku sekalipun ku memusuhinya. Dia yang selalu buatku tenang.  Dialah laki-laki yang saat ini sudah ku lepas untuk pergi. Pergi mencari tempat persinggahan yang baik. Pergi mencari teman hidupnya yang lebih bisa menghargai apa itu penantian. Pergi mencari wanita yang akan menyayanginya tulus tanpa cela.

END

Rabu, 16 September 2015

Pandang Aku...

Terima kasih pembaca setia, yang sudah mau meluangkan waktu untuk mampir di blog yang tidak begitu bagus ini. Lagi-lagi, Ayu memposting cerita sedih nih. Nggak tau sih genre cerita sebenarnya seperti apa. Kalian bisa menilainya sendiri setelah membaca yaaa. Selamat membaca.


Ku tatap mata indah dari sisi yang jauh. Aku tidak punya keberanian lebih untuk menatap mata indah itu secara dekat. Dia adalah gadis yang tanpa sengaja ku temui di ruang tunggu rumah sakit kemarin. Ya, dia yang sedang termenung mengahadap kolam ikan yang disediakan pihak rumah sakit. Entah mengapa, sejak pertemuan yang bahkan tidak saling memperkenalkan diri itu, aku jadi selalu ingin melihat wajah manisnya. Mendekatinya, kemudian menyapanya dan pada akhirnya kami saling mengenal. Tapi, aku tau itu sulit. Mengingat siapa aku, yang dengan beraninya berkenalan dengan gadis manis seperti dia.

Gadis berbola mata indah itu beranjak dari tempat duduknya. Ia tampak kesusahan dengan infus di tangannya dan harus memegangnya sendiri. Aku ikuti langkah kakinya. Aku berniat untuk tau dimana ruangan ia di rawat.

Kulihat ia memasuki ruangan VIP. Aku memutuskan untuk berhenti mengikutinya. Bukan karena takut. Hanya saja, VIP adalah ruangan yang tidak sembarang orang bisa masuk. Daripada aku buat suatu masalah nantinya. Dan buat kacau situasi aman saat ini. Lebih baik aku putar balik.

***

Keesokan harinya, ku lihat gadis itu merintih kesakitan memegang perutnya. Bak seorang pahlawan, aku menghampirinya untuk segera menolongnya. Aku berusaha membopohnya dengan hati-hati. Membawanya ke tempat yang aman atau masuk ke ruang inapnya.

''Jangan bawa aku ke sana...'' ucapnya saat aku membawanya menuju ruang VIP.

''Kenapa?''

''Pokoknya jangan! Dudukan aku di kursi itu.''

Aku mendudukannya di sebuah kursi panjang yang disediakan pihak rumah sakit. Wajahnya masih memancarkan ke sakitan yang aku yakin, itu sangat menyiksa.

''aku panggilin dokter ya.''

''jangan! Kamu disini aja. Ini cuman sakit lambung biasa kok.''

Aku menatap wajahnya yang masih kesakitan. Aku bingung harus melakukan apa.

''Ngapain liat aku kayak gitu?'' aku menggeleng kaku. ''aku cuman habis operasi usus buntu. Dokter memintaku untuk terus berbaring di kamar. Aku bosan, dan memilih untuk keluar. Nggak usah khawatir.''

Aku terkekeh pelan. Dan semenjak saat itu kami menjadi sangat dekat.

***

Sudah banyak hal kami kerjakan sama-sama. Sharing, hang out, bahkan aku juga sering mengantarnya ke sekolah. Sayangnya, kedekatan kami tidak bisa lebih dari sekedar sahabat.
Nilam -nama gadis itu-. Ia menyukai laki-laki lain di sekolahnya. Fadil namanya. Inilah yang selalu menjadi penghalang. Dan akan terus menjadi penghalang sampai rasa suka di hati Nilam terhadap Fadil sirna. Terkadang, di tengah kebersamaan kami, Nilam selalu menceritakan laki-laki di hadapanku. Telingaku terasa panas jika nama Fadil menginterupsi di setiap cerita kami.

Malam ini kami kembali bersantai di lapangan basket sekolahnya. Menikmati pesona langit malam yang bertabur bintang. Menertawakan hal-hal unik yang terjadi hari ini.

''Besok hari ulang tahunnya Fadil. Evan, kamu 'kan cowok. Bagusnya kasih apa ya?'' Fadil lagi. Senyum di wajahku hilang seketika. Moodku hancur.

Aku diam. Suasana berubah menjadi hening. Nilam menatapku. Matanya seolah merengek meminta pendapatku. Aku mendesah berat. Aku arahkan wajahnya yang sedari tadi mengarah ke wajahku, menatap bintang yang jauh di langit sana.

''Nil, di antara ribuan bintang di sana, mana yang kamu pilih?''

''Yang paling terang, lah.''

Aku tersenyum mengejek. Ku tatap wajahnya yang masih menatap sendu langit malam. ''Sesekali menengoklah ke arah bintang yang memiliki sinar yang redup. Bintang itu selayaknya kasih sayang seseorang. Yang begitu terang, belum tentu tulus. Yang selalu kamu puji-puji belum tentu orang yang pantas untuk dipuji. Sementara, bintang yang memiliki cahaya redup, adalah bintang yang paling tulus. Jangan abaikan dia, dia adalah bintang yang selalu merasa sakit saat mendengar bintang lain disebut, dia adalah bintang yang selalu iri dengan bintang yang kau kagumi. Kau tau? Itu adalah aku, Nil.''

Aku berlalu meninggalkan Nilam begitu saja. Setelah pengakuan malam itu, aku kembali menjadi pengagum rahasianya. Kembali mengangumi mata indahnya dari jauh. Memilih untuk mundur secara perlahan.

END

Selasa, 15 September 2015

Shadow of You...

“Terima kasih, Bu.”

Aku membuka pintu kamar baruku. Ya,aku adalah seorang mahasiswi yang baru saja pindah kost. Bosan dengan suasana kost lama, sampai akhirnya aku memutuskan pindah ke tempat yang lebih nyaman dari yang sebelumnya. Dan kost inilah pilihanku.

Ku hempaskan badanku di sebuah kasur yang tidak empuk dan juga tidak keras ini. Sedikit merenggakan persendianku. Tulang-tulang badanku terasa remuk. Mengingat aku mengangkat barang-barangku sendiri ke sini. Aku menghela nafas panjang. Mataku memandang langit kamar ini lekat-lekat. Perlahan,  mataku terpejam. Dan aku terlelap dalam buaian angin yang menerobos masuk jendela kamarku.

***

Aku dibangunkan oleh petikan gitar yang mengalun lembut di telingaku. Dari suaranya, alunan gitar itu sangat dekat dengan kamarku. Aku memutuskan untuk segera keluar dan mencari sumber suara gitar yang juga diiringi dengan suara khas laki-laki. Begitu merdu.

Aku dikejutkan oleh seorang laki-laki yang duduk di plafon rumah dengan sebuah gitar akustik di tangannya. Ia memainkan gitar  itu dengan penuh perasaan. Tampak dari tubuhnya yang ikut mengalun seiring suara petik gitar. Aku mencoba mendekat. Hanya ingin tau siapa laki-laki yang membuatku jatuh cinta dengan lagu yang –aku rasa– diciptakannya sendiri.

Alunan gitar itu berhenti dengan intro penutup yang sempurna.

“Wow, perfect. The perfect’s play.”

Ia menatapku. Tersenyum dengan begitu ramah dan seolah ia mengenal siapa aku. Aku mendekat ke arahnya. Dan duduk di samping tubuhnya yang lumayan proporsional.

“Lagunya ciptaan sendiri?” Tanyaku. Aku terlalu hyperactive mengomentari alunan gitar dan lagu yang ia mainkan.

“Yaa. Itu lagu ciptaanku.”

“Kenapa tentang kematian?”

Dia tersenyum. Matanya memandang lekat langit luas. Ia membuang nafasnya berat. Seolah ada yang tidak dapat ia ceritakan. Ku pandang lekat wajahnya, begitu manis dengan rambut yang sedikit panjang namun rapi dan terawat. Hidungnya yang mancung, mata yang menyejukan, ditambah suara yang merdu saat sebuah lagu ia nyanyikan dengan begitu sempurna.

Siapakah gerangan laki-laki di sampingku ini. Dia berada di kost yang ku tempati saat ini. Sementara, yang aku tau, kost yang aku tempati adalah kost khusus putri. Ingin bertanya lebih jauh, namun dari pertanyaan  pertama tadi ia tampak berat untuk memberikan jawabannya.

Aku berniat untuk meninggalkannya. Biarlah mungkin ia sedang tidak ingin diganggu. Aku beranjak dari posisi dudukku.

“Jangan pergi…”

Suaranya menahanku.

“Ada banyak hal yang ingin aku ceritakan olehmu…”

Aku membalikan badanku. Menatap tubuhnya yang masih membelakangiku.

“Aku bukan laki-laki baik, Nara.”

Aku mulai heran. Aku tidak mengerti maksud dari pernyataannya. Aku juga tidak tau, dari mana ia mengetahui namaku. Aku masih diam di balik tubuhnya. Menatapnya dengan penuh arti. Membiarkannya perlahan menceritakan apa yang ia rasakan.

“Aku menciptakan lagu ini satu hari sebelum semuanya berakhir. Aku hanya ingin dia tau, bahwa aku tidak ingin meninggalkannya, aku ingin terus bersamanya. Sayangnya, Tuhan punya rencana lain untukku…”

Ia beranjak dari duduknya. Menatap tubuhku yang masih menatapnya heran. Perlahan ia mendekat. Dan aku terdiam kaku.

“Wanita yang aku sayang, dengan tega mengkhianati diriku sendiri. Seseorang yang aku percaya, yang –sungguh– aku sangat berharap ia akan menjadi masa depan untukku, tega menghancurkan semua mimpiku. Dan kost ini adalah saksi bisunya, Nara. Ia membawa laki-laki lain ke dalam hubungan ini. Berkencan tanpa sepengetahuanku di kamar itu. Ya, kamar yang kamu tempati, Nara. Dalam amarah, aku tampar pipi yang selalu ku belai saat ia merajuk. Dalam amarah, aku jambak rambut yang selalu aku sentuh dan ku sisipkan di balik telinganya. Seketika itu…”

Perlahan, air mata itu mengalir membasahi pipinya. Kini aku mulai mengerti, aku pernah mendengar cerita ini sebelumnya dari temanku sebelum aku pindah ke kost ini.

“Jadi, kamu…”

“Ya, Nara.”

Aku ingin menyetuh pipinya yang basah oleh air mata itu, namun tidak bisa. Aku sadar, bahwa dunia kami berbeda. Dan aku tidak mungkin bisa menyentuh tubuhnya yang sebenarnya tidak ada. Air mataku perlahan jatuh. Aku terisak hingga tidak bisa mengontrol diriku sendiri.

***

Aku terbangun dengan wajahku yang basah. Aku menghapus air mata yang membasahi wajahku dan berlari keluar kamarku. Aku hanya mendapati bayangan laki-laki yang ku temui dalam mimpiku tadi. Sayang, aku tidak sempat menanyai siapa namanya. Yang jelas, ia sudah memperdengarkan aku lagu yang ia ciptakan. Dan itu saja sudah cukup bagiku.

Jumat, 11 September 2015

Dan...

Masih menuliskan cerpen dengan cerita sedih, cinta yang bertepuk sebelah tangan, dan cinta yang tak bersambut. Maaf jika kalian yang mampir ke blog ini merasa bosan dengan alur cerita yang itu itu terus. Saya pun baru belajar menjadi seorang penulis yang Insya Allah terus memperbaiki diri. Selamat membaca...



Dan…

Arrgghh, nama itu terus saja membayang di benakku. Nama itu terus muncul seiring dengan cerita yang terus membuatku merasa menyesal. Entah, siapa yang salah sebenarnya. Aku atau dia?

Syarif Ramadan Al-Qadri. Aku terbiasa memanggilnya dengan ‘Dan’. Panggilan kesayanganku untuknya di saat banyak orang memanggilnya Rama.

“Apa arti dia untuk kamu, Ta?”

Pertanyaan itu terus terlontar oleh siapapun ynag mendengar nama Ramadan.  Dia lebih dari sekedar berarti dalam hidupku. Ya, it’s seriously. Siapa yang akan menyangka dia datang dengan sejuta kebaikan namun aku abaikan, dan sekarang dia pergi meninggalkan sejuta kata manis yang membekas di hidupku.

Awalnya aku salah mengenal dia. Cowok resek yang tiba-tiba datang, sok perhatian, sok manis, tapi justru itu yang aku rindukan sekarang.

Aku ingin waktu bisa berputar kembali. Aku ingin bisa dekat dengannya lagi. Aku ingin diperhatiin sama dia lagi. Unfortunately, it’s impossible. Yah, I know. Sadarlah, Ta.

“Udah coba minta maaf. Tapi, dianya kayak gitu.” Keluhku pada salah satu temannya.

“Udahlah, Ta. Lupain dia. Toh, kamu ‘kan yang ninggalin dia demi siapa tuh namanya,cowok yang katanya abang kelas kamu pas SMP.”

Raka. Ya, dia yang buat Dan-ku menjauh. Dia membuat Dan-ku berubah. Dia juga yang buat hubunganku dengan Dan merenggang. I know, it’s my mistake. Emang aku yang bilang “iya” di saat dia nyatain perasaan dia ke aku. Nggak berusaha nolak padahal aku tau udah ada Dan di samping aku.

Alasanku simple dan terlewat bodoh, pada saat itu aku tidak tau bagaimana perasaan Dan yang sebenarnya sama aku. Aku pikir dia datang bukan untuk suatu perasaan yang tulus. Aku pikir dia datang hanya untuk main-main. Bahkan ia sempat menghilang beberapa hari. Yang semakin buat pemikiranku tentang perasaan yang tidak tulus semakin kuat.

Well, sayangnya aku salah. Setelah aku bilang ‘iya’ sama Raka. Dia datang dan bilang menghilangnya dia selama ini karena dia pergi ke negara antah berantah yang tidak mendapatkan sinyal sedikitpun. Percaya? Iya, jelas. Diperkuat oleh statement teman-temannya yang lain.

Dari situlah hubunganku dan Dan hancur. Dan marah saat dia tau aku bersama Raka. Dia marah karena ketulusannya dipermainkan. Dia marah karena aku tidak pernah bisa mnegerti perasaan dia. Dia marah karena rasa yang dia punya tidak dihargai dalam waktu beberapa hari.
Oke, aku salah. Aku sudah berusaha minta maaf, tapi dia malah nge-block aku dari akun facebook. Nge-delcont aku dari bbm dia

Dan akhirnya buat aku berputus asa. Hayyoollaahh, Dan. Please, forgive me.

Sama-sama ngerasa sakit mungkin. Khususnya aku. Yang sampai detik ini masih mengemis maaf dari dia. Mencoba untuk memperbaiki tiang kepercayaan yang hancur. Tapi, apa daya, semuanya sia-sia. Dan sudah menutup hatinya untuk itu.

And than, sekarang aku dengar dia nggak sendiri lagi. Dia benar-benar telah menghapus aku dari hidupnya. Sementara aku? Masih terpenjara dengan kenangan tentang dia disini. Entahlah. Hanya Tuhan yang tau, kalau nama dia masih ada dalam doaku.

END