Minggu, 28 Juni 2015

Japanese Forgotten



         Aku teriak kegirangan saat bola yang ku giring berhasil membobol gawang lawan. Temanku Willy yang saat ini menjadi rivalku hanya dapat memandangku dengan wajah datar. Aku tau apa yang ada dipikirannya.
            Rumahku kembali ramai. Seruan demi seruan dari mulutku terus menjadi backsound permainan skill ngep-pes di laptopku. Sejujurnya, ini bukan suasana hatiku sebenarnya. Aku berpura-pura larut dalam keasikan game untuk menetralisir degup jantung yang tidak biasa.#eeaa
            Hari ini, tepatnya, sore ini. Seseorang yang telah menghilang dari kehidupanku selama tiga tahun mau mampir ke rumahku. Lebih tepatnya mengambil pesanannya yang sengaja Khodri –temanku– titipkan di rumahku. Entah maksud terselubunga apa Khodri melakukan hal itu.
            Aku mengiyakan. Sedikit modus memang. Karena jujur saja, aku merindukan wajah Jepangnya. Meski ada sedikit rasa canggung. Wajarlah. Namanya juga mantan. Ya, begini jadinya.
            Jam dinding rumahku menunjukkan pukul setengah empat sore. Harusnya Haruka sudah sampai di rumahku. Tapi, belum ada sapaan yang menyeru dari luar memanggil namaku.
            “Assalamua’alaikum. Alldii…”
            Deg. Ku dengar suara khasnya memanggil namaku. Degup jantungku jadi tidak karuan. Willy mulai melirikku. Aku berusaha untuk larut dalam gameku.
            Teriakkan itu semakin jelas. Kasian juga membiarkan cewek putih dan cantik seperti dia lama-lama di luar. Alhasil, aku meminta adikku untuk menyuruhnya masuk. Sementara itu,  aku lebih mem-pause-kan gameku dan berlalu ke kamar untuk mengganti pakaianku.
            Di kamar, aku lebih banyak mengumpat diriku. Hayyoollah, Aldi, jangan jadi pengecut. Keluar kemudian berikan kartu ini padanya, berbincang-bincang sedikit, dan usir dia. Eitss, ya nggaklah. Manaberani aku mengusir cewek cantik seperti dia. Jangankan mengusir, berbicara saja aku masih takut. Ahh, cemen.
            Aku memutuskan untuk segera keluar. Mengenakan celana yang lumayan sopan dan atasan sweater kesayanganku, mengumpulkan keberanian yang cukup, aku keluar menemui dia.
            Terkesan berlebihan memang. Maksudku, kenapa begitu sulit aku mengontrol diriku saat akan bertemu dengan Haruka. Aku terlalu gerogi untuk hanya sekedar menyapa atau memberikan barang titipan Khodri sama dia. Apa aku…apaa… aku masih… ah sudahlah. Lupakan ekspetasi burukmu itu, Aldi.
            “Nih, Ka.” Ucapku seadanya. Sedikit kikuk, aku mencoba mencairkan suasana dengan tersenyum.
            “Thanks, Di.”
            Di tengah percakapan yang singkat itu, ada suara lain yang menginterupsi. Mengacau karena cemprengnya suara dia dan ngebassnya suara Willy.
            “Kau nggak kangen dengan Haruka, Di?” ejek Sunny. Sahabatnya.
            “Kangenlah. Udah tiga tahun ndak ketemu. Sapa lah, Di. Tanya apa kabar, Haruka.” Timpal Willy.
            Sial. Dia pikir gampang apa ngeluarkan kata-kata itu. Cuman bilang “nih, Ka” aja aku harus nyiapin waktu sejam. Okee, ini terlalu berlebihan.
            Kegaringan suasana seketika berakhir saat Haruka memutuskan untuk pulang. Ia berpamitan dengan ibuku. Kemudian memacu kencang motornya meninggalkan rumahku.
            Aku membuang nafasku panjang. Ada kelegaan yang aku rasakan. Entah lega karena berakhirnya suasana yang begitu kikuk. Atau  lepasnya perasaan rinduku yang sudah aku tahan selama tiga tahun.
            Haruka Nimura. Gadis keturunan Jepang yang masuk ke kehidupanku saat kelas dua satu SMP semester dua. Kehadirannya di sekolahku membuat heboh satu sekolah. Selain cantik, keramahan dia membuat siapa saja cowok di dekatnya luluh. Termasuk aku.
            Banyak cowok di sekolahku yang berebut ingin menjadi pacarnya. Termasuk aku. Berniat untuk mencoba mengungkapkan tanpa ada harapan akan diterima, aku tembak dia. Aku bilang aku suka sama dia. Dan tanpa disangka, aku diterima. Rasa sukaku dibalas olehnya.
            Sayangnya, aku masih laki-laki yang pengecut. Terlalu takut jika harus berhadapan dengan dia. Aku hanya berani lewat sms. Mengingat kepengecutanku, aku memilih untuk mengakhiri hubunganku dengan dia. Aku membiarkan dia pergi, karena aku bukan laki-laki yang pantas untuk dia. Aku bukan laki-laki yang bisa buat dia bahagia. Masih banyak laki-laki yang lebih pantas untuk dia yang mungkin saat ini masih berjuanguntuk mendapatkan cintanya.
            Tiga tahun berlalu. Aku pikir, setelah putus dengannya aku benar-benar bisa move on. Mengingat karena kejadian ini yang masih berhasil buak jauntungku berdegup di batas tidak normal, aku mengambil kesimpulan bahwa aku masih sangat menyukainya. Aku masih menyayanginya dan aku masih berharap sama dia. Tapi, rasa sayang ini biarlah aku simpan untuk masa depan dia yang cemerlang. Ku biarkan dia bahagia sama pasangannya. Ku biarkan dia bahagia sama masa depan yang Tuhan kirim untuknya.
            Dan pertemuan sore itu, aku anggap sebagai pertemuan terakhir. Karena setelah ini aku akan melanjutkan studi ke Solo. Mencoba menjauh dari kota dimana aku dan dia dipertemukan dengan harapan aku bisa move on dan ikut bahagia sama seperti dia.
                                                                        END

1 komentar: