Kamis, 31 Juli 2014

Perjalanan Dalam Penantian (End)

Sudah lama sekali rasanya aku tidak membangun kontak dengan Kak Rama. Sampai pada akhirnya, aku pacaran dengan ketua OSIS. Jujur hatiku tidak sepenuhnya bersama Kak Budi. Aku hanya menjadikannya pelarian. Terlalu jahat memang. Namun aku harap, Kak Budi dapat menghilangkan perasaanku terhadap Kak Rama.

Getar hapeku menginterupsi. Aku meraihnya, tertera nama Kak Rama di layar monitor.
"Congrats ya, Nuk. Elo udah jadian sama Budi. Langgeng ya."
Ku biarkan begitu saja pesan itu. Ku jauhkan hapeku dan memusatkan perhatianku pada monitor notebookku.

Enggan rasanya berlama-lama berkutat di layar monitor yang menunjukkan akun facebookku.
Aku merebahkan tubuhku di atas tempat tidur. Membiarkannya tenang, sementara pikiranku melayang. Senyuman itu, entah kenapa masih sangat sulit untuk aku lupakan. Pikiranku masih saja ingin mengetahui kabar dia. Keramahannya membuatku sangat sulit menghapus semua ingatan tentang dia. Ya Tuhan... Aku harap dirinya bahagia sama siapapun nantinya dia melabuhkan hatinnya.

Perlahan mataku memejam. Membiarkan jiwa ini terbuai oleh mimpi yang indah.


***

Mentari pagi menyapaku dengan cahayanya yang begitu terik. Hangat terasa merembet masuk menuju pori-pori kulitku. Aku yakin siang nanti akan lebih terik dari ini. Cahayanya tak lagi menghangatkan. Berubah menjadi panas yang membuat semua manusia di bumi meringis.

Aku melesat perlahan menuju sekolahku. Tak sampai lima belas menit aku telah sampai d sekolah. Berjalan perlahan menuju kelasku. Melewati koridor-koridor dan beberapa kelas di mana kelas X mengikuti kegiatan belajar mengajar. Kelasku berada di ujung koridor. Sesampainya di kelas, Kak Restu kakak kelas lain yang dekat denganku sudah duduk manis di kursiku. Ia juga satu kelas dengan Kak Rama.

"Dek, ikut kakak." Dengan cepat Kak Restu menarik tanganku. Membawaku ke taman sekolah yang berada tidak jauh dari kelasku.
"Ada apa, Kak?"
"BM kamu aktif?" Aku menggeleng tegas.
"Rama jadian sama Prisil."

Pernyataan yang lagi lagi buatku sakit. Tuhan, kenapa harus pagi ini aku mendapat berita yang sesungguhnya tidak ingin Aku dengar.Aku menarik nafasku lebih dalam lagi. Berharap dengan begitu rasa sakit yang menyelinap masuk di hatiku sedikit terobati. Aku tersenyum -berat-.
"Terus kenapa, Kak? Kalau emang dianya seneng dan bahagia, yaudah biarin aja."
"Kamu nggak..."
"Aku udah move on, Kak."Pernyataan yang sangat bertentangan dengan hatiku saat ini. Bodoh. Memang, Aku bisa apa selain berkelit. Nggak ada 'kan?

"Munafik kamu Nuk!" Kak Restu pergi begitu saja meninggalkanku sendiri di taman sekolah. Dia marah. Wajar, karena dia tau sekali bagaimana perasaanku sesungguhnya.

Perlahan aku mulai melangkah gontai. Bel sekolah berbunyi sudah dari beberapa menit yang lalu. Enggan rasanya melangkahkan kaki ini menuju kelas. Toh, masukpun udah telat juga. Aku memutuskan untuk menuju perpustakaan. Sedikit menenangkan diri, atau mungkin.....Menangis. Hanya itu yang bisa aku lakukan. Tidak hanya aku, bahkan semua wanita jika ia merasa hatinya sudah rapuh, ia pasti menangis. Bedanya dari penerapan tangisan wanita itu, entah itu tangisan ketegaran atau tangisan keputusasaan.

Aku mendesah. Mendapati sosok yang aku kagumi itu sedang duduk manis menekuri buku komik di tangannya. Lagi-lagi di balik persembunyianku, aku memperhatikannya. Aku selalu memperhatikan gerak-geriknya. Aku selalu memperhatikan aktifitasnya. Mungkin karena itu akhirnya aku terlalu menggilainya.

***

Aku menutup album foto itu. Flashback akhirnya mengingatkan aku pada penantian yang cukup panjang. Lewat sebuah tulisan mungkin tidak akan mampu mendefinisikan bagaimana perasaan atau bahkan jalan sesungguhnya sebuah cerita yang nyata. :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar