Senin, 12 Mei 2014

Cinta tiga sudut


“Vi, gue beliin elo jus alpukat nih. Semangat ya nulisnya…” Sapa Fael  dengan senyuman hangatnya.
Elvia Agatha, gadis manis dengan wajah orientalnya adalah gadis manis yang menemani hidup Fael selama hampir 2 tahun ini. Fael kagum terhadap kemahiran Via yang mampu mengolah sebuah kata menjadi kalimat penuh kiasan, penuh arti dan keindahan.
Via mengembangkan sebuah senyuman manisnya, menampilkan sebuah lesung pipi yang ia miliki di kedua sudut pipinya. Menambah point plus atas kecantikan yang dimilikinya.
Tawa di antara keduanya pecah. Menepiskan sepi yang menyelimuti suasana di taman belakang kampus sore itu. Angin yang bertiup semilir, dua gelas jus di tangan mereka masing-masing, sebuah kertas yang penuh dengan kata-kata menjadi sebuah bait keindahan milik Via, dan sebuah brownies yang sudah setengah dari bentuknya habis mereka nikmati. Rasanya masih kurang lengkap tanpa hadirnya Arletta Shahia. 
Gadis cantik yang juga sahabat mereka berdua. Letta berbeda dengan Via. Dia mahir bermain gitar, suaranya juga bagus, dan stylenya yang sedikit santai membuat Via betah berlama-lama berdua dengannya. Letta nggak seperti cewek lain yang selalu ribet dengan urusan penampilan. Letta sahabat semasa kecilnya Via. Mereka sempet berpisah enam tahun karena orang tua Via harus pindah ke Singapore.
"Jahat banget ya kalian. Ngumpul disini tanpa ada ngajak gue."
"Gue sama Via lagi nggak mau elo ganggu, ngerti!" Jawab Fael sembari mengacak rambut Letta dengan gemasnya.
Suatu hal wajib yang Fael lakukan. Fael sangat menyukai rambut Letta, panjang, hitam, lembut, sedikit ikal dan harum. Letta boleh santai terhadap penampilan, Letta juga memilikii gaya yang sedikit tomboy, tapi urusan rambut. Letta telah menjadikan itu prinsip pertamanya.
"Gue tau, gue nggak pernah penting di antara kalian. Gue juga bukan hal terpenting yang ada di antara kalian..." Letta membalikkan badannya dan berniat meninggalkan mereka.
"Letta..." Panggil Via, dan menghentikan tubuh Letta yang sudah berjalan lima langkah dari mereka.
"Ngambekkan elo." Fael langsung memeluk tubuh  Letta dari belakang. Mencium aroma shampoo essence melon dari rambut Letta.
Fael dan Letta saling mengenal lebih dulu ketimbang antara Fael dan Via. Jadi, Fael sudah tau hal apa yang membuat Letta tenang. Merengkuhnya.
Via menghampiri tubuh Letta. Meraih tangannya, dan menyuapinya sepotong brownies coklat almond kesukaan Letta.
Sebuah persahabatan yang manis sama halnya dengan rasa sepotong brownies itu...
                                                                         ***
"Fael Arasya. Cowok manis, jago main drum, keyboard, bass. Ahh, super deh." Lirih Letta mengagumi Fael sahabatnya. Di tangannya terdapat sebuah figura di mana di dalamnya ada tiga mahasiswa dan mahasiswi dengan fakultas berbeda bersatu dalam bingkai persahabatan.
Via hanya tersenyum simpul manis. Tangannya selalu sibuk mengelus lembut boneka beruang kecil berwarna putih pemberian Fael untuknya.
"Vi, kalau gue ungkapin perasaan gue ke Fael duluan, menurut elo gimana?"
Via mengalihkan pandangannya. Memandang lekat tubuh Letta yang membelakanginya. Mata Via bergantian menatap tubuh sahabatnya yang sedang menikmati suasana sore di komplek rumahnya, dengan  beruang kutub pemberian Fael. Letta tidak tahu bahwa sebelumnya Fael memberikan boneka itu sebagai suatu tanda sayang yang lebih dari hati Fael untuk Via. Yang ia tahu boneka itu pemberian dari orang terspesial bagi Via. Via juga tidak pernah memberi tahu siapa nama seseorang spesial itu.
Letta dan Via memang bersahabat sudah sangat lama. Dan mereka juga saling terbuka tentang apapun yang ada diri mereka. Saling mengetahui kelemahan dan kelebihan satu sama lain. Sayangnya untuk saat ini, tentang Fael, Via lebih memilih menutup mulutnya untuk bercerita lebih jauh tentang rasa di hatinya terhadapa Fael pada Letta. Ia tidak ingin menceritakan sebuah cerita  di mana inti cerita itu adalah ia terjebak dalam sebuah cinta tiga sudut. Dua sudut yang bertemu pada satu sudut lainnya. Satu sudut itu menjadi tujuan dalam hati keduanya. Fael, Letta, dan Via. Via tahu sebenarnya rasa yang ia miliki saat ini akan dibalas dengan tulus oleh Fael. Namun akankah kelancaran hubungan itu juga akan berimbas dengan hubungan persahabatan mereka? Tentu akan ada hati yang terluka pastinya dalam cerita ini. Hanya waktu yang dapat menjawab siapa yang tersenyum bahagia siapa juga yang akan tersenyum menutupi duka.
"Via, kok elo ngelamun?"
Via terbangun dari lamunannya. Matanya yang semula akan menjatuhkan setitik embun bening, seketika terbendung kembali. Agar air mata itu tidak jatuh dan membasahi pipi Via.
"Elo kangen sama someone yang ngasih elo boneka ini ya, Via?" Via masih diam. Letta merengkuh pundaknya erat. Mencoba mencari penyebab kegalauan hati sahabatnya. Namun nihil, Via tetap diam dalam seribu bungkam.
                                                                      ***
Letta memasuki kamar Via yang saat itu tidak terkunci. Ia sedang mencari sahabatnya yang rencanya sore itu Letta berniat mengajaknya hunting bersama. Fael mempunyai hobby fotografi akhir-akhir ini. Dan objek modelnya adalah Letta dan Via. Lelah Letta berteriak namun tak ada jawaban dari Via. Letta berniat menggeledah kamarnya. Sudah hal biasa yang Letta lakukan di kamar Via. Yah, itung-itung ia mencari aksesoris yang bisa ia pakai sore ini untuk berfoto.
Fokus mata Letta terarah pada sebuah buku di atas meja belajar Via. Buku bersampul batik berwarna coklat yang baru kali ini Letta melihatnya. Sejak kapan Via suka nulis diary? Dia memang suka menulis puisi atau cerpen. Tapi tidak pernah ia menulisnya di sebuah buku harian. Ia selalu menulisnya di buku khusus atau langsung mengetiknya di laptop. Perlahan Letta membuka buku harian itu. Ada sedikit ragu di hati kecilnya, namun entah kenapa rasa ragu itu berubah menjadi sebuah rasa ingin tahu yang begitu besar. Hati kecilnya berkata bahwa harus ada suatu rahasia yang terungkap. Ya, rahasia besar.
Kata demi kata terangkai menjadi sebuah kalimat, kemudian memenuhi setiap lembar dalam buku itu. Letta menitikkan air matanya ketika membaca sebuah halaman yang benar-benar membuatnya tertegun, menyesal, dan sakit. Letta menutup buku harian itu dengan emosi yang memenuhi batinnya. Meninggalkan kamar Via begitu saja. Berlari seiring dengan tangan sibuk menghapus derai air matanya yang jatuh.
"Letta mana ya?" Tanya Fael.
Fael tengah duduk sendiri di sebuah kursi di tengah taman dengan memegang camera Nikon D1000 miliknya. Via berjalan perlahan menemui Fael.  Duduk tepat di sebelah Fael. Via menggunakan mini dress berwarna beige dengan bando hitam menghias rambutnya. Tangannya terikat sebuah gelang perak bermata biru safir. Via sangat cantik dengan gaun itu.
"Via? Letta mana?"
"Letta? Aku pikir dia sama kamu."
"Nggak. Dia bilang dia mau jemput kamu."
Via diam. Seketika suara itu hadir. Suara merdu nan khas milik Letta. Gadis manis yang sore itu tengah menutupi kesedihannya dengan tawa memanggil nama kedua sahabatnya. Dia berlari dengan senyuman yang terus mengembang dari wajah manisnya. Celana jeans yang ia padukan dengan baju panjang bergaris biru sangat pas di tubuhnya yang tinggi semampai. Mata indah yang baru saja menangis sebisa mungkin ia melukiskan sebuah pelangi agar semua terlihat sempurna dan baik-baik saja. Letta hadir dan duduk di antara mereka. Senyum itu masih terus ada...
"Kok elo pake baju casual? Kita 'kan mau hunting tema nature."
"Alaminya gue ya kayak gini, El."
Letta beranjak dari duduknya. Mengambil tripod yang ada di samping kursi taman. Sengaja Fael meletakkannya di sana. Letta menyiapkan kamera dengan timer untuk mereka foto bertiga. Letta masih tetap di tengah. Menjadi pembatas di antara Fael dan Via.
"Keren banget fotonya. Gue berada di tengah-tengah kalian. Kayaknya gue emang selalu berada di antara kalian. Menjadi pembatas antara hubungan kalian. Ya 'kan, Vi?"
Via dan Fael saling berpandang. Letta masih asik melihat-lihat hasil jepretan dengan tripod. Tawa Letta lepas, namun sayang tawa itu hanya tawa yang dibuat-buat.
"Eh, kalian pernah berpikir tentang cinta tiga sudut nggak?"
Via dan Fael masih diam. Terbungkam dalam seribu bahasa.
"Liat gambar ini deh."
Letta mengeluarkan secarik kertas bergambar bangun datar segitiga.
Ia menjelaskan bahwa segitiga memiliki tiga sudut di mana setiap sudutnya harus disatukan oleh sebuah garis untuk membentuk sebuah bangun datar.
"Seandainya di sudut ini adalah kamu Fael, dan dua sudut ini adalah wanita yang sangat menyayangimu. Kamu akan pilih mana? Sahabat atau seseorang yang juga selalu ingin kamu harapkan kehadirannya untuk menemani kehidupanmu?"
"Letta..." Ucap Via lirih. Ia merengkuh pundak sahabatnya itu. Fael diam. Mata Letta terus menyusuri arti di dalam bola mata Fael. Mencari ketulusan dari sebuah jawaban.
"Jika aku memilih sudut ini dan menyatukannya dengan cinta. Aku rasa itu jauh lebih baik, daripada harus menyatukan sudut yang satunya dengan cinta untuk sebuah status melebihi persahabatan. Garis yang menyatukan sudut pertama dan sudut kedua karena perasaan hasilnya akan lebih lurus daripada garis yang menyatukan sudut pertama dan sudut ketiga."
"Fael..." Suara Via terdengar serak kala menyebutkan nama Fael.
Letta diam. Matanya memanas. Namun ia tahan untuk tidak berair. Senyum itu masih terus mengembang. Menjadi pemanis dalam kepahitan yang saat ini tengah Letta rasakan.
Letta bangkit dari tempat duduknya. Memeluk Via dengan begitu erat. Fael membuang pandangannya ke sembarang arah. Via menangis dalam rengkuhan itu. Tangannya melingkar semakin kuat di punggung Letta. Letta masih tersenyum. Dan sekarang tertawa lepas. Letta melepaskan rengkuhan itu. Tangannya meraih kedua tangan Fael. Menggenggamnya erat dan mengarahkannya menuju puncak kepala Letta. Melakukan satu gerakkan lembut. Mengelus rambut Letta.
"Gue harus pergi, guys." Letta membuka suaranya.
Fael menatap mata Letta. Membalas genggaman tangan Letta. Perlahan Letta melepaskan rengkuhan itu. Fael mencoba menahannya, namun senyuman Letta yang penuh harapan membuatnya luluh. Via menatap matanya, menyiatkan banyak tanya, kenapa? Kemana? Ada apa? Letta hanya tersenyum. Langkahnya perlahan berjalan mundur. Dan dengan cepat ia berlari. Berlari dengan begitu cepat. Menjauh dari Via dan Fael.
                                                                  ***
"Lllleeettttttaaaaa!!!!"
Via terbangun dari mimpi buruknya. Kepergian Letta yang sampai saat ini tak ia ketahui di mana membuatnya terus bermimpi akan keberadaan Letta. Bahkan keluarga Lettapun tidak tahu di mana Letta saat ini. Bukan hanya Via, Fael pun terus bermimpi tentang Letta. Rindu yang ada di hatinya sudah penuh mengisi setiap ruang di hatinya. Rindu itu kini menjadi sebuah rasa yang menyesakan. Rasa sayangnya pada Letta akan terus ada dan Fael terus menunggu sampai Letta kembali dan mengungkapkan semua yang ada di hatinya.
                                                               The End

Tidak ada komentar:

Posting Komentar