Rabu, 04 Februari 2015

Bertahan di atas Perbedaan



Menjalani suatu hubungan yang disebut pacaran bukan hanya sekedar status. Tapi juga sebuah komitment yang menjadi bumbu utama. Kemudian dilengkapi dengan perhatian, kepercayaan, kasih sayang, dan saling pengertian yang menjadi bumbu pelengkap. Apabila semua sudah pas, maka akan ada sebuah hidangan cinta yang luar biasa. Perbedaan selera menjadi permasalahan terakhir selama masih saling mengerti.

Mungkin begitulah yang aku rasa saat ini. Hubunganku dengan Nada bukan lagi hubungan yang dibilanh sebentar. Hubungan yang sudah berjalan 2 tahun dengan begitu banyak cerita pahit dan manis yang sudah sering kita alami bersama. Namun, ada yang mulai runtuh. Hatinya mulai goyah. Ya, mungkin begitu juga denganku. Ada tembok yang begitu besar tengah menghadang jalan menuju kebahagian kami. Keyakinan yang berbeda.
***
"Ada undangan pernikahan Kak Rani, kok nggak bilang aku, Tar?"
Aku terkejut mendapati Nada duduk di sampingku sembari melemparkan sebuah undangan milik kakakku.

"Nggak mau aku datang? Temen-temen kamu diundang semua. Jahat ya kamu, aku tau kabar bahagia ini bukam dari kamu."

Berdebat lagi? Entah ini udah keberapa kalinya dalam bulan ini kami bertengkar. Jauh berbeda dengan yang dulu. Kini, ia lebih mudah tersinggung jika menyangkut masalah keluarga dan agama.

"Kamu bisa datang ke keluargaku kapanpun kamu mau, Nad. Hal seperti ini aku rasa kamu pasti mengerti bahwa keluargaku mengharap kamu hadir."
"Oh ya? Setelah kejadian dua bulan lalu, dimana saat keluarga besar kamu lagi berkumpul terus nyinggung tentang kits? Iya?!"

"Nggak usah ungkit masalah itu terus, Nad. Kamu juga sih yang suka sensitif."
"Aku? Sensitif? Iya, aku sensitif. Tau kenapa? Karena kita. Kita berbeda, Tara. Kita beda!"

Emosinya memuncak. Matanya memerah dan aku tau itu saatnya dia ingin menangis.
"Di awal hubungan kita, kita nggak pernah menyinggung hal ini kan, Nad? Jadi, please. Berhenti ngebahas masalah ini." Aku meraih tangannya. Dan saat itu juga air matanya jatuh dan membasahi pipinya.

Aku dekatkan tubuhku ke arahnya. Ku rengkuh tubuhnya agar ia merasa tenang. Tangisnya semakin pecah dalam pelukanku. Aku tau, masa ini akan tiba. Masa dimana perbedaan menjadi tolak ukur dari segalanya.

"Aku menyerah, Tar.." Kulepas rengkuhanku kala mendengar kalimat menyakitkan keluar dari bibirnya.
"Maksud kamu?"
"Mau sampai kapan kita kayak gini, Tar? Bertahan sama suatu hal yang kita tau akhirnya? Kita nggak bisa lanjut lagi. Semakin jauh kita melangkah, maka akan semakin sakit jika suatu saat kita mundur."
"Ya makanya kita jangan mundur, Nada. Kita bisa." Ku yakinkan dia sekali lagi.

Nada menggeleng tegas. "Siapa suatu saat yang mau mengalah, Tara? Aku? Kamu? Nggak ada kan? Nggak ada yang mau melepas keyakinan kita. Ini jalan terakhir kita, Tara."
Nada mengecup pipi kiriku. Kemudian berlalu begitu saja.

Makasih sudah mau berjuang selama dua tahun ini. Makasih sudah berusaha menghilangkan perbedaan di antara kita. Meski sulit. Tapi aku bahagia sempat menjalaninya bersamamu...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar