Aku teriak kegirangan saat bola yang
ku giring berhasil membobol gawang lawan. Temanku Willy yang saat ini menjadi
rivalku hanya dapat memandangku dengan wajah datar. Aku tau apa yang ada
dipikirannya.
Rumahku kembali ramai. Seruan demi
seruan dari mulutku terus menjadi backsound permainan skill ngep-pes di
laptopku. Sejujurnya, ini bukan suasana hatiku sebenarnya. Aku berpura-pura
larut dalam keasikan game untuk menetralisir degup jantung yang tidak
biasa.#eeaa
Hari ini, tepatnya, sore ini.
Seseorang yang telah menghilang dari kehidupanku selama tiga tahun mau mampir
ke rumahku. Lebih tepatnya mengambil pesanannya yang sengaja Khodri –temanku–
titipkan di rumahku. Entah maksud terselubunga apa Khodri melakukan hal itu.
Aku mengiyakan. Sedikit modus
memang. Karena jujur saja, aku merindukan wajah Jepangnya. Meski ada sedikit
rasa canggung. Wajarlah. Namanya juga mantan. Ya, begini jadinya.
Jam dinding rumahku menunjukkan
pukul setengah empat sore. Harusnya Haruka sudah sampai di rumahku. Tapi, belum
ada sapaan yang menyeru dari luar memanggil namaku.
“Assalamua’alaikum. Alldii…”
Deg. Ku dengar suara khasnya
memanggil namaku. Degup jantungku jadi tidak karuan. Willy mulai melirikku. Aku
berusaha untuk larut dalam gameku.
Teriakkan itu semakin jelas. Kasian
juga membiarkan cewek putih dan cantik seperti dia lama-lama di luar. Alhasil,
aku meminta adikku untuk menyuruhnya masuk. Sementara itu, aku lebih mem-pause-kan gameku dan berlalu ke
kamar untuk mengganti pakaianku.
Di kamar, aku lebih banyak mengumpat
diriku. Hayyoollah, Aldi, jangan jadi pengecut. Keluar kemudian berikan kartu
ini padanya, berbincang-bincang sedikit, dan usir dia. Eitss, ya nggaklah.
Manaberani aku mengusir cewek cantik seperti dia. Jangankan mengusir, berbicara
saja aku masih takut. Ahh, cemen.
Aku memutuskan untuk segera keluar.
Mengenakan celana yang lumayan sopan dan atasan sweater kesayanganku,
mengumpulkan keberanian yang cukup, aku keluar menemui dia.
Terkesan berlebihan memang.
Maksudku, kenapa begitu sulit aku mengontrol diriku saat akan bertemu dengan
Haruka. Aku terlalu gerogi untuk hanya sekedar menyapa atau memberikan barang
titipan Khodri sama dia. Apa aku…apaa… aku masih… ah sudahlah. Lupakan
ekspetasi burukmu itu, Aldi.
“Nih, Ka.” Ucapku seadanya. Sedikit
kikuk, aku mencoba mencairkan suasana dengan tersenyum.
“Thanks, Di.”
Di tengah percakapan yang singkat
itu, ada suara lain yang menginterupsi. Mengacau karena cemprengnya suara dia
dan ngebassnya suara Willy.
“Kau nggak kangen dengan Haruka,
Di?” ejek Sunny. Sahabatnya.
“Kangenlah. Udah tiga tahun ndak
ketemu. Sapa lah, Di. Tanya apa kabar, Haruka.” Timpal Willy.
Sial. Dia pikir gampang apa
ngeluarkan kata-kata itu. Cuman bilang “nih, Ka” aja aku harus nyiapin waktu
sejam. Okee, ini terlalu berlebihan.
Kegaringan suasana seketika berakhir
saat Haruka memutuskan untuk pulang. Ia berpamitan dengan ibuku. Kemudian
memacu kencang motornya meninggalkan rumahku.
Aku membuang nafasku panjang. Ada
kelegaan yang aku rasakan. Entah lega karena berakhirnya suasana yang begitu
kikuk. Atau lepasnya perasaan rinduku
yang sudah aku tahan selama tiga tahun.
Haruka Nimura. Gadis keturunan
Jepang yang masuk ke kehidupanku saat kelas dua satu SMP semester dua.
Kehadirannya di sekolahku membuat heboh satu sekolah. Selain cantik, keramahan
dia membuat siapa saja cowok di dekatnya luluh. Termasuk aku.
Banyak cowok di sekolahku yang
berebut ingin menjadi pacarnya. Termasuk aku. Berniat untuk mencoba
mengungkapkan tanpa ada harapan akan diterima, aku tembak dia. Aku bilang aku
suka sama dia. Dan tanpa disangka, aku diterima. Rasa sukaku dibalas olehnya.
Sayangnya, aku masih laki-laki yang
pengecut. Terlalu takut jika harus berhadapan dengan dia. Aku hanya berani
lewat sms. Mengingat kepengecutanku, aku memilih untuk mengakhiri hubunganku
dengan dia. Aku membiarkan dia pergi, karena aku bukan laki-laki yang pantas
untuk dia. Aku bukan laki-laki yang bisa buat dia bahagia. Masih banyak
laki-laki yang lebih pantas untuk dia yang mungkin saat ini masih berjuanguntuk
mendapatkan cintanya.
Tiga tahun berlalu. Aku pikir,
setelah putus dengannya aku benar-benar bisa move on. Mengingat karena kejadian
ini yang masih berhasil buak jauntungku berdegup di batas tidak normal, aku
mengambil kesimpulan bahwa aku masih sangat menyukainya. Aku masih
menyayanginya dan aku masih berharap sama dia. Tapi, rasa sayang ini biarlah
aku simpan untuk masa depan dia yang cemerlang. Ku biarkan dia bahagia sama
pasangannya. Ku biarkan dia bahagia sama masa depan yang Tuhan kirim untuknya.
Dan pertemuan sore itu, aku anggap
sebagai pertemuan terakhir. Karena setelah ini aku akan melanjutkan studi ke
Solo. Mencoba menjauh dari kota dimana aku dan dia dipertemukan dengan harapan
aku bisa move on dan ikut bahagia sama seperti dia.
END
Luarbiasa
BalasHapus