Minggu, 23 Juli 2023

Reuni SMA - PROLOG


 - Aku nggak bisa kasih jawabannya sekarang. Datang ke Reuni SMA nanti, kamu akan tau aku jawab apa." - Damar

Gue sibuk mencari sosok itu hingga ke belakang panggung. Nggak tau alasannya apa, intinya gue harus segera nemuin dia. Gue harus ungkapin hal yang ngeganjel di hati gue selama ini. Toh, kalau gue liat dari sikap dia selama ini dia pasti masih nyimpen perasaan yang sama ke gue.

Seolah waktu berpihak ke gue, gue nemuin dia yang lagi berdiri menatap kolam ikan di taman sekolah. Ya, gue yakin itu dia walau cuman punggungnya yang gue lihat dan dengan penerangan yang minim. Gue mendekat perlahan ke arah pemilik tubuh tegap itu.

"Mar..."

Damar membalikkan tubuhnya.

"Loh, Vi, kok lo bisa tau gue di sini?"

"Nyarilah. Lagian lo ngapain di sini? Bukannya nikmatin acara," basa-basi.

"Nggak tau, bosen aja gue. Kita panitianya, jadi gue udah tau apa-apa aja acaranya. Bosen."

Damar dan gue terkekeh kecil. Gue menghela nafas sesantai mungkin. Berjalan perlahan mendekat ke arah Damar. Dan sekarang posisi gue berada tepat di samping Damar.

"Lo langsung berangkat?"

"Nggaklah. Belum daftar ulang juga. Lo sendiri gimana? Ambil beasiswa Semarang atau daftar universitas lain?"

"Hmm, daftar universitas lain. Gue bakal usahain kuliah di sini. Kasian nyokap sendirian ntar."

Damar mengangguk. Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Gue lagi nyari waktu yang tepat untuk bisa ungkapin apa yang jadi tujuan gue nemuin dia malam ini. Agak tolol memang, seorang cewek memutuskan buat ngungkapin perasannya duluan. PD banget kalau cowok yang di samping gue ini juga nyimpan perasaan yang sama ke gue.

"Mar, gimana kalau mulai malam ini kita perbaiki semuanya?"

"Perbaiki apa?"

"Hubungan kita,"

"Maksud lo?"

"Gue tau, dulu gue salah. Gue udah ngekhianatin lo. Dan dari apa yang kita lewatin beberapa waktu terakhir ini, kalau bisa, lo mau nggak kasih kesempatan sekali lagi buat gue? Kita..."

"Vi, jangan konyol. Lo ngungkapin perasaan ke gue? Lo dalam keadaan sadar 'kan?"

Respon yang tidak terduga. Nada Damar penuh dengan keheranan sekaligus terdengar seperti 'mengejek'.

Malam ini memang hanya ada lampu sorot dari lampu taman. Dan samar-samar gue melihat binar mata Damar tergambar keraguan. Gue jadi merasa bersalah. Gue merasa udah salah langkah karena mutusin buat ungkapin perasaan gue, mesti belum semuanya.

"Konyol banget ya gue, bisa-bisanya gue terang-terangan nyatain perasaan gue ke lo. Sorry,"

Ovi, lo adalah cewek ter-goblok di dunia. Lo udah jatuhin harga diri lo sendiri. Setelah ini, lo musti lari ke belahan dunia lain, dan nguburin diri lo sendiri.

Damar beranjak dari posisinya. Mundur beberapa langkah dan membalikkan tubuhnya.

"Ok, nggak apa-apa, lo bisa tinggalin gue. Anggep aja gue nggak ada ngomong apa-apa," lanjut gue.

Gue beraniin buat menatap punggung Damar yang sekarang berada beberapa sentimeter di belakang gue.

"Vi, jujur, posisi lo itu nggak akan pernah tergantikan oleh siapapun. Lo adalah cinta sekaligus luka pertama buat gue. Sayangnya, gue nggak bisa gitu aja nimbulin perasaan gue lagi, Vi. Gue emang nyaman sama lo. Lo masih jadi seseorang yang sama saat gue kenal sama lo. Tapi, lo juga adalah alasan kenapa gue jauh berubah kayak sekarang. Gue akui, susah untuk ngedapetin sosok cewek kayak lo. Tapi, gue belum bisa ngasih jawabannya. Belum lagi, kita sebentar lagi bakal pisah. Gue nggak yakin kalau lo bisa pegang kepercayaan gue lagi."

Gue tau, Mar. Gue tau sebenernya lo bakal nolak gue 'kan? Ya, Damar. Lo bener. Lo emang udah nggak bisa balik sama gue, mengingat apa yang udah gue lakuin ke lo 2 tahun silam. Dan emang gue yang goblok, Damar. Ngungkapin perasaan yang harusnya nggak gue ungkapin dan harusnya gue sadar gue siapa.

Isi kepala gue berisik. Menyalahkan diri gue sendiri.

Gue denger suara Damar terkekeh ringan.

"tapi, Vi, kita masih punya waktu buat sama-sama sebelum gue berangkat ke Jogja. Aku belum bisa kasih jawaban sekarang. Datang di Reuni SMA nanti, kamu akan tau aku jawab apa."

Damar membalikkan tubuhnya. Kalimat itu berhasil buat seluruh darah di tubuh gue yang ngalir udah agak tenang, tiba-tiba berdesir hebat. Alirannya begitu cepat seiring dengan pacu detak jantung gue. Gue sampe nggak berani natap mata dia. Damar kasih waktu buat gue?

Seenggaknya sebelum dia berangkat ke Jogja, gue masih bisa bareng dia. Dan buktiin yang terbaik supaya di Reuni SMA nanti dia bisa kasih jawaban buat gue.

*



Reuni SMA - BLURB

 


Cinta lama belum kelar begitulah kira-kira gue deskripsiin cerita ini. Ini adalah kisah gue yang sedang membawa janji konyol dari cinta pertama gue di reuni SMA nanti. Kesempatan kedua atau mungkin penebus kesalahan gue. Damara Fathur Malik, cinta pertama dan si pemilik janji itu. Dia berjanji akan kasih gue kesempatan kedua dan jadiin gue pacar dia lagi di reuni SMA nanti. Kira-kira nanti, Damara akan nepatin janji dia atau nggak ya? Secara gue jaga janji ini empat tahun lebih dan rela jadi jomblo demi bisa balikan sama dia? Dan apakah cinta lama belum kelar ini berubah menjadi cinta lama bersemi kembali? Ikuti kisah gue menjemput janji konyol gue yaaa...

Sabtu, 12 Mei 2018

Namanya Naumi



Namanya Naumi. Gadis manis yang ku temui dua tahun yang lalu. Penyuka sastra dan hobby menulis. Aksara dalam puisinya berhasil membuatku mengaguminya. Tawa cerianya memancing ku untuk mengenalnya lebih jauh.
***
Biar ku ingat dan ku ceritakan ulang.

Kami bertemu di saat aku bertugas mengamankan sebuah acara bedah buku. Acara yang lumayan besar dengan dia sebagai narasumber.  Apa yang ku ketahui tentang sastra? Apa yang aku pahami dari sajak? Apa yang dapat ku kagumi dari rangkaian kata puitis? Membosankan. Itu kesanku dulu. Tapi kau tahu, senandung Naumi menghancurkan persepsi burukku.

Suara syahdu saat ia membacakan puisi itu dengan alunan gitar akustik, menarik minat ku pada sastra. Tidak untuk semua sastra. Hanya sastra yang tercipta dari jari mungilnya saja. Di detik pertemuan itu, aku ingin menyelami tulisanmu lebih dalam lagi.

"Terima kasih teman-teman atas kehadiran kalian pada bedah buku kali ini. Saya tidak pernah menyangka bahwa buku Arti Sebuah Nama memiliki peminat sebanyak ini. Saya akhiri bedah buku kali ini, semoga kita bertemu di acara selanjutnya. Assalamualaikum wr.wrb."

Peserta bedah buku riuh semangat menjawab ucapan salamnya. Ku lihat langkah kakinya meninggalkan panggung. Dan berjalan ke arahku. Bukan untuk menghampiriku, kebetulan mobilnya berada tak jauh dari tempatku berdiri.

Bayangnya mendekat. Dengan sigap ku bukakan pintu mobilnya dan ku lihat senyum manis itu lebih dekat.

"Naumi, aku pengagum karyamu, boleh aku meminta tanda tanganmu?" Seorang polisi sepertiku berkata hal bodoh dengan gaya kikuk di depan gadis yang disukainya. Gila.

"Harus ku tanda tangan dimana?" Ujarnya.

Aku terdiam. Sial. Aku tidak punya apa-apa saat ini. Tidak mungkin dia menyoret tanda tangannya di seragam dinasku.

"Begini saja, besok aku akan ada seminar di kampus Islam negeri sekitar sini. Kamu bisa datang dan membawa buku koleksimu untuk ku tanda tangani." Ujarnya sembari tersenyum. Dan untuk kesekian kali, aku mengangguk lucu -bodoh lebih tepatnya-.
***
Beruntung keesokan harinya aku tidak dapat tugas piket di pagi hari. Aku bersiap untuk pergi ke seminar Naumi. Aku memilih bergaya casual pagi ini. Tak lupa aku mencari beberapa buku hasil karyanya. Alasanku untuk mendapat tanda tangannya dan mungkin kontaknya.

Aku berjalan ke salah satu toko buku. Biarlah telat, aku tau jika acara tidak akan berlangsung tepat waktu.

Aku mengitari beberapa rak buku. Dan ku lihat jajaran hasil karya tulisnya, menjadi karya dengan penjualan terbaik. Hebat. Aku mengambil salah satu karyanya Tentang Aku. Ku lihat blurb (istilah untuk tulisan di belakang novel) buku itu. Penyajian auto biografi dalam sebuah sajak. Menceritakan bagaimana sosoknya -mungkin-. Buku itu menjadi pilihanku.

Aku berjalan menuju aula di kampus itu. Sepertinya masih ada waktu. Karena ku lihat masih banyak orang yang duduk manis di kursinya. Sudah pada sesi bedah buku rupanya. Dikedatanganku Naumi tepat tengah membahas inti cerita bukunya yang berjudul Tentang Aku.

"Buku ini gaya penulisannya gelap. Konflik yang termenerus muncul dan klimaksnya pergejolakkan konflik pada dirinya sendiri. Jika ditanya buku ini based on true story or not. The answers is 'ya'. But, It's not about Me. Cerita ini tentang seorang sahabat saya, yang tanpa saya sadari menyembunyikan dirinya sebenarnya dari kami sahabatnya. Intinya ini seperti auto biografi seseorang, tapi dikemas dalam tulisan yang nyaman untuk dibaca kalian para remaja."

Aku memperhatikan novel yang baru saja aku beli. Dari penuturan nya, novel ini menarik untuk ku baca. Terlepas dari ekspetasi ku yang berpikir ini adalah kisahnya dan realisasinya adalah bukan. Aku tetap akan membaca novel itu.

Sesi bedah buku berakhir. Lanjut ke sesi bagi mereka yang ingin mendapatkan tanda tangan Naumi di novel koleksi mereka. Harus kah aku join? Baiklah, tidak ada yang tau jika aku adalah seorang abdi negara.

"Hai, Naumi." Sapaku.

Dia menatap ku heran. Antara mengenalku atau tidak.

"Aku adalah anggota polisi yang kemarin ada di workshop mu. Kau ingat?" Ujarku sedikit berbisik.

"Ah, iya. Anda tampak berbeda." Ia tersenyum.

"Naumi bolehkah aku menjadi penggemar tulisanmu yang sedikit lebih dekat denganmu? Sekedar berteman." One shoot.

Spontan kalimatku itu keluar dari bibirku. Sedikit terkejut. Aku pikir kata-kata itu hanya ada dalam pikiran ku tadi. Ah, sial.

Dia kembali tersenyum. Tidak menjawab, dan mengembalikan novel yang telah ia tanda tangani padaku. Sebuah penolakan? Baiklah. Mungkin aku terlalu frontal.

Aku berjalan menuju motorku dengan sedikit rasa kecewa dan sedikit merutuki kebodohan ku tadi. Aku yakin itu penolakan. Tapi aku tidak merasa terlalu sedih. Hatiku masih ditutupi rasa penasaran untuk mencari tahu tentang dia lebih jauh. Aku bisa mencoba cara lain setelah ini.
***
Aku duduk di tepian tempat tidurku. Waktu menunjukkan jam satu malam. Piketku usai jam 12 tadi. Bergegas ku pulang, dan mengistirahatkan badanku. Ingin ku baca novel Naumi yang baru saja aku beli.

Di halaman pertama, ku dapati tanda tangannya. Tepat di halaman judul. Naumi. Hanya itu tak ada pesan lain. Baiklah, ini positif penolakan. Aku membuka lembar selanjutnya hingga sampai ke isi. Ku selami setiap kalimat yang ia rangkai. Aku menyukai tulisannya. Tidak terlalu berat dan tidak hyper bola.

Cerita yang ia kemas dalam buku itu berhasil membuatku larut ke dalamnya. Tokoh "aku" yang menjadi peran utama dalam cerita itu seolah nyata. Pertentangan tokoh "aku" dan sang ibu yang dibuat dengan karakter egois yang kuat. Ditutup dengan gejolak kebencian tokoh "aku" pada dirinya sendiri. Kebencian atas dasar kenyataan yang ia benci rupanya ada pada dirinya. Anak dari seorang pelacur.

Aku berada di halaman terakhir novel itu. Aku berhasil menyelesaikan novel itu hanya dalam waktu satu jam setengah. Dan tepat di halaman terakhir, ku lihat deretan angka yang ditulis menggunakan pena. Ada pesan di sana.
'kita berteman' dua kata dan deretan nomor ponsel. Aku simpulkan itu jawaban Naumi dari ajakan ku tadi siang.
***
Berawal dari kekaguman ku akan tulisannya. Akhirnya kami dekat bahkan memutuskan untuk menjalin sebuah hubungan yang serius. Melewati proses pendekatan yang cukup lama. Aku dan Naumi berada di titik serius dalam menjalani hubungan. Satu tahun setengah aku dan Naumi bersama. Menghabiskan waktu dan berbagi cerita. Sayang, selama satu setengah tahun ini, aku merasa Naumi belum serius terhadapku. Masih ada sisi gelap dari dirinya yang belum aku ketahui. Seiring dengan aku yang belum tau latar belakang nya.

Naumi selalu berkata, bahwa ia kini tidak lagi memiliki keluarga. Yang aku tahu, ia hidup seorang diri di sebuah rumah kontrakan berukuran sedang di tepian kota. Ia tidak pernah mau bercerita tentang bagaimana keluarganya. Yang aku tahu, kedua orang tuanya telah lama meninggal. Dan sang nenek yang meninggal tiga tahun yang lalu. Tepat sebelum aku mengenalnya.

Aku mencoba bersabar untuk tidak memaksanya terus menerus. Meski kedua orang tuaku terus mendesak ku mencari tahu lebih dalam tentang dirinya. Aku bimbang. Di saat orang tuaku perlahan memintaku menjauhi Naumi, namun hati dan pikiranku merasa aku perlu mendampingi Naumi. Terlepas dari rasa sayangku, aku merasa Naumi adalah sosok yang harus aku jaga dan tidak bisa ku lepas begitu saja.

Aku hanya perlu waktu sedikit lebih lama. Membiarkan nya merasa nyaman. Atau mungkin memilih untuk meyakini keluargaku bahwa Naumi adalah anak dari keturunan baik-baik.
***
"Yo, bagaimana kabar orang tua mu?" Tanya Naumi membuka percakapan kami sore itu.

"Baik." Jawabku singkat.

"Kenapa kau tidak menuruti kata orang tuamu saja?"

"Maksudmu?"

"Tinggalkan aku."

"Kenapa?"

"Itu yang diinginkan orang tuamu. Mereka berhak menginginkan kamu memiliki pendamping hidup yang baik, Teo."

"Tidak. Aku hanya perlu menunggu sedikit lebih lama lagi."

"Untuk apa, Yo? Percuma. Semua sudah aku ceritakan. Aku tidak memiliki orang tua lagi. Nenek ku sudah meninggal. Aku sudah menceritakan semuanya, dan orang tuamu tetap tidak percaya akan hal itu. Jadi untuk apa bertahan?!"

"Naumi, Kita bukan anak kecil lagi. Aku capek harus memulai hubungan yang baru lagi. Aku nyaman dengan kamu. Sabar.  hanya perlu meluluhkan hati orang tuaku, untuk kita. Terserah bagaimana latar belakang keluarga mu, aku nggak perduli. Aku..."

"Sekalipun aku anak dari seorang pelacur?!" Kalimat itu dengan cepat memotong kalimatku. "Aku anak seorang pelacur, Teo! Aku tidak tahu siapa ayahku! Dan aku benci ibuku!"

Aku terdiam. Naumi menangis. Tangisan yang aku yakin sudah sejak lama ia pendam.

Aku mencoba merengkuh tubuhnya yang melemah. Namun ia menolak. Selangkah ia mundur menjauhi ku.

"Aku benci akan diriku sendiri, Yo. Aku anak dari seorang pelacur. Yang bahkan aku tidak tau siapa ayahku. Aku malu. Aku memilih mengubur diriku sendiri dan lahir menjadi aku yang baru. Tidak ada yang tau siapa diriku sebenarnya. Aku yang cuman bermimpi akan menemukan hidup bahagia tanpa bayang-bayang ibu ku yang bekerja sebagai wanita penghibur."  Isaknya sedikit mereda. "Teo, aku bahagia takdir sempat mempertemukan aku dengan kamu yang aku pikir aku bisa hidup dengan kamu tanpa terusik masa lalu kehidupan aku. Tapi ternyata salah. Aku tidak bisa menghabiskan masa tuaku bersama orang yang aku sayang."

"Naumi, tentang siapa dirimu itu aku tidak pernah perduli. Aku hanya perlu waktu untuk meyakinkan orang tuaku bahwa pilihanku itu yang terbaik. Aku jatuh cinta dengan apa yang aku lihat saat pertama kali aku bertemu kamu. Bukan dari cerita masa lalumu bahkan itu yang terburuk sekalipun."

Ku rengkuh tubuhnya dengan kuat. Aku berusaha membuatnya tenang. Aku tau ini berat untuk dirinya. Wajar jika selama ini ia menyembunyikan itu semua dari aku dan mungkin orang-orang di sekitarnya. Namun tidak berkurang sedikit pun rasa yang aku punya terhadap dirinya. Masa lalunya hanya sebuah cerita yang membuatnya ada hingga di titik ini. Aku bangga mencintainya. Aku bangga bahwa Tuhan titipkan ia menjadi cerita di hidupku untuk sekarang maupun nanti.

Dialah Naumiku. Dengan segala kisah di balik dirinya sekarang, yang aku tau, dia adalah wanita dengan aksara indah yang berhasil meluluhkan kebekuankun terhadap sastra. Aku mencintai setiap tulisannya dan setiap guratan senyum di wajahnya. Hanya itu.

The End

Kamis, 24 Agustus 2017

Sepertiga Senja



"Berhenti untuk terus mengusikku, Nada!" Cecar seorang pria yang masih terpaku menatap sang jingga.

"Kau pikir, menyatukan kembali kepingan hati yang hancur itu semudah kau mengatakan 'maaf'?" Lanjutnya.

Sang jingga merayap perlahan. Mengadu lelahnya pada sang bulan. Menyerahkan sesaknya senja itu pada langit malam yang temaram.

"Kau tahu, setelah kepergianmu berapa lama aku harus menyusun hidupku kembali? Apa kau tahu betapa tersiksanya aku di setiap senja aku hanya menemukan serpihan kisah masa lalu tentangmu?! Apa kau tahu betapa bencinya aku yang harus berusaha melupakanmu di sepertiga senja?!"

Embun itu pecah. Menjadi bulir-bulir bening yang merembet dari sudut mata laki-laki bernama Angga. Sang jingga semakin meredup. Cahayanya berpadu dengan kelabu yang menyisakan sebuah silued kenangan tabu. Kenangan manis yang terasa begitu menyakitkan.

"Pergi, Nada! Jangan terus mengganggu kehidupanku! Jangan terus mengusikku dengan kata maafmu!" Untuk kesekian kalinya, Angga menangis dalam pelukan senjanya.

Senjanya yang terus berharap untuk kembali. Meski kini senja itu sudah mati.

Senin, 28 November 2016

Teruntuk Senja

Senja. Nama gadis manis yang menjadi tokoh utama sebuah kisah ketika hati yang semula yakin, mulai goyah. Perawakannya bertubuh mungil, namun berisi. Wajahnya yang manis dengan lesung pipi di kedua sudut pipinya. Teduh saat melihat kerudung yang ia gunakan selalu pas membalut auratnya.

Senja. Ia seorang gadis berdarah minang. Ayah dan Ibunya adalah orang asli Padang. Dengan tatanan agama yang begitu kuat mengakar dan tumbuh dalam jiwanya. Didikan itulah yang kini membawanya menjadi seorang mahasiswi di Perguruan Tinggi Negeri di kotanya dengan jurusan pendidikan bahasa Inggris.

Senja. Ia kini tengah dekat dengan seorang pria bernama Doni. Mas Doni, begitu ia memanggilnya. Seorang guru di salah satu sekolah menengah atas di daerahnya. Namun, hubungan itu belum dapat dilanjutkan ke jenjang yang lebih serius, lantaran adanya bayangan masa lalu yang membayang di benak Senja.

Di suatu senja, di tepian sungai, Senja dan Doni duduk berdua. Memandang hamparan arus lembut aliran sungai dengan syahdunya angin yang berhembus. Senja menatap nanar jingga penghantar mentari beristirahat di peradaban. Berganti tugas pada sang bulan yang bekerja separuh hati di gelapnya malam.

"Kemarin, Senja sempat mampir ke rumah, Mas..." Suara parau itu memecah keheningan. "Dan Senja melihat, ada Kak Rosa di sana..." Lanjutnya.

Doni masih terdiam. Ia mendesah berat.

"Kenapa tidak memberitahuku, atau sedikit bercerita tentang pertemuan kemarin?" Senja kembali berbicara.

"Mas hanya tidak ingin membicarakannya. Mas menjaga perasaan Senja." Jawab Doni.

"Dia datang untuk meminta Mas kembali, bukan?"

Doni kembali diam.

"Maaf, jika aku lancang mendengar percapakan kalian." Mata indah itu mulai menampakan air bening yang masih bisa ditampung pelupuk matanya.

"Dia memang meminta Mas untuk kembali. Tapi, Mas menolak. Mas sudah punya kamu, Senja." Doni masih tenang menanggapi semua pertanyaan Senja.

"Hubungan kita baru berjalan dua bulan. Lepaskan jika memang ingin. Melupakan sebuah perasaan lama bukan hal mudah, terlebih kalian sudah banyak menghabiskan waktu bersama. Kembalilah, Mas."

Setetes air bening itu akhirnya jatuh. Membasahi pipi lembut sang tokoh utama.

Semenjak hubungan itu ada, Senja menyimpan ragu akan hati pria yang kini ada dihadapannya. Pria itu baru saja dikhianati oleh wanita yang sudah menemaninya selama setahun. Bahkan mereka sudah merencanakan sebuah pernikahan. Tapi, kemudian hancur lantaran orang ketiga yang hadir di antara keduanya. Wanita itu pergi meninggalkan Doni begitu saja.

Dan kini hadir meminta Doni untuk kembali saat Doni sudah bersama Senja.

"Bukankah kedua keluarga kalian sudah setuju? Cerita kalian masih bisa diperbaiki. Kalian tinggal hapus tulisan buruk, kemudian perbaiki lagi." Lanjut Senja.

"Sayangnya, cerita ini bukan tentang menulis sebuah sastra bertema cinta. Yang mudah di hapus, kemudian diketik lagi dengan cerita yang lebih menarik. Ini tentang sebuah perasaan yang sempat hancur oleh seseorang. Kemudian orang itu kembali dan meminta untuk memperbaiki hati yang telah hancur. Tidak semudah itu Senja. Aku menyatukan lagi kepingan hati yang hancur itu sendiri, yang kemudian dibantu oleh Senja yang meredupkan keletihanku."

"Tapi, orang tuaku tidak menginginkan kita menikah, Mas. Pergilah bersama dia yang lebih pasti."

"Aku akan berusaha keras agar kedua orang tuamu, menyetujui kita. Aku akan berusaha. Tapi, aku tidak bisa berusaha sendiri, Senja. Aku butuh Senja yang menguatkanku."

Senja terdiam. Isaknya memecahkan keheningan jingga yang merangkak hitam. Suara adzan maghrib, terdengar perlahan.

"Senja, aku sudah lelah. Lelah dengan semua cerita cinta yang berakhir sama. Yang berakhir menyakitkan. Yang aku butuhkan sekarang adalah rumah untukku beristirahat dengan tenang. Rumah tempatku mengadu senang dan susahku, rumah tempat aku berteduh, dan aku harap rumah itu kamu Senja. Kita berjuang bersama-sama. Patahkan ragumu, dan yakinlah bersamaku."

END

Sabtu, 26 November 2016

Pacaran = numpang hidup

Pacaran=numpang hidup??

Oke, kenapa gue ambil judul ini? *think*
Cukup menarik, 'kan? Hehe

Sebelumnya, gue mau kasih info dulu, kenapa dengan jarak waktu yang begitu lama, gue nggak ngepost beberapa short story or sad story yang biasa gue tampilin di blog gue. Alasannya, selama ini laptop gue rusak -sampe sekarang- dan gue belum punya uang yang cukup buat benerin atau beli laptop yang baru *sedih*. Dan yang namanya nulis nggak semudah yang dibayangin, bener-bener harus ngelawan mood dan berpikir gimana caranya bisa main dengan beribu kata. Ngerangkai jadi satu kesatuan kalimat yang indah #ciellahh

Oke, skip.

Nah, kali ini gue mau ngebahas, pacaran sama dengan numpang hidup. Ini tulisan opini gue, bukan fiksi-fiksi seperti yang biasa gue tulis. Oke, buat yang ngerasa dirinya cowok, udah pasti ngerasain banget ini bahasan ada benernya.

Kenapa gue bilang gitu? Ya iyalah, untuk para cowok-cowok yang udah berani mutusin buat macarin anak gadis orang, itu bakal ngerasa yang namanya diporotin abis-abisan sama si Cewek. Makan kesono, lu yang bayarin. Mau ngemil, minta ke lu juga. Sian banget idup lo, ntong.

Buat yang udah baca tulisan ini, jujur aja lo pasti ngerasa bener, 'kan?

Nih yaa. Buat para cewek-cewek *termasuk w*. Pacaran itu bukan tentang numpang idup. Lu pacaran ama bocah ingusan yang duitnya masih minta ama emak bapaknya. Lu pikir enak, setiap makan, bayarin makan lu mulu. #yakagaklah . Sesekalilah lu juga yang kudu bayar. Pacaran itu kan harus saling melengkapi *betulnggak?

Hukum ini sangat berlaku buat kalian para anak rantau. Yang nyari pacar hanya untuk numpang idup. Hello, lu pikir ntu bocah kagak mikir apa, uang jajan seminggu dipake cuman dua tiga harian doang. Haayyoollaahh, cewek-cewek berhenti matre. Iya, gue tau. Emang kodratnya cewek itu terlahir jadi manusia yang morotin kaum lelaki. Cuman, dipikirin lagi, deh. Yang pengen hidup, bukan cuman lu doang. Pacar lu, cowok kesayangan lu, itu juga kepengen idup panjang tanpa beban pikiran.

#buatcewek Cowok bakalan bener-bener seneng, ketika lu sebagai kekasih hatinya yang amat dicinta, bilang gini "Yang, makan kali ini aku yang bayar, ya." Terus ntar si cowok bilang gini, "ahh, nggak usah sayang, biar aku aja yang bayar. Aku kan cowok." Lu sebagai cewek kudu bilang gini, "Sesekali cewek juga harus bayarin makan. Masa cowok mulu."

Beeuuhh, itu cowok lu seneng bukan main. Dapat cewek yang pengertian. Kan jadinya, point plus juga buat lu, neng. Betul kagak?

Dipikirin lagi, direnungin lagi nih kata-kata gue. Terkadang ada benarnya loh. #insyaaAllah oke, sampe sini dulu. Salam Gahol. Dabray!

N.B: kenapa di tulisan ini gue nggak kagak pake kata Pria. Karena, pria itu dirasa sudah cukup mapan untuk bisa menafkahi kekasihnya. Buat yang ngerasa udah jadi seorang Pria dan memiliki pasangan, buruan halalin. Daripada digondol orang. Hehe.

Kamis, 25 Agustus 2016

Kehormatan Cinta



Namanya Rani. Wanita berusia 25 tahun yang bekerja sebagai karyawati di perusahaan swasta. Rani adalah anak perempuan satu-satunya di keluarga. Ia hanya memiliki seorang kakak laki-laki bernama Hadad.

Rani adalah wanita yang ramah, dan elok budi pekertinya. Namun sayang, kisah percintaannya tak seelok dirinya. Rani baru dua minggu menyandang status istri dari Tubagus Hendro Pranoto. Salah satu CEO restaurant terbesar di Jakarta. Sayangny, ia harus menelan pil pahit perceraian yang digugat oleh Bagus sendiri.

Terdengar kabar bahwa sesungguhnya Rani bukanlah seorang perawan ketika menikah dengan Bagus. Ya, perawannya hilang oleh laki-laki yang Bagus tidak tau siapa. Saat berada dipelukannya, istrinya itu bukanlah seorang gadis yang masih perawan.

Merasa dibohongi, keluarga Bagus menggugat cerai Rani tanpa membicarakannya terlebih dulu dengan keluarga Rani. Mendengar hal yang tidak adil ini, Rani sempat di sidang oleh keluarganya. Dan pengakuan hebat terlontar dari bibir mungilnya.

Rani mengakui bahwa ia sudah tidak perawan ketika ia duduk di bangku kelas 2 SMA. Saat itu Rani memang benar-benar terhasut oleh pergaulan bebas karena kedua orang tua dan kakaknya tinggal di Jogja yang mengharuskan ia sekolah di Jakarta.

Amarah besar terlukis jelas di wajah sang ayah. Bagaimana tidak, putrinya yang selalu memberi kesan baik di depan keluarga, rupanya menyimpan hal yang memalukan untuk keluarganya. Sementara sang ibu tak dapat menahan air matanya dan ia sudah beberapa kali pingsan mendengar skandal yang harus dihadapi oleh keluarganya.

Rasa tidak percaya, terpancar di wajah sang Kakak. Rani terkenal anak yang pintar dengan perilaku yang sebenarnya baik-baik saja. Jangankan untuk berbuat seperti itu, untuk berbohong kepada orang tua dalam hal baikpun ia tidak berani. Tapi, kenapa adiknya dapat jatuh kedalam lubang kehancuran seperti ini?

Karena hal memalukan ini, Rani diusir dari rumahnya. Sang ayah tak mampu jika harus memandang wajah anaknya yang bisa membohongi kedua orang tuanya dalam jangka waktu yang cukup lama itu.

"Ayah, Rani mohon Ayah, Rani minta maaf. Rani juga sudah meninggalkan pergaulan bebas itu ketika Rani kuliah, Ayah. Rani sudah berubah! Rani mohon maafkan Rani, Ayah."

"Jangan pernah panggil aku dengan kata ayah lagi. Aku malu mempunyai anak yang mencoreng muka ayahnya sendiri dengan dosa. Mulai detik ini Rani yang aku kenal itu sudah MATI!!!"

Brraakk
Dentuman keras pintu rumah Rani, terhempas di depan wajahnya. Tangisnya pecah. Isaknya menjadi-jadi. Sang ibupun tak dapat berbuat apa-apa lagi. Kakinya lemah, seolah tak mampu menopang tubuhnya lagi.

***

Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Tanpa terasa, Rani sudah sebulan menjanda dan tidak kembali ke rumahnya.

Sang ibu duduk di tepian tempat tidur sembari menatap nanar foto Rani. Hanya itu yang bisa mengobati rindunya terhadap Rani. Ibu mana yang tahan jika harus berpisah dengan anaknya tanpa kabar dan berita. Ibu mana yang tidak gila ketika anak kandungnya sendiri keluar dari rumah dan menjadi orang asing begitu saja karena ulahnya sendiri.

Mata sendu itu kembali menitikkan air mata. Air mata yang terus jatuh semenjak Rani diusir dari rumahnya sendiri. Batinnya terasa terkoyak setiap kali silued perkelahian itu tereplay di otaknya.

Hadad, putra pertamanya, datang menghampirinya dengan sepiring nasi. Bobot tubuh ibunya berkurang karena kejadian ini.

"Bu, ibu makan dulu yaa. Ibu belum ada makan, loh. Biar Hadad suapin ya, Bu."

"Ibu nggak ada nafsu makan, Dad. Ibu kepikiran adekmu terus." 

"Bu, Rani itu udah besar. Dia bisa mengurus dirinya sendiri, Bu. Biarkan dia di luar dulu sampai hati Ayah luluh lagi, Bu."

Sang Ibu bergeming. Dari sudut matanya, kembali setitik embun siratan luka hatinya membasahi pipi dengan beberapa kerutan di sana. Hadad semakin iba melihat sang Ibu meratap rindu terhadap adiknya.

"Sekarang Ibu makan dulu ya. Biar kalau Rani kesini, Ibu tetap dalam keadaan sehat."
Hadad mencoba sekali lagi membujuk Ibunya. Beruntung sang Ibu mau membuka mulutnya untuk memasukkan beberapa sendok nasi ke mulutnya.

***
Rani lebih memilih mengasingkan dirinya kesebuah desa di Bandung. Desa tersebut sudah cukup maju. Rani mengontrak sebuah rumah petak dengan harga yang cukup terjangkau. Ia harus memulai hidupnya dari awal. Sendiri. Tanpa suami, ayah, ibu, atau abangnya.

Ironi. Rani harus diceraikan oleh suaminya karena keperawanan yang telah hilang. Dicampakan oleh kedua orang tuanya dan disisihkan oleh keluarga besarnya. Jauh berbeda dengan perkiraannya dulu. Di mana suatu keluarga tidak akan mempermasalahkan sebuah keperawanan. Dan ia pikir pasangannya akan mengerti. Ternyata tidak. Perkiraannya salah besar. Kenikmatan yang dulu ia rasakan benar-benar menjadi boomerang kehancuran untuknya.

Itu mungkin cerita lama. Namun, bekas dan sesal itu akan tetap ada. Kesucian seorang wanita layaknya kain putih, yang apabila sudah ternodai oleh air keruh, kain tersebut tidak akan bisa bersih seperti semula sekalipun dibersihkan di air bening. Begitulah perumpaan yang tepat.

Kini Rani hanya dapat berserah. Menjadi janda seumur hidup atau mendapatkan suami yang mau menerima ia apa adanya.

Rani menjadi sebuah penjaga toko di sebuah toko baju milik orang Padang. Beruntung keluarga orang Padang tersebut memiliki pribadi yang baik. Rani dapat merasakan hadirnya keluarga baru jika berada di tengah-tengah keluarga kecil bosnya.

Waktu terus berjalan. Rani sepertinya betah menjadi seorang pramuniaga di toko pakaian itu. Gajinya juga lumayan. Dan yang terpenting baginya adalah keramahan keluarga bosnya.

Di sebuah kesempatan, Rani bertemu oleh seorang pelanggan bernama Hanafi. Seorang guru agama di salah satu SMA di desa itu. Saat itu Hanafi mencari sebuah pakaian bayi dan kebetulan Ranilah yang melayaninya.

Diakui Hanafi, bahwa ia jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Rani. Entah bagaimana hal itu bisa terjadi, Hanan-panggilan laki-laki itu- bisa merasakan getaran hebat dalam hatinya ketika melihat wajah Rani dengan lembutnya melayaninya sebagai pembeli.

Tak heran, Hanan jadi suka pergi berbelanja di toko tempat Rani bekerja. Kebetulan ia suka menyantuni anak yatim yang tengah membutuhkan pakaian layak. Karena ia hanya berdua dengan sang Ibu, Hanan menyisihkan uangnya untuk membelikan baju baru yang akan ia berikan pada anak yatim itu.

Singkat cerita. Rani merespon sedikit demi sedikit perasaan Hanan. Jujur saja, Rani memiliki trauma terhadap mencintai seseorang. Namun entah mengapa, ketika bersama Hanafi rasa trauma itu perlahan terkikis.

Hanan merupakan calon imam yang baik menurut Rani. Sholatnya yang tidak pernah dan beberapa syariat islam yang selalu ia berikan ke Rani.

"Rani..." panggil Hanan.
"Iya, Han."
"Mau sampai kapan menjalani hubungan tanpa status? Sejujurnya kita tidak boleh berjalan berdua seperti ini. Harus ada orang lain di sekitar kita untuk menjaga perzinahan atau fitnah yang terjadi, Ran."

Rani diam. Pikirannya kini berkecamuk. Hanafi memang pria yang baik. Dewasa, dan bisa dikatakan cukup mapan. Hanya saja, kegagalan di masa lalu membuat ia harus berhati-hati mengambil keputusan. Terlebih lagi, Rani adalah seorang janda.

"Jika kamu butuh waktu, tidak apa-apa. Tapi, biarkan aku bertemu dengan orang tuamu. Bagaimana?"

Orang tua? Pernyataan Hanafi membuatnya semakin bingung. Bagaimana bisa ia menemui orang tua Rani, sementara, sang ayah saja belum mau menerima dirinya.

"Kenapa diam, Ran?"

Hanafi memang belum mengetahui bagaimana keadaan keluarga Rani sesungguhnya. Yang Hanafi tau, Rani adalah seorang janda muda yang baru bercerai sebulan yang lalu. Ya, mungkin ini saatnya Rani harus menceritakan semuanya pada Hanafi.

"Han, bawa aku ke danau. Ada yang harus aku ceritakan padamu."
"Baiklah."

Jantungnya kink berdetak tak beraturan. Otaknya mulai berpikir bagaimana kalimat yang tepat untuk menjelaskan keadaanya pada Hanafi.

Hanafi memarkirkan motornya di tempat khusus. Rani berjalan lebih dulu meninggalkan Hanan yang masih memarkirkan motornya. Menatap hamparan danau di bawah pepohonan rindang. Angin bertiup syahdu. Matahari sore itupun tidak begitu terik.

"Ada apa, Ran?" Tanya Hanan yang kini berdiri tepat di sampingnya.

Rani menarik nafas dalam-dalam. Membiarkan oksigen masuk di rongga paru-parunya. Dan memberikan sedikit ketenangan untuknya.

"Sebenarnya..." Rani menatap wajah laki-laki yang ia sayangi itu. "Aku bercerai dengan suamiku satu bulan yang lalu. Alasan suamiku menceraikanku adalah ketidak perawanan aku di malam pertama kami. Aku telah memberikan perawanku kepada laki-laki yang menjadi pacarku di waktu SMA. Bukan suamiku."

"Lantas?"

"Aku bukanlah wanita baik-baik, Han. Bahkan karena rendahnya akhlakku, aku diusir dari rumah, aku tidak lagi dianggap sebagai anak oleh mereka. Aku adalah wanita hina, Han. Dan kamu tidak pantas mendapatkan istri sepertiku."

Air mata itu kembali menetes di sudut matanya. Air mata yang biasanya mengalir hanya pada saat ia berdoa atau akan tertidur kala malam. Air mata yang kini jatuh di depan laki-laki yang baru ia kenal. Laki-laki yang mencintainya dan serius dengannya.

"Rani, masa lalu adalah cerita lampau yang tidak akan pernah ada di masa depan. Masa lalu adalah sebuah perjalanan layaknya jalan setapak menuju masa depan yang lebih baik. Aku tidak perduli bagaimana masa lalumu. Bagaimana statusmu. Bahkan keluargaku tidak mempermasalahkan itu. Aku akan menerimamu apa adanya, Rani. Masa lalumu biarlah menjadi masa lalu yang pahit untuk dikenang. Jadikan aku masa depanmu yang akan menuliskan cerita indah untukmu."

Mata Hanafi menunjukkan sebuah ketulusan. Binar matanya meneduhkan hati Rani yang saat itu tengah kalut. Cacian ayahnya, hinaan yang diberikan oleh ibu mertuanya, terputas kembali di otaknya. Dan saat melihat ketulusan yang terpancar di mata Hanafi menenangkan semuanya.

"Masalah orang tuamu. Kita akan temui bersama. Semarah-marahnya orang tua, tetap akan ada rasa iba dan maaf untuk anaknya. Karena seorang anak merupakan darah daging kedua orang tuanya. Tidak akan ada istilah mantan anak, bukan?"

Tangan lembut Hanafi menyentuh pipi yang telah basah oleh air mata itu. Sekali lagi, Rani merasakan kehangatan yang tulus. Hanafi benar. Mungkin kehadirannya bersama Hanafi ke rumah, kemudian meminta maaf, ayahnya akan memaafkannya dan memperbaiki segalanya.

*** Rani dan Hanafi pamit untuk pergi kembali ke Jakarta. Tekad Rani sudah bulat untuk menemui Ayahnya. Ia tidak perduli bagaimana sang Ayah merespon kedatangannya. Toh, di sampingnya kini ada Hanafi. Laki-laki yang datang saat sepi melandanya. Laki-laki yang datang untuk menguatkannya. Laki-laki yang selalu ada dalam kiasan doa di sepertiga malamnya. Ya, Hanafi adalah calon imam yang dikirim Tuhan untuknya. Semoga Allah meridhoi laki-laki ini, seiring dengan ridho orang tuanya.

Rani dan Hanafi tiba dirumah sederhana milik orang tua Rani. Rumah sederhana yang tampak sepi dari luar. Apakah tidak ada orang di rumah?

"Assallamu'alaikum..." Suara salam itu terdengar parau. Rani menahan tangis di sanubarinya. Ia merasa ragu untuk masuk ke dalam rumahnya sendiri.

"Wa'allaikumsalam..." Wanita cantik berusia 30 tahun keluar dari balik pintu utama. "Rani..." serunya

"Mbak Maya..."
Wanita bernama Maya yang tidak lain adalah istri dari Hadad menjadi orang pertama yang menyaksikan kedatangan Rani.

Suasana haru menjadi latar sore itu. Hanafi hanya dapat berdiri dari sisi lain melihat dua wanita di hadapannya tengah melepas rindu.

"Apa kabar kamu, Dek."
"Baik, Mbak. Ibu, Ayah, dan Mas Hadad ada?"
"Ada. Ibu ada. Tapi, Mas Hadad dan Ayah sedang pergi. Ayo, masuk, Dek."

Rani tersenyum pada Hanafi. Pertanda Rani menyuruhnya untuk masuk. Hanafi membalas senyuman itu. Ia menarik nafasnya panjang, sembari melangkah menuju rumah sederhana yang akan sering ia kunjungi nantinya.

Mbak Maya menuntunnya menuju kamar kedua orang tuanya. Semenjak kepergian Rani dari rumah itu, Ibunya memilih untuk mengurung diri di kamar. Rasanya, berinteraksi dengan orang rumah hanya akan mengingatkan ia pada Rani.

Rani melangkah perlahan memasuki kamar orang tuanya. Ia melihat sang Ibu tengah duduk di tepian tempat tidur dengan menghadap jendela. Sebulan bukanlah waktu yang sebentar jika harus dihabiskan di dalam kamar tua itu. Hanya menatap matahari yang berjalan ke peristirahatannya kala senja sehingga berganti malam, sembari menyairkan doa yang tersirat rindu. Ya, itulah yang dilakukan ibunya kala Rani harus meninggalkan rumah yang sudah ada jauh sebelum Rani lahir.

"Ibu..." suara parau yang kembali memecah keheningan sore itu.

Ujung mata Rani kembali berair. Menetes perlahan membasahi pipinya. Sang ibu bergeming.

"Ibu..." suara parau itu terus menerus terdengar dan semakin jelas. Hanya saja, Ibunya belum mau memalingkan wajahnya ke sumber suara.

"Rani pulang, Bu..."

Perlahan, wajah tua itu mulai berpaling. Ia mulai mencari sumber suara yang menjadi perhatian gendang telinganya kini.

Rani berada tepat di depan wajahnya. Ya, Rani. Putrinya yang meninggalkan ia sebulan yang lalu. Putrinya yang menjadi asing hanya dalam hitungan detik karena dosa yang ia lakukan. Rani bersempuh di bawah kaki sang Ibu. Rindu itu pecah seiring tangis yang meraung di sudut kamar tua. Tiada yang lebih hebat dari rindu Ibu dan Putrinya.

Sang Ibu memeluk putrinya dengan begitu erat. Rasanya, apapun yang terjadi, ia tidak akan mau melepaskan putrinya begitu saja. Tidak akan lagi ia biarkan putrinya pergi meninggalkan ia dalam gejolak rindu yang menyiksa.

Mbak Maya dan Hanafi memutuskan untuk membiarkan kedua anak dan ibu itu saling melepas rindu. Mbak Maya membuatkan secangkir teh hangat untuk Hanafi yang sedang dudum manis di ruang tamu. Pandangan mata Hanafi beredar ke seluruh sudut rumah. Terdapat beberapa figura yang memperlihatkan betapa bahagianya keluarga ini. Hanya saja, ia tidak melihat foto Rani di pajang di ruangan itu.

"Foto Rani udah dibuang sama Ayah. Sepertinya, Ayah benar-benar kecewa dan marah dengan, Rani." Perjelas Mbak Maya sembari meletakkan secangkir teh hangat dan kue kering ke atas meja kaca.

"Terima kasih, Mbak. Mbak seperti paham apa yang saya pikirkan."
"Kebanyakan tamu mempertanyakan hal tersebut. Selama sebulan kami harus menjawab dengan kalimat yang sama."

Hanafi mengangguk paham. "Oiya, Mbak. Saya Hanafi. Teman Rani dari Bandung."

"Jadi selama ini Rani di Bandung? Apa selama di sana Rani baik-baik saja. Ia merepotkan kamu?"
"Apa selama ini Rani tidak memberi kabar keluarga di sini, Mbak?"

Mbak Maya hanya menggeleng tegas. "Rani paham betul Ayahnya seperti apa. Mungkin bagaimanapun alasannya, Ayahnya tidak akan memperbolehkan kami untuk berbicara dengan Rani."

Tak lama Rani keluar bersama sang Ibu. Rindu mereka telah terbayar lunas. Mereka juga sudah mulai tenang. Dan bermaksud ikut menimbrung di ruang tamu.

"Inikah laki-laki itu, Rani?" Tanya sang ibu.
"Iya, Bu. Namanya Hanafi. Rencananya kami akan segera menikah. Dan memohon restu kepada Ibu, Ayah, Mas Hadad, dan Mbak Maya. Sekaligus memperbaiki hubungan kita, Bu."

Sang Ibu paham. Ia menyuruh anaknya untuk sabar menunggu sang pulang. Terdengar suara motor bebek yang biasa dipakai oleh Ayahnya. Sang Ayah langsung memasuki rumah bersama Hadad dan terkejut kala melihat anak yang telah mengecawakannya hadir di hadapannya kini.

"Rani!"
"Assalamua'alaikum, Ayah." Rani meraih tangan kanan Ayahnya. Namun sang ayah menepisnya begitu saja.

"Untuk apa kau kemari lagi?! Belum puas kau mempermalukan ayah dan keluarga ini?! Sudah sangat nyaman rumah ini tanpa kehadiran anak pembuat malu sepertimu!" Amarah sang memuncak begitu saja.

Tangis Rani kembali pecah. Ketakutannya terealisasi dengan begitu cepat. Hadad selaku anak tertua hanya dapat menahan emosi sang Ayah dengan membawanya menuju kamar utama.

Disusul oleh sang Ibu yang berharap dapat meredam amarah sang ayah.

"Yah, sudahlah. Jangan begitu larut dalam kebencian. Bagaimanapun, Rani anak kita. Rani kesini untuk meminta maaf dan mengenalkan laki-laki yang tulus mencintai dia apadanya, Yah."
"Laki-laki mana yang mau menerima wanita murah seperti dia itu, Bu!"
"Yah, Ibu mohon. Tolong maafkan Rani. Hilangkan egomu. Selama lebih 50 tahun, Ibu percaya sama Ayah, bahwa Ayah adalah kepala keluarga yang baik dan bijaksana. Tolong pikirkan sekali lagi, Yah. Ini juga tidak sepenuhnya kesalahan Rani. Kesalahan kita juga selaku orang tua tidak memperhatikan masa mudanya. Yah, Ibu mohon. Beri Rani kesempatan sekali lagi. Dia itu anak kandung kita. Darag daging kita. Dan munafik jika Ayah tidak rindu oleh putri yang amat ayah sayangi dulu. Tepikan egoismu, Yah."

Bujuk sang Ibu. Sesungguhnya, jauh di batin Ayah terselip rasa rindu dan juga penyesalan karena telah membiarkan putrinya hidup sendiri di luar sana. Sebagai seorang ayah, ia juga sudah gagal dalam membina keluarganya sendiri. Ya, mungkin memaafkan dan menerima putrinya kembali adalah cara untuk memulai semuanya dari awal.

Sang ayah luluh. Ia membimbing tubuh istrinya keluar menuju ruang tamu. Di ruang tamu, ia merengkub putri satu-satunya sembari menitikkan air mata. Dalam dekapan sang ayah pun, Rani menangis. Ia rindu aroma tubuh ayahnya. Ia rindu kehangatan dekap peluk sang ayah.

Inilah akhir dari ironi kehidupan. Tak selamanya yang kita pikirkan akan berjalan sesuai dengan apa yang kita inginkan. Berdoa dan berserah diri kepada Tuhan adalah sebagian kendali kehidupan. Dan tetap menjaga diri menjadi pribadi yang elok dipandang keluarga maupun masyarakat.

End