Sabtu, 12 Mei 2018

Namanya Naumi



Namanya Naumi. Gadis manis yang ku temui dua tahun yang lalu. Penyuka sastra dan hobby menulis. Aksara dalam puisinya berhasil membuatku mengaguminya. Tawa cerianya memancing ku untuk mengenalnya lebih jauh.
***
Biar ku ingat dan ku ceritakan ulang.

Kami bertemu di saat aku bertugas mengamankan sebuah acara bedah buku. Acara yang lumayan besar dengan dia sebagai narasumber.  Apa yang ku ketahui tentang sastra? Apa yang aku pahami dari sajak? Apa yang dapat ku kagumi dari rangkaian kata puitis? Membosankan. Itu kesanku dulu. Tapi kau tahu, senandung Naumi menghancurkan persepsi burukku.

Suara syahdu saat ia membacakan puisi itu dengan alunan gitar akustik, menarik minat ku pada sastra. Tidak untuk semua sastra. Hanya sastra yang tercipta dari jari mungilnya saja. Di detik pertemuan itu, aku ingin menyelami tulisanmu lebih dalam lagi.

"Terima kasih teman-teman atas kehadiran kalian pada bedah buku kali ini. Saya tidak pernah menyangka bahwa buku Arti Sebuah Nama memiliki peminat sebanyak ini. Saya akhiri bedah buku kali ini, semoga kita bertemu di acara selanjutnya. Assalamualaikum wr.wrb."

Peserta bedah buku riuh semangat menjawab ucapan salamnya. Ku lihat langkah kakinya meninggalkan panggung. Dan berjalan ke arahku. Bukan untuk menghampiriku, kebetulan mobilnya berada tak jauh dari tempatku berdiri.

Bayangnya mendekat. Dengan sigap ku bukakan pintu mobilnya dan ku lihat senyum manis itu lebih dekat.

"Naumi, aku pengagum karyamu, boleh aku meminta tanda tanganmu?" Seorang polisi sepertiku berkata hal bodoh dengan gaya kikuk di depan gadis yang disukainya. Gila.

"Harus ku tanda tangan dimana?" Ujarnya.

Aku terdiam. Sial. Aku tidak punya apa-apa saat ini. Tidak mungkin dia menyoret tanda tangannya di seragam dinasku.

"Begini saja, besok aku akan ada seminar di kampus Islam negeri sekitar sini. Kamu bisa datang dan membawa buku koleksimu untuk ku tanda tangani." Ujarnya sembari tersenyum. Dan untuk kesekian kali, aku mengangguk lucu -bodoh lebih tepatnya-.
***
Beruntung keesokan harinya aku tidak dapat tugas piket di pagi hari. Aku bersiap untuk pergi ke seminar Naumi. Aku memilih bergaya casual pagi ini. Tak lupa aku mencari beberapa buku hasil karyanya. Alasanku untuk mendapat tanda tangannya dan mungkin kontaknya.

Aku berjalan ke salah satu toko buku. Biarlah telat, aku tau jika acara tidak akan berlangsung tepat waktu.

Aku mengitari beberapa rak buku. Dan ku lihat jajaran hasil karya tulisnya, menjadi karya dengan penjualan terbaik. Hebat. Aku mengambil salah satu karyanya Tentang Aku. Ku lihat blurb (istilah untuk tulisan di belakang novel) buku itu. Penyajian auto biografi dalam sebuah sajak. Menceritakan bagaimana sosoknya -mungkin-. Buku itu menjadi pilihanku.

Aku berjalan menuju aula di kampus itu. Sepertinya masih ada waktu. Karena ku lihat masih banyak orang yang duduk manis di kursinya. Sudah pada sesi bedah buku rupanya. Dikedatanganku Naumi tepat tengah membahas inti cerita bukunya yang berjudul Tentang Aku.

"Buku ini gaya penulisannya gelap. Konflik yang termenerus muncul dan klimaksnya pergejolakkan konflik pada dirinya sendiri. Jika ditanya buku ini based on true story or not. The answers is 'ya'. But, It's not about Me. Cerita ini tentang seorang sahabat saya, yang tanpa saya sadari menyembunyikan dirinya sebenarnya dari kami sahabatnya. Intinya ini seperti auto biografi seseorang, tapi dikemas dalam tulisan yang nyaman untuk dibaca kalian para remaja."

Aku memperhatikan novel yang baru saja aku beli. Dari penuturan nya, novel ini menarik untuk ku baca. Terlepas dari ekspetasi ku yang berpikir ini adalah kisahnya dan realisasinya adalah bukan. Aku tetap akan membaca novel itu.

Sesi bedah buku berakhir. Lanjut ke sesi bagi mereka yang ingin mendapatkan tanda tangan Naumi di novel koleksi mereka. Harus kah aku join? Baiklah, tidak ada yang tau jika aku adalah seorang abdi negara.

"Hai, Naumi." Sapaku.

Dia menatap ku heran. Antara mengenalku atau tidak.

"Aku adalah anggota polisi yang kemarin ada di workshop mu. Kau ingat?" Ujarku sedikit berbisik.

"Ah, iya. Anda tampak berbeda." Ia tersenyum.

"Naumi bolehkah aku menjadi penggemar tulisanmu yang sedikit lebih dekat denganmu? Sekedar berteman." One shoot.

Spontan kalimatku itu keluar dari bibirku. Sedikit terkejut. Aku pikir kata-kata itu hanya ada dalam pikiran ku tadi. Ah, sial.

Dia kembali tersenyum. Tidak menjawab, dan mengembalikan novel yang telah ia tanda tangani padaku. Sebuah penolakan? Baiklah. Mungkin aku terlalu frontal.

Aku berjalan menuju motorku dengan sedikit rasa kecewa dan sedikit merutuki kebodohan ku tadi. Aku yakin itu penolakan. Tapi aku tidak merasa terlalu sedih. Hatiku masih ditutupi rasa penasaran untuk mencari tahu tentang dia lebih jauh. Aku bisa mencoba cara lain setelah ini.
***
Aku duduk di tepian tempat tidurku. Waktu menunjukkan jam satu malam. Piketku usai jam 12 tadi. Bergegas ku pulang, dan mengistirahatkan badanku. Ingin ku baca novel Naumi yang baru saja aku beli.

Di halaman pertama, ku dapati tanda tangannya. Tepat di halaman judul. Naumi. Hanya itu tak ada pesan lain. Baiklah, ini positif penolakan. Aku membuka lembar selanjutnya hingga sampai ke isi. Ku selami setiap kalimat yang ia rangkai. Aku menyukai tulisannya. Tidak terlalu berat dan tidak hyper bola.

Cerita yang ia kemas dalam buku itu berhasil membuatku larut ke dalamnya. Tokoh "aku" yang menjadi peran utama dalam cerita itu seolah nyata. Pertentangan tokoh "aku" dan sang ibu yang dibuat dengan karakter egois yang kuat. Ditutup dengan gejolak kebencian tokoh "aku" pada dirinya sendiri. Kebencian atas dasar kenyataan yang ia benci rupanya ada pada dirinya. Anak dari seorang pelacur.

Aku berada di halaman terakhir novel itu. Aku berhasil menyelesaikan novel itu hanya dalam waktu satu jam setengah. Dan tepat di halaman terakhir, ku lihat deretan angka yang ditulis menggunakan pena. Ada pesan di sana.
'kita berteman' dua kata dan deretan nomor ponsel. Aku simpulkan itu jawaban Naumi dari ajakan ku tadi siang.
***
Berawal dari kekaguman ku akan tulisannya. Akhirnya kami dekat bahkan memutuskan untuk menjalin sebuah hubungan yang serius. Melewati proses pendekatan yang cukup lama. Aku dan Naumi berada di titik serius dalam menjalani hubungan. Satu tahun setengah aku dan Naumi bersama. Menghabiskan waktu dan berbagi cerita. Sayang, selama satu setengah tahun ini, aku merasa Naumi belum serius terhadapku. Masih ada sisi gelap dari dirinya yang belum aku ketahui. Seiring dengan aku yang belum tau latar belakang nya.

Naumi selalu berkata, bahwa ia kini tidak lagi memiliki keluarga. Yang aku tahu, ia hidup seorang diri di sebuah rumah kontrakan berukuran sedang di tepian kota. Ia tidak pernah mau bercerita tentang bagaimana keluarganya. Yang aku tahu, kedua orang tuanya telah lama meninggal. Dan sang nenek yang meninggal tiga tahun yang lalu. Tepat sebelum aku mengenalnya.

Aku mencoba bersabar untuk tidak memaksanya terus menerus. Meski kedua orang tuaku terus mendesak ku mencari tahu lebih dalam tentang dirinya. Aku bimbang. Di saat orang tuaku perlahan memintaku menjauhi Naumi, namun hati dan pikiranku merasa aku perlu mendampingi Naumi. Terlepas dari rasa sayangku, aku merasa Naumi adalah sosok yang harus aku jaga dan tidak bisa ku lepas begitu saja.

Aku hanya perlu waktu sedikit lebih lama. Membiarkan nya merasa nyaman. Atau mungkin memilih untuk meyakini keluargaku bahwa Naumi adalah anak dari keturunan baik-baik.
***
"Yo, bagaimana kabar orang tua mu?" Tanya Naumi membuka percakapan kami sore itu.

"Baik." Jawabku singkat.

"Kenapa kau tidak menuruti kata orang tuamu saja?"

"Maksudmu?"

"Tinggalkan aku."

"Kenapa?"

"Itu yang diinginkan orang tuamu. Mereka berhak menginginkan kamu memiliki pendamping hidup yang baik, Teo."

"Tidak. Aku hanya perlu menunggu sedikit lebih lama lagi."

"Untuk apa, Yo? Percuma. Semua sudah aku ceritakan. Aku tidak memiliki orang tua lagi. Nenek ku sudah meninggal. Aku sudah menceritakan semuanya, dan orang tuamu tetap tidak percaya akan hal itu. Jadi untuk apa bertahan?!"

"Naumi, Kita bukan anak kecil lagi. Aku capek harus memulai hubungan yang baru lagi. Aku nyaman dengan kamu. Sabar.  hanya perlu meluluhkan hati orang tuaku, untuk kita. Terserah bagaimana latar belakang keluarga mu, aku nggak perduli. Aku..."

"Sekalipun aku anak dari seorang pelacur?!" Kalimat itu dengan cepat memotong kalimatku. "Aku anak seorang pelacur, Teo! Aku tidak tahu siapa ayahku! Dan aku benci ibuku!"

Aku terdiam. Naumi menangis. Tangisan yang aku yakin sudah sejak lama ia pendam.

Aku mencoba merengkuh tubuhnya yang melemah. Namun ia menolak. Selangkah ia mundur menjauhi ku.

"Aku benci akan diriku sendiri, Yo. Aku anak dari seorang pelacur. Yang bahkan aku tidak tau siapa ayahku. Aku malu. Aku memilih mengubur diriku sendiri dan lahir menjadi aku yang baru. Tidak ada yang tau siapa diriku sebenarnya. Aku yang cuman bermimpi akan menemukan hidup bahagia tanpa bayang-bayang ibu ku yang bekerja sebagai wanita penghibur."  Isaknya sedikit mereda. "Teo, aku bahagia takdir sempat mempertemukan aku dengan kamu yang aku pikir aku bisa hidup dengan kamu tanpa terusik masa lalu kehidupan aku. Tapi ternyata salah. Aku tidak bisa menghabiskan masa tuaku bersama orang yang aku sayang."

"Naumi, tentang siapa dirimu itu aku tidak pernah perduli. Aku hanya perlu waktu untuk meyakinkan orang tuaku bahwa pilihanku itu yang terbaik. Aku jatuh cinta dengan apa yang aku lihat saat pertama kali aku bertemu kamu. Bukan dari cerita masa lalumu bahkan itu yang terburuk sekalipun."

Ku rengkuh tubuhnya dengan kuat. Aku berusaha membuatnya tenang. Aku tau ini berat untuk dirinya. Wajar jika selama ini ia menyembunyikan itu semua dari aku dan mungkin orang-orang di sekitarnya. Namun tidak berkurang sedikit pun rasa yang aku punya terhadap dirinya. Masa lalunya hanya sebuah cerita yang membuatnya ada hingga di titik ini. Aku bangga mencintainya. Aku bangga bahwa Tuhan titipkan ia menjadi cerita di hidupku untuk sekarang maupun nanti.

Dialah Naumiku. Dengan segala kisah di balik dirinya sekarang, yang aku tau, dia adalah wanita dengan aksara indah yang berhasil meluluhkan kebekuankun terhadap sastra. Aku mencintai setiap tulisannya dan setiap guratan senyum di wajahnya. Hanya itu.

The End

Tidak ada komentar:

Posting Komentar