Sabtu, 17 Mei 2014

Aku Sakit


Ini adalah malam kesekian aku dan Rion menemani Asha di rumah sakit. Masih terbaring lemah dengan mata yang juga tertutup. Sudah hampir satu minggu Asha terbaring di rumah sakit dan masih belum juga sadar.
            Rion sahabatku yang kini telah menjadi kekasih Asha masih setia menunggu Asha untuk bangun dari tidur panjangnya.
            Aku, Rion, dan Asha adalah sahabat dari kecil. Bermain, tertawa, bahkan menangis bersama. Namun, ketka kami beranjak remaja. Tepatnya pada kelas 2SMA. Rion mengungkapkan perasaannya pada Asha. Hingga akhirnya mereka menjadi sepasang kekasih.
            Hampir satu tahun mereka berpacaran, cobaan besar mulai datang. Yaitu, sakitnya Asha karena penyakit gagal ginjal yang dialaminya 1 tahun terakhir ini. Dan mengharuskannya untuk cuci darah setiap 3 bulan sekali. Dan Rion memang cwok yang teramat setia, yang masih setia menunggu dan mensuport Asha agar kelak ia bisa sembuh dan kembali tertawa bersama kami.
            “Mil, kalo kamu mau pulang. Pulang aja. Biar Asha aku yang jagain.”
            “Tapi, Ion. Aku masih mau nemenin Asha.” Tolak ku.
            “Gak, Mil. Aku kasian sama kamu. Ini udah malam, Mil. Kamu pulang ya. Istirahat, biar besok kamu bisa jaga dia lagi.”
            Aku hanya diam menatap Rion. Dan mengangguk lesu. “Baiklah aku pulang, Ion. Nanti, kabarin aku tentang keadaan Asha ya, Ion.”
            Rion cukup meresponnya dengan sebuah anggukan. Dan aku pun melangkah kaki gontai meninggalkan ruangan dimana Asha dan Rion berada.
***
            Aku merebahkan tubuhku di atas ranjang. Melihat sebuah figura foto dimana ada aku, Rion, dan Asha. Setiap kali kami berfoto, Rion selalu menempatkan dirinya di tengah. Seakan-akan dia memiliki dua orang gadis yang sangat menyayanginya.


            Memang, bukan hanya Asha yang menyayangi Rion. Tapi, aku juga mempunyai perasaan yang sama pada Rion. Mungkin bisa diibilang aku lah yang pertama memiliki perasaan ini. Karena Akulah orang yang lebih dulu mengenal Rion. Namun, aku berusaha memendam. Dengan tujuan aku gak mau merusak persahabatan ini.
            Sampai akhirnya, Asha hadir di antara kami. Dan merubah semua kedekatan kami. Aku tidak sepenuhnya menyalahkan Asha. Karena aku tau, ini semua adalah rencana Tuhan.
            Aku terlalu lelah memikirkan semua. Aku terlalu letih untuk mem-Flash back semua kenangan ini. Aku ingin memejamkan mata ini, untuk sejenak saja. Dan kemudian hanyut dalam mimpi indah.
***
            “Hahahaha, gila kamu, Ion. Berani-beraninya ngerjain Pak Siswanto. Nekad, aabbiisss…” Ujarku.
            “Ya, dong. Kapan lagi bisa kayak gini, Mil?”
            “Tapi, ntar kamu kualat, lho. Orang tua tuh.”
            Gelak tawa tercipta di antara aku dan Rion. Masih teringat di ingatanku bagaimana senyuman itu merekah di wajahnya. Dan senyuman itulah yang memikatku.
            “Rion…!!!” Panggil seorang gadis cantik nan anggun.
            “Asha, darimana aja, kamu??” Ucap Rion.
            “Tadi aku dari perpus. Terus aku tungguin kamu di kantin. Ehh, gak taunya kamu disini bareng Emil.”
            “Oh iya, maaf ya sayang. Heheh.”
            “Iya, ini aku bawain jus buat kamu.”
            Melihat tawa di antara mereka, Aku juga berusaha untuk tersenyum. Meski sebenarnya di hati aku menyimpan sebuah sakit yang begitu menyiksa.
            “Emil, hidung kamu. Mimisan lagi.” Seru Asha.
            “Mil, kamu gak papa??” Tanya Rion.
            “Aku gak papa, Ion, Sha. Aduh..” Teriakku ketika kakiku tak dapat menyeimbangkan tubuhku lagi.
            “Emiiilll…!!!” Seru Rion menopang tubuhku.
            “Awww,, Ahhhh.. Rion. Perut aku sakit. sakit banget, Ion.”
            “Asha.. Kita ke UKS ya. Atau ke rumah sakit aja. Penyakit kamu pasti lagi kambuh.”
            Rion pergi meninggalkanku yang tengah menahan sakit juga disini. Dia lebih memilih Asha, kekasihnya daripada aku sahabatnya.
***
            Kini aku benar-benar tersadar. Siapalah orang yang benar-benar Rion sayang. Ketika aku juga tengah sakit dan butuh bantuan. Rion malah memilih menyelamatkan Asha. Apakah kini pacar lebih berarti dari segalanya? Entahlah, aku sebagai sahabat hanya berusaha mengerti dan bersabar. Aku yakin semua akan indah pada waktunya. Waktu dimana Rion tau, bagaimana hatiku sebenarnya.
***
            Semakin lama aku menunggu. Semakin aku banyak belajar dari kehidupanku yang tidak lama lagi. Penyakit ini terlalu ganas untuk aku lawan sendiri tanpa adanya support dari teman-teman dan sahabat. Aku menyerah Tuhan. Aku menyerah. Aku tidak lagi bisa melawan rasa sakit ini. Aku sudah tidak sanggup, Tuhan. Kini jemputlah aku dengan kereta kencanamu. Aku siap pergi dengan sejuta senyuman yang tersisa di akhir umurku. Misi ku sudah selesai Tuhan, jemputlah aku. Ku mohon Tuhan.
            “Emill, Emill. Emill, bangun, Mil. Ini Aku Rion. Please, bangun Emill.” Suara sendu menolongku untuk membuka mata. Untuk menyampaikan salam terakhirku untuk seseorang yang ku sayang.
            “Rion, akhirnya kamu ada di samping aku juga, ya. Setelah sekian lama aku sakit,Ion. Setelah sekian lama penyakit ini menggerogoti tubuhku. Hari ini, dihari terakhirku ini, kamu hadir merengkuh tanganku…”
            “Kenapa kamu gak cerita dari awal tentang ini, Mil.”
            “Aku gak mau cerita, karena aku ingin kamu yang bertanya langsung. Tapi, kenyataannya, kamu gak pernah nanyain aku sakit apa, Ion. Aku pengen kamu respect sama aku. Tapi, itu hanya mimpi bagiku.”
            “Gak, Mill. Kamu gak boleh bicara seperti itu. Dan ini bukan hari terakhir kamu. Please, bertahan. Bertahan sampe aku bisa bahagiain kamu di sisa hidupmu, Mil.”
            “Rion, aku sayang kamu. Dan ingin aku, aku tetap nunggu kamu. Tapi, aku capek. Aku letih, Ion. Letih berharap kamu memandang mata ini. Tapi, aku yakin dengan aku donorkan ginjal aku untuk Asha. Aku tetap bisa bahagia, Ion. Karena kamu mencintai seseorang yang di tubuhnya tersimpan organ seseorang yang menyayangimu dengan tulus. Sekarang aku, tenang Ion. Biarkan aku pergi. Agar aku tidak lagi merasakan bagaimana sakitnya hati yang tidak bisa memiliki.”
            Akupun menghembuskan nafas terakhirku. Dalam pelukkan Rion. Dalam pelukkan seseorang yang amat sangat aku sayang. Hati ini memang sakit Rion. Tapi, ketika tiba waktunya, hati ini bahagia dapat melihat seseorang yang dicinta bahagia bersama orang yang dia sayangi.
*the end*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar