Minggu, 28 Juni 2015

Usai Sudah...



  
          Aku menutup mataku kala rintik hujan membasahi wajahku. Begitu sejuk dan aku terus membiarkan hujan itu membasahiku. Perlahan membiarkanku menerawang jauh. Mengingat seorang laki-laki yang dulu pernah bersemayam di dalam hati. Kemudian menghilang, tanpa kabar, tanpa kepastian.
***
            “Lo sebenarnya masih nunggu Wahyu nggak sih?” Tanya Kiki –sahabatku-.
            “Gue sendiri bingung, Ki. Gue nggak ngerti sama perasaan gue sendiri.”
            “Kenapa? Gara-gara Adit?”
            Aku diam.
            “Dulu, lo perjuangin hati lo di depan sahabat-sahabat lo. Lo rela berantem sama kita demi pertahanin hubungan lo sama Wahyu. Sekarang apa? Lo sama dia nggak ada kabar, terus bubar gitu aja.”
            Aku tetap diam meski dimaki oleh sahabatku. Jujur, nggak ada yang mau seperti ini sebenarnya. Aku nggak mau lepas dari Wahyu. Tapi, semua memang salahku. Hanya aku yang tidak berusaha untuk bertahan sebentar saja untuk mengerti keadaan Wahyu. Bayangkan, wanita mana yang akan tahan jika tidak mendapati kabar dari pacarnya dengan keadaan mereka terpisah jarak ribuan kilometer. Seiring dengan itu, kabar lain muncul.
            Ada wanita lain yang tengah dekat dengannya. Percaya atau tidak, yang jelas aku mulai goyah. Semuanya hadir begitu saja, tepat di saat aku mengemis kabar dari dia. Tepat di saat aku gila akan kehilangan keadaan dia di sana. Salah, kalau aku khawatir? Salah, jika aku merasa akan menyerah ketika aku dipermainkan? Aku hanya ingin kepastian. Itu aja.
            “Lo nggak pernah tau gimana sakitnya jadi gue, Ki.”
            “Ngerti. Gue ngerti, Luna. Tapi, apa salahnya lo dengerin dulu penjelasan dari dia? Hey, kalian berkomitmen untuk menjalin hubungan jarak jauh. Lo siap. Dia juga. Itu tandanya kalian siap hadapin konsekwensinya. Dewasa sedikit, Lun.”
***
            Aku beranjak dari sebuah sofa yang asing buatku. Kepalaku terasa berat. Sampai akhirnya, mataku mulai terbuka penuh dan menyadari, aku sedang tidak berada di rumahku.
            “Hai, Kak.” Sapa laki-laki bertubuh sedang yang aku tau namanya Heru. Dan dia adalah adiknya Wahyu.
            “Ha..aaii, Heru.” Jawabku dengan wajah yang menyiratkan tanda tanya.
            “Nggak usah heran, Kak. Kakak di rumah aku. Tadi, abang nemuin kakak pingsan di tepi jalan. Nih, minum dulu tehnya, Kak. Aku tinggal ya.”
            Aku menyeruput tehku. Aku masih termenung melihat kepergian Heru yang kini diganti kehadiran Wahyu dihadapanku.
            “Seusai hubungan kita, jadi hobby main hujan, ya?”
            Aku tak merespon ucapannya.
            “Apa kabar?” Tanyanya dengan senyuman hangat. Senyuman yang aku rindukan.
            “Baik.”
            “Sebaikk seperti saat bersamaku?”
            Tuhan, pertanyaan ini. Bolehkah aku jujur bahwa sebenarnya aku kehilangan dia. Bahwa sebenarnya aku butuh dia? Aku ingin dia. Aku ingin ada di sampingnya saat ini.
            “Tidak. Aku tidak pernah merasa senyaman saat bersama kamu. Aku tidak pernah merasa lebih baik, kecuali sama kamu. Puas?”
            “Kamu pikir aku senang seperti ini? Kehilangan kamu untuk kedua kalinya. Terus tiba-tiba aku tau kamu dekat sama Aditya, sahabatku sendiri. Sementara aku disini, masih berharap kamu bisa kembali. Tapi, apa?”
            Aku menatap wajahnya yang saat ini menggebu mengungkapkan yang ada di hatinya. Wajah yang biasanya bersikap dingin, kini begitu keras. Wajahnya menggambarkan bahwa ia benar-benar kehilangan. Akhirnya aku menyadari satu hal. Bahwa aku telah memilih pilihan yang salah. Bahwa aku telah meninggalkan sesuatu yang seharusnya tak patut untuk ku tinggalkan.
                                                                        END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar