Ini adalah malam kesekian
aku dan Rion menemani Asha di rumah sakit. Masih terbaring lemah dengan mata
yang juga tertutup. Sudah hampir satu minggu Asha terbaring di rumah sakit dan
masih belum juga sadar.
Rion sahabatku yang kini telah
menjadi kekasih Asha masih setia menunggu Asha untuk bangun dari tidur
panjangnya.
Aku, Rion, dan Asha adalah sahabat
dari kecil. Bermain, tertawa, bahkan menangis bersama. Namun, ketka kami
beranjak remaja. Tepatnya pada kelas 2SMA. Rion mengungkapkan perasaannya pada
Asha. Hingga akhirnya mereka menjadi sepasang kekasih.
Hampir satu tahun mereka berpacaran,
cobaan besar mulai datang. Yaitu, sakitnya Asha karena penyakit gagal ginjal
yang dialaminya 1 tahun terakhir ini. Dan mengharuskannya untuk cuci darah
setiap 3 bulan sekali. Dan Rion memang cwok yang teramat setia, yang masih
setia menunggu dan mensuport Asha agar kelak ia bisa sembuh dan kembali tertawa
bersama kami.
“Mil, kalo kamu mau pulang. Pulang
aja. Biar Asha aku yang jagain.”
“Tapi, Ion. Aku masih mau nemenin
Asha.” Tolak ku.
“Gak, Mil. Aku kasian sama kamu. Ini
udah malam, Mil. Kamu pulang ya. Istirahat, biar besok kamu bisa jaga dia
lagi.”
Aku hanya diam menatap Rion. Dan
mengangguk lesu. “Baiklah aku pulang, Ion. Nanti, kabarin aku tentang keadaan
Asha ya, Ion.”
Rion cukup meresponnya dengan sebuah
anggukan. Dan aku pun melangkah kaki gontai meninggalkan ruangan dimana Asha
dan Rion berada.
***
Aku merebahkan tubuhku di atas
ranjang. Melihat sebuah figura foto dimana ada aku, Rion, dan Asha. Setiap kali
kami berfoto, Rion selalu menempatkan dirinya di tengah. Seakan-akan dia
memiliki dua orang gadis yang sangat menyayanginya.
Memang, bukan hanya Asha yang
menyayangi Rion. Tapi, aku juga mempunyai perasaan yang sama pada Rion. Mungkin
bisa diibilang aku lah yang pertama memiliki perasaan ini. Karena Akulah orang
yang lebih dulu mengenal Rion. Namun, aku berusaha memendam. Dengan tujuan aku
gak mau merusak persahabatan ini.
Sampai akhirnya, Asha hadir di
antara kami. Dan merubah semua kedekatan kami. Aku tidak sepenuhnya menyalahkan
Asha. Karena aku tau, ini semua adalah rencana Tuhan.
Aku terlalu lelah memikirkan semua.
Aku terlalu letih untuk mem-Flash back semua kenangan ini. Aku ingin memejamkan
mata ini, untuk sejenak saja. Dan kemudian hanyut dalam mimpi indah.
***
“Hahahaha, gila kamu, Ion.
Berani-beraninya ngerjain Pak Siswanto. Nekad, aabbiisss…” Ujarku.
“Ya, dong. Kapan lagi bisa kayak
gini, Mil?”
“Tapi, ntar kamu kualat, lho. Orang
tua tuh.”
Gelak tawa tercipta di antara aku
dan Rion. Masih teringat di ingatanku bagaimana senyuman itu merekah di
wajahnya. Dan senyuman itulah yang memikatku.
“Rion…!!!” Panggil seorang gadis
cantik nan anggun.
“Asha, darimana aja, kamu??” Ucap
Rion.
“Tadi aku dari perpus. Terus aku
tungguin kamu di kantin. Ehh, gak taunya kamu disini bareng Emil.”
“Oh iya, maaf ya sayang. Heheh.”
“Iya, ini aku bawain jus buat kamu.”
Melihat tawa di antara mereka, Aku
juga berusaha untuk tersenyum. Meski sebenarnya di hati aku menyimpan sebuah
sakit yang begitu menyiksa.
“Emil, hidung kamu. Mimisan lagi.”
Seru Asha.
“Mil, kamu gak papa??” Tanya Rion.
“Aku gak papa, Ion, Sha. Aduh..”
Teriakku ketika kakiku tak dapat menyeimbangkan tubuhku lagi.
“Emiiilll…!!!” Seru Rion menopang
tubuhku.
“Awww,, Ahhhh.. Rion. Perut aku
sakit. sakit banget, Ion.”
“Asha.. Kita ke UKS ya. Atau ke rumah
sakit aja. Penyakit kamu pasti lagi kambuh.”
Rion pergi meninggalkanku yang
tengah menahan sakit juga disini. Dia lebih memilih Asha, kekasihnya daripada
aku sahabatnya.
***
Kini aku benar-benar tersadar.
Siapalah orang yang benar-benar Rion sayang. Ketika aku juga tengah sakit dan
butuh bantuan. Rion malah memilih menyelamatkan Asha. Apakah kini pacar lebih
berarti dari segalanya? Entahlah, aku sebagai sahabat hanya berusaha mengerti
dan bersabar. Aku yakin semua akan indah pada waktunya. Waktu dimana Rion tau,
bagaimana hatiku sebenarnya.
***
Semakin lama aku menunggu. Semakin
aku banyak belajar dari kehidupanku yang tidak lama lagi. Penyakit ini terlalu
ganas untuk aku lawan sendiri tanpa adanya support dari teman-teman dan
sahabat. Aku menyerah Tuhan. Aku menyerah. Aku tidak lagi bisa melawan rasa
sakit ini. Aku sudah tidak sanggup, Tuhan. Kini jemputlah aku dengan kereta
kencanamu. Aku siap pergi dengan sejuta senyuman yang tersisa di akhir umurku.
Misi ku sudah selesai Tuhan, jemputlah aku. Ku mohon Tuhan.
“Emill, Emill. Emill, bangun, Mil.
Ini Aku Rion. Please, bangun Emill.” Suara sendu menolongku untuk membuka mata.
Untuk menyampaikan salam terakhirku untuk seseorang yang ku sayang.
“Rion, akhirnya kamu ada di samping
aku juga, ya. Setelah sekian lama aku sakit,Ion. Setelah sekian lama penyakit
ini menggerogoti tubuhku. Hari ini, dihari terakhirku ini, kamu hadir merengkuh
tanganku…”
“Kenapa kamu gak cerita dari awal
tentang ini, Mil.”
“Aku gak mau cerita, karena aku
ingin kamu yang bertanya langsung. Tapi, kenyataannya, kamu gak pernah nanyain
aku sakit apa, Ion. Aku pengen kamu respect sama aku. Tapi, itu hanya mimpi
bagiku.”
“Gak, Mill. Kamu gak boleh bicara
seperti itu. Dan ini bukan hari terakhir kamu. Please, bertahan. Bertahan sampe
aku bisa bahagiain kamu di sisa hidupmu, Mil.”
“Rion, aku sayang kamu. Dan ingin
aku, aku tetap nunggu kamu. Tapi, aku capek. Aku letih, Ion. Letih berharap
kamu memandang mata ini. Tapi, aku yakin dengan aku donorkan ginjal aku untuk
Asha. Aku tetap bisa bahagia, Ion. Karena kamu mencintai seseorang yang di
tubuhnya tersimpan organ seseorang yang menyayangimu dengan tulus. Sekarang
aku, tenang Ion. Biarkan aku pergi. Agar aku tidak lagi merasakan bagaimana
sakitnya hati yang tidak bisa memiliki.”
Akupun menghembuskan nafas
terakhirku. Dalam pelukkan Rion. Dalam pelukkan seseorang yang amat sangat aku
sayang. Hati ini memang sakit Rion. Tapi, ketika tiba waktunya, hati ini
bahagia dapat melihat seseorang yang dicinta bahagia bersama orang yang dia
sayangi.
*the
end*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar