Selasa, 01 September 2015

Masih Menantimu...



           ‘egokah aku memilikimu walau ku tau kau tak memilihku…’ Mungkin sebait lagu wali itu mampu mewakili perasaan ku saat ini. Entah kenapa setelah ku tau cewek yang aku suka tidak membalas rasa yang aku punya, aku menjadi laki-laki yang melow. Tapi, menurutku wajarlah. Penantian selama hampir tiga tahun hanya bisa terbalaskan dengan kata “TIDAK”. Laki-laki mana yang tidak akan kecewa?
            Ahh, entahlah. Bersyukur Tuhan tidak menjadikan aku laki-laki yang mudah berputus asa. Jika tidak mungkin saat ini aku sudah berada di rumah sakit. Atau aku sudah terpanggang api neraka karena nekad mengakhiri hidup.
            Sherly, cewek cantik yang saat ini tengah melanjutkan studynya di Program Studi Hukum salah satu Universitas swasta di kotaku. Ceweknya cantik, pintar, jago nyanyi, dan super duper ramah. Bayangkan kalau ada pengacara seperti dia. Beuh, the best lah pokoknya.
            Satu hal yang buatku tenang saat ada di sampingnya. Keramahannya dan sikap terbuka membuat siapapun di samping dia merasa nyaman. Sayangnya, dia tidak mendapatkan hal itu dariku. Mungkin aku ini hanya cowok kere, nggak romantis, dan nggak bisa dijadiin pacar yang bisa diandalin kemana-mana.
            Oke, fine. Aku nggak bisa jadi itu semua. Setidaknya aku adalah laki-laki kocak yang siap buat tertawa di saat sedih, yang mampu menghapus air matanya dengan sapu tangan usang. Ah, aku bingung dengan pemikiran cewek jaman sekarang. Apa sih yang mereka mau? Cowok baik-baik? Jawabannya pasti, ‘ah, kamu terlalu baik’. Cowok jahat? Jawabannya, ‘semua cowok tu sama aja. Aku trauma pacaran.’ Ini bukan sekedar kata yang dilontarkan oleh seorang Bayu Skak. But, it’s real statement. Semua cowok mengakuinya.
            Aku meletakan gitarku di samping tempat tidurku. Kemudian merebahkan tubuhku sembari menatap langit-langit kamarku. Kembali, terbayang wajah Sherly yang begitu manis. Ya, sangat sulit menghapus wajahnya dan semua tentangnya, mengingat ada banyak kenangan manis di antara kita berdua. Tiga tahun bukan waktu yang sebentar untuk menunggu. Aku mendesah berat. Aku menutup mataku, pikiranku menerawang jauh.
            Terlihat aku yang selalu menaruh harap dengannya. Aku yang selalu terhanyut oleh sikap manis dia. Aku yang selalu beranggapan dia mampu membalas rasa yang aku punya. Sampai diakhir cerita, aku tau. Aku telah mengalami kegagalan ekspetasi.
            Sakit. Pasti. Namun, apa aku bisa membenci dia? Tidak. Tidak semudah itu. Bahkan sudah beberapa hari setelah kejadian di mana aku tau perasaannya, aku tidak memberinya kabar. Aku menghilang begitu saja. Aku berniat untuk menyendiri di pojokkan kamar, meringkuk sembari menangis. Selebay itu? Tentu tidak. Aku memilih untuk menjauh darinya meski itu sulit. Hidupku sudah terbiasa mendengar suaranya. Hidupku sudah terbiasa oleh mencari tau tentang kabarnya. Hidupku sudah terbiasa dengan canda tawanya. Sulit menghilangkan kebiasaan yang sudah ada. Pasti.
            Tapi aku berusaha untuk bangkit. Meski semangatku tak seperti dulu. Namun aku berusah untuk menata hatiku yang rapuh. Sisi positivenya, batu bisa terkikis menjadi butiran-butiran pasir bila terkena air.  Selama aku masih punya Tuhan, aku masih bisa berusaha untuk membuatnya membalas rasaku. Terus menyebutnya di dalam doaku. Dan percaya bahwa Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan.
            Ahh, tanpa terasa air mataku jatuh. Perlahan dari sudut mataku. Perih di hati sungguh tidak dapat tertahan. Rasanya aku sudah divonis untuk tidak meninggalkan nama dia di hatiku selamanya. Makanya ketika harus melepasnya, ada sakit yang tidak tahu bagaimana cara mendefinisikannya. Cukuplah. Aku tidak ingin terlalu lama larut dalam curahan hati tak berujung. Pesanku. Jika kalian yakin dengan hati kalian. Ikuti. Terus sampai hati kalian berkata “SAYA MENYERAH”. Namun, jika hatimu belum mau menyerah. Teruskan, teruskan meski kau akan terus sakit. Teruskan sampai hatimu bosan.

END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar