Pandanganku berjalan menyusuri sudut lapangan basket SMA
N 3. Mencari sosok yang mampu membuatku betah duduk berjam-jam di sini. Di tepi
lapangan melihat Luna memainkan bola basket dengan tidak begitu bagus
–menurutku–. Bermodus aku sedang menemani Luna sahabatku latihan basket
setidaknya aku bisa memperhatikan sang nomor punggung sebelas memainkan bola
basket di tangannya dan memasukannya ke ring.
Laki-laki itu datang. Laki-laki yang memiliki postur
tubuh lebih kecil dari pemain basket biasanya. Tapi menurutku dia tetap memilik
skill bermain yang bagus. Dia adalah Fathan. Pemain basket sekolahku. Laki-laki
yang aku kagumi sejak aku duduk di kelas X. Senyumnya sore ini menyapaku.
“Ikut main dong, Dhe.” Aku menggeleng. Ia tersenyum
kemudian pergi meninggalkan tasnya di sampingku. Seperti biasa.
Ku perhatikan caranya mengajari adik kelasnya bermain
basket. Skill-skill apa saja yang bisa Luna dan kawan-kawan lakukan. Sekali
lagi ku katakan, dia begitu manis.
Seusai mengajari adik kelasnya, para senior mengadakan
pertandingan kecil-kecilan atau sparing. Sampai detik ini aku masih belum bisa
menemukan alasan yang tepat kenapa aku bisa menyukai sosok Fathan. Karena ia
pemain basket? Tidak. Aku tidak suka olahraga. Karena ia ganteng? Tidak. Ganteng
itu relative. Karena ia ramah? Bisa jadi. Tapi, kami tak terlalu sering
bertegur sapa kecuali saat ada latihan basket.
Dia berlari ke arahku. Tidak, bukan karena ia mencariku.
Ia ingin mengambil botol air mineralnya yang terletak di sampingku.
“Mau sampai kapan jadi penonton?” Aku tersenyum kemudian
tertunduk.
Ia merogoh tasnya mencari sesuatu yang aku juga tidak tau
itu apa. Sampai akhirnya sebuah boneka kayu jatuh dari tasnya yang tersangkut
dengan handuknya. Perhatianku tertuju pada boneka itu. Seorang pemain basket
dengan wajah yang tidak terlalu jelas ukirannya. Spontan tanganku terjulur
untuk mengambilnya.
“Keren, kan?”
“Abang yang buat?” Tanyaku meragu.
Iya tersenyum kemudian menggeleng. “Seseorang yang
memberikannya untukku. Jika kamu mau, kamu bisa menyimpannya.”
“Bagaimana bisa aku memilikinya sementara ini pemberian
dari seseorang untuk abang. Aku yakin ini pasti begitu berarti untuk abang.”
Fathan menarik boneka itu dari tanganku. Dia menggeleng
dengan senyum yang entah mengapa tak semanis biasanya. Ada suatu garis
kesedihan di baliknya.
“Dia pernah menjadi hal terindah dalam hidupku. Rambut
panjangnya, mata indah berwarna coklat yang mampu meninggalkan sebuah rasa yang
amat dalam di sini. Dia memberikan ini dengan alasan ini adalah reward buatku
karena sudah bermain dengan baik. Namun, tak lama dia pergi meninggalkanku
tanpa pamit, atau salam perpisahan. Sampai sekarang aku juga nggak tau dia di
mana. Ambillah ini, Dhea. Dengan menyimpan ini, sama saja dengan aku berjalan
di tempat. Aku ingin maju, Dhe.”
Aku meraih boneka itu. Memperhatikannya lekat-lekat.
Bagaimana bisa aku menghilangkan tentang wanita itu di kehidupan Fathan dengan
cara aku menyimpan ini. Wanita itu sudah begitu memiliki nama di hati Fathan.
Aku tersenyum kemudian mengangguk pasti.
***
Sudah hampir dua minggu aku tidak melihat Fathan di
sekolah ataupun di lapangan basket. Dia menghilang begitu saja. Logikanya,
sebesar apa sih sekolah ku sampai aku tidak bisa menemukannya. Aku merogoh saku
rokku. Mengambil boneka kayu pemberian Fathan. Memandangnya dengan sangat
dalam. Boneka ini benar-benar membuatku semakin rindu sosok Fathan.
Berhembus kabar, bahwa Fathan mendadak pindah ke
Jogjakarta. Ia akan melanjutkan 3 bulan terakhir sekolahnya di Kota Pendidikan
itu. Mendadak ya sangat mendadak. Akupun bingung kenapa begitu tiba-tiba. Ahhh,
entahlah. Aku menggenggam boneka kayu itu lebih kuat lagi. Aku geram.
“Apa gunanya kau memberikan boneka ini setelah itu kau
pergi dari kehidupanku. Sama seperti wanita yang kau sayangi, yang menghilang
setelah boneka ini jadi milikmu. Meninggalkan jejak yang begitu jelas. Dan
memperjelas, bahwa penantian ini tiada arti.”
END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar