Kamis, 17 Juli 2014

Perjalanan Dalam Penantian (part2)

Semenjak aku mengungkapkan apa yang ada di hatiku. Kak Rama benar-benar menjaga perasaanku. Kami tetap dekat, saling sharing meski tidak terlalu dalam. Yang penting setelah pengakuan itu tidak ada kecanggungan yang ketara. Kak Rama masih bersikap sama seperti hari-hari biasanya. Di sekolah masih saling menyapa.

Namun, semua tidak berlangsung lama, sampai akhirnya suatu hal datang dan membuatku terkejut.

"Mir, kemarin pas gue latihan basket, Kak Rama minta nomor lo. Berhubung gue nggak punya nomer hape lo, nggak gue kasih, deh."
Mendengar penuturan Tika, aku, Reny, Mira, dan Fisa terhenyak. Kak Rama meminta nomor hape sahabatku. Ada apa? Apakah Kak Rama menaruh hati pada Mira? Aku tidak mengerti. Jika ya, aku harus bagaimana? Aku harus benar-benar melupakan Kak Rama? Lawanku sangat tidak sepadan. Terlebih lagi ia menyukai sahabatku yang itu berarti tidak ada harapan sedikitpun untuk aku singgah di hatinya. Karena hati itu telah lebih dulu diisi oleh Mira. Sahabatku.

Aku berusaha tersenyum manis. Mira menatapku. Ia panik melihat tingkahku yang ia tahu sedang menyembunyikan sesuatu.
"Nu, ini pasti salah paham. Gue nggak akan ngasih nomor hape gue sama Kak Rama."
"Kenapa, Mir? Gue nggak apa-apa kok. Kalau seandainya dia minta nomor lo, apa masalahnya buat gue? Gue bukan siapa-siapa dia. Lagian gue juga udah move on kok." Aku berbohong. Hatiku terasa perih saat aku mengatakan bahwa aku sudah tidak berharap lagi dengan Kak Rama. Ini sangat bertentangan dengan hatiku.

Aku beranjak meninggalkan mereka yang masih menatapku dengan tatapan tidak enak. Sekali lagi, aku kembali memunculkan senyum yang seolah mengartikan aku baik-baik saja. Seberapa baik diriku saat ini? Apakah benar-benar baik? Atau aku hanya berpura-pura baik? Entahlah. Aku memilih untuk menyendiri di perpustakaan sekolahku. Duduk di sebuah kursi baca dengan pikiran yang melayang entah kemana. Aku membuka layar hapeku. Di sana tertera fotoku dengan Kak Rama di malam ulang tahun sekolah. Aku mendesah berat. Derapan kaki seseorang membuatku dengan cepat memasukan hapeku ke saku rok seragam.

"Hai, Inu." Sapa Prisil. Ia duduk tepat di sampingku. Aku membalasnya hanya dengan sebuah senyuman.
"Lagi ngapain? Biasanya ngumpul bareng Reny, Mira, sama Fisa. Kok malah sendiri di perpus?" Ia mencecarku dengan banyak pertanyaan. Seolah kita sangat dekat.
"Lagi males." Jawabku singkat.
"Oh. Gue denger, lo suka ya sama Kak Rama?" Aku diam. Aku tau mengapa dia menanyakan hal yang demikian. Ia juga menyukai Kak Rama. Bahkan mereka sangat dekat. Berbeda dengan aku yang hanya berbatas sms dan teguran.

"Lo juga 'kan, Pris?"
"He'em. Tapi, kalau lo mau sama dia ambil aja. Gue juga udah lupain dia."
Semudah itu dia bilang aku bisa mengambil Kak Rama. Memangnya kamu pikir Kak Rama barang, yang bisa dikasih secara cuma-cuma. Dasar munafik.
"Gue udah move on, Pris. Lo bisa dapetin dia." Jawabku dan langsung ngeluyur pergi.

***

Semenjak aku tau Kak Rama menyukai sahabatku. Hubunganku dengan Mira juga berjalan alot. Tidak lagi pergi ke kantin sama-sama. Apa lagi saling sharing. Aku tau bukan Mira yang salah. Bukan  juga Kak Rama yang salah. Menyukai seseorang bukanlah suatu hal yang salah. Itu hak semua orang. Ahh, harusnya aku lebih tau diri.

Aku memposting banyak status galau di dinding facebook milikku. Aku rasa Kak Rama mengetahui itu semua. Sampai akhirnya dia mengirimiku pesan. Tentang kekesalannya terhadap sikap childishku.

"Nuk, berhenti buat status yang seolah-olah menyalahkanku. Aku udah berusaha ngertiin perasaan kamu. Sekarang, waktunya kamu yang ngerti perasaan aku. Aku udah hargai perasaan kamu. Jadi please, jangan buat aku ngerasa bersalah. Dan satu lagi, hapus perasaan itu dari hati kamu."

Kata-kata yang sangat menyakitkan. Ya, aku salah. Aku childish. Aku egois. Aku selalu berharap hal yang tabu. Namun aku bisa apa? Semua ini bukan aku mengontrolnya. Perasaan ini. Perasaan sayang ini sudah membuatku salah arah. Perasaan yang terlalu menggebu ini membuatku kikuk. Membuatku terlihat bodoh di depan dia. Membuatku salah dalam melangkah. Baiklah. Aku mundur. Aku menyerah dengan semua penantian ini.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar