Minggu, 06 Juli 2014

Rindu Di Balik Malam...

Alur malam semakin pekat. Sinar bintang perlahan memudar. Mungkin ia mulai lelah karena harus membagi energinya pada sang bulan yang semakin meninggi. Ia memancarkan cahaya begitu indah. Hanya cahaya sang bulan yang menemani Rindu menikmati suasana malam. Gadis manis yang saat ini duduk di bangku kelas tiga SMA. Entah malam yang ke berapa, Rindu menghabiskan separuh waktu malamnya di halaman belakang rumahnya. Mungkin hanya Rindu, remaja cantik yang berani duduk sendiri di sebuah halaman yang bisa dibilang cukup luas. Sekalipun itu adalah perkarangan rumahnya, tengah malam tetap hal yang mencekam bagi semua orang, termasuk wanita.

Namun baginya, malam adalah keindahan. Malam adalah teman tanpa wujud namun dapat mengerti tentangnya. Rindu lebih suka menyendiri di balik malam.  Membagi kesedihannya atau kebahagiaannya pada sang malam.

Biasanya Rindu selalu sendiri menikmati malamnya. Tapi, sudah hampir sebulan ia selalu ditemani oleh seorang laki-laki yang seumuran dengannya. Sahabat karibnya. Kadavi.

"Mau sampai kapan, hanyut dalam dinginnya malam?" Sapa pria yang selalu dipanggil Davi.
"Namaku adalah Rindu. Namun bukan aku yang dirindukan mereka. Tapi mereka yang selalu ku rindukan."
"Aku merindukanmu. Setiap aku jauh darimu, aku selalu merindukanmu. Dan aku janji, aku akan selalu bersamamu." Jawab Davi.
Rindu diam. Menatap wajah Davi sekilas, kemudian kembali menatap sinar bulan.

Pipinya basah. Embun bening itu jatuh. Bukan hanya pada malam ini. Setiap malam. Derai air mata itu semakin deras. Semakin jatuh membasahi pipinya yang terlihat tirus. Davi membelai rambutnya. Berusaha terus membuatnya tenang. Namun, Davi mengerti bagaimana sahabatnya itu.

"Coklat hangat..." Ucap Davi.
Rindu mulai tenang. Ia menghapus air matanya. Dan menatap secangkir coklat hangat dari Davi. Rindu tidak menyambutnya. Ia malah pergi meninggalkan Davi dalam pekat malam sendiri.

***

Tatapan mata bulat milik Rindu kosong. Matanya menerawang jauh ke depan. Roti bakar yang ada di hadapannya tidak ia sentuh sedikitpun.  Susu coklat yang sudah tantenya buatkan, juga tak ia minum barang setetes pun.

"Rindu..." Sapa hangat sang tante.
"Rindu berangkat."
Hanya dua kata itu, kemudian pergi.

Semenjak Ayahnya meninggal. Rindu lebih suka menyendiri. Padahal dulu Rindu termasuk anak yang aktif, pintar, supel, dan juga periang. Sang Ibu menderita gangguan jiwa karena kematian sang Ayah. Sejak saat itulah, hidupnya menjadi berubah. Rindu menjadi pendiam, lebih sering ngelamun, lebih banyak menghabiskan waktunya sendiri. Sejak semua orang yang ia sayang tak ada lagi di sampingnya.

***

Rindu membawa puluhan lembaran kertas. Kembali ia menikmati malamnya. Rindu membuka kertas itu perlahan. Berisi puisi-puisi yang selalu Davi tulis untuknya. Kertas itu terlihat usang. Mungkin karena terlalu lama tersimpan dalam kotak khusus di kamar Rindu.

Malam semakin pekat. Gelap. Tanpa bintang maupun bulan. Hanya ada angin yang menyiratkan bahwa, sebentar lagi akan turun hujan.

Derap langkah seseorang perlahan mulai mendekat. Rindu tersenyum, meski air matanya mengalir perlahan. "Kau kembali, Davi?" Ucapnya.
Davi menghentikan langkahnya. Jaraknya tidak begitu jauh dari Rindu. Hanya saja Davi berada di belakang Rindu.

"Bertahanlah di sampingku sampai matahari terbit. Tetaplah berada di sampingku sampai sang malam menghilang. Buktikan janjimu bahwa kamu akan terus bersamaku."
"Rindu..." Suara Davi terdengar parau.
"Kenapa? Bukankah kamu sudah berjanji untuk tidak akan pergi meninggalkanku. Iya 'kan, Davi?"
Davi diam. Rindu membalikan tubuhnya. Mendekati Davi yang masih berdiri mematung.

"Aku benci kamu, Davi! Aku benci kamu!" Rindu memukul tubuh tegap milik Davi. Ia menangis. Menangis seiring derai hujan yang semakin deras. "Pergi dari kehidupanku Davi. Pergi! Kita sudah berbeda. Biarkan aku sendiri. Di dunia ini aku memang di takdirkan untuk sendiri. Tuhan! Setelah Kau ambil Ayahku, Davi, adikku, Ibuku. Siapa lagi yang akan Kau ambil dariku? Arrgghhh. Aku benci. Aku benci!"
Rindu histeris. Tante Rani dengan sigap membawanya masuk ke dalam rumah. Mencoba menenangkan jiwa Rindu yang semakin terguncang.

***

Puisi-puisi itu hanyut. Hilang tanpa bekas karena hujan. Sama dengan sang penulis yang menghilang kemudian pergi menuju Sang Kuasa. Meninggalkan rindunya sendiri. Tanpa bisa menemaninya lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar