Jumat, 30 Mei 2014

Rahasia Hati Yunda (part1)

Tangannya yang kuat itu memantik korek api dan menyulutnya ke sebatang rokok. Menghisapnya dengan penuh kenikmatan. Lelaki itu. Lelaki dewasa itu yang akhir-akhir ini berhasil menghantui otakku. Lelaki yang bekerja sebagai penjaga sebuah toko baju di pasar. Hidungnya yang mancung, tulang rahangnya yang tegas, matanya yang bulat indah, rambutnya yang bergaya klimis namun tetap membuatnya tterlihat manis. Tidak. Dia tidak cupu. Gayanya benar-benar seperti pria dewasa. Ku rasa usianya berkisar dua puluh tahunan. Ah, sungguh, setiap kali melihatnya tersenyum, hatiku serasa melayang jauh. Terlebih lagi dia ramah.

Yang aku tahu dia adalah orang Padang. Sama denganku. Nampak jelas dari logatnya yang khas. Khas orang Padang.

Cukup. Waktuku sudah habis mengagumi setiap lekuk wajahnya. Kini saatnya aku pergi dari pasar ini dan kembali ke rumah. Ibu dan Ayah akan sangat marah jika mengetahui anaknya terlambat pulang ke rumah.

Hanya mampu menatapnya dari kejauhan. Entah kapan tiba waktu yang pas aku bisa berbicara dengannya untuk sebatas dekat atau berkenalan diselingi basa-basi. Sampai dimana saat aku menemani Ibu berbelanja ke pasar, aku meminta pada Ibu untuk mampir ke toko laki-laki yang ku kagumi itu. Ibu menyetujuinya, dan lebih baik lagi Ibu meninggalkanku di sana dengan alesan Ibu ingin menjumpai sahabatnya di toko yang letaknya tidak jauh dari toko ini. Alhasil aku terdiam dan sibuk memainkan handphoneku. Meski terkadang mataku sedikit melirik ke arahnya.

"Namanya siapa, Dek?"
Dia menyapaku. Suara khasnya keluar. Meski bernada sedikit cempreng namun ku menyukainya.
"Ayunda Monita. Panggil saja Yunda."
"Oh, nama abang Ahmad Irgi. Panggil aja Irgi."

Perkenalan singkatku dengan pria yang sudah aku ketahui bernama Irgi. Tentu saja aku memanggilnya Bang Irgi, dia berusia lebih tua dariku.

Berawal dari perkenalan tu, kami pun semakin dekat. Selesai pulang sekolah aku selalu main ke tokonya. Ibu juga tahu bahwa anak sematawayangnya mengagumi Bang Irgi. Selama aku masih dalam batas wajar dan Ayah tidak mengetahuinya, aku masih boleh bergaul dengannya. Ayah adalah orang yang paling menentang apabila aku berteman atau bergaul dengan anak-anak pasar. Dan itu yang aku takutkan dari Ayah.

                                                                             ***
Semakin hari , aku dan dia semakin dekat. Masih dengan diam-diam di belakang Ayah tentunya. Aku juga sering sharing dengan dia. Ternyata Kak Irgi orangnya pintar, ia juga sering membantuku mengerjakan atau mengajariku soal-soal di sekolah. Maklum sebentar lagi aku akan menghadapi Ujian Nasional.

"Abang ini perokok. Maaf jika terganggu dengan asap rokok abang."
Aku mengangguk tegas. Bagiku aku sudah terbiasa menghirup asap rokok yang sangat menyiksa paru-paruku. Mulai terbiasa seiring dengan rasa ini yang sudah semakin merasa nyaman dengan dirinya.
"Mau denger cerita cinta abang nggak?"
"Mau. Mau banget." Jawabku semangat.

Aku mendengarkan setiap kata demi kata yang ia lontarkan. Mencermatinnya menjadi sebuah kalimat yang akhirnya aku akan mengerti. Ternyata, Irgi memiliki seorang kekasih di Kota Pariaman. Seorang bidan muda yang sangat cantik. Hidung mancung, bermata belo, berlesung pipit, dan satu hal yang Irgi suka darinya. Wanita itu adalah wanita soleh, ia berhijab. Ia meninggalkan gadis yang aku dengar bernama Ramadhina Adinda karena ketidaksepadanan status mereka. Ina--panggilan wanita itu-- adalah seorang wanita bertitle bidan sementara Irgi hanya seorang pedagang. Hubungan mereka sudah berjalan 2 tahun. Dan sampai akhirnya Irgi diminta untuk menjaga toko bibinya di Jawa, dan harus meninggalkan Ina di kota Pariaman. Ina tidak menerima keputusan Irgi. Ina bukan tipe cewek yang bisa bertahan untuk hubungan jarak jauh. Namun, Irgi tetap harus pergi.

Sampai dimana Irgi berangkat ke Jawa secara diam-diam. Meninggalkan Ina tanpa sebuah kabar atau pesan. Hal ini karena Irgi ingin Ina bisa melupakannya kemudian mendapatkan pria yang lebih baik dan sepadan dengannya. Irgi pun memutuskan untuk menukar nomor hapenya sesampainya ia di Jawa. Berat sebenarnya hati Irgi untuk melepasnya. Namun, apa hendak dikata, semua sudah terjadi.

"Dan kalau boleh jujur abang masih sangat menyayanginya. Abang hanya takut, dia benar-benar mendapatkan yang terbaik di sana."
Sebuah kalimat yang entah mengapa membuatku sakit. Mataku memanas. Hatiku sakit. Seseorang yang aku sayang, masih berharap dengan mantannya. Ya Tuhan...
Aku hanya tersenyum getir. Foto yang ada di tangannya ia genggam dengan sangat erat. Foto Ina.

                                                                              ***
Semenjak mengetahui akan hal itu, aku tidak pernah lagi dengan Irgi. Entah aku menjauh untuk benar-benar membencinya dan melupakan rasa ini, atau memang aku sedang malas untuk bertemu dengannya akhir-akhir ini, atau mungkin juga aku ingin terfokus dulu dengan ujianku..

Satu hari, dua hari, tiga hari, kemudian berganti minggu. UN ku selesai. Hasil akhir pun telah diberitahu olleh pihak sekolah dan aku lulus. Aku memutuskan untuk melanjutkan sekolah di Pariaman. Hati kecilku mengatakan aku harus kuliah di sana. Dan akhirnya, hari keberangkatanku tiba.

"Nda, kamu nggak mau ngomong sama Irgi dulu?" Sapa Ibu dengan nada khasnya.
Aku menggeleng. "Bu, seandainya ia menanyakan keberadaan Yunda, katakan jika Yunda tidak mau memberitahu di mana Yunda kuliah. Pokoknya pandai-pandai Ibu berbicara ya, Bu."
"Kalian ada apa? Lagi berantem?"
Aku menggeleng sekali lagi. Menegaskan bahwa aku dan Irgi baik-baik saja.
"Baiklah, Bu. Yunda berangkat. Ayah, Yunda berangkat. Assalamua'alaikum."
"Wa'alaikumsalam. Kabari Ibu ya."
Aku mengangguk. Aku mengecup tangan orang tuaku. Kemudian berlalu dan menghilang dari balik pintu keberangkatan.

(bersambung)
Tungguin lanjutan ceritanya ya, :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar