‘egokah aku memilikimu walau ku tau kau tak memilihku…’ Mungkin sebait lagu wali itu mampu mewakili perasaan ku saat ini. Entah kenapa setelah ku tau cewek yang aku suka tidak membalas rasa yang aku punya, aku menjadi laki-laki yang melow. Tapi, menurutku wajarlah. Penantian selama hampir tiga tahun hanya bisa terbalaskan dengan kata “TIDAK”. Laki-laki mana yang tidak akan kecewa?
Ahh, entahlah. Bersyukur Tuhan tidak
menjadikan aku laki-laki yang mudah berputus asa. Jika tidak mungkin saat ini
aku sudah berada di rumah sakit. Atau aku sudah terpanggang api neraka karena
nekad mengakhiri hidup.
Sherly, cewek cantik yang saat ini
tengah melanjutkan studynya di Program Studi Hukum salah satu Universitas
swasta di kotaku. Ceweknya cantik, pintar, jago nyanyi, dan super duper ramah.
Bayangkan kalau ada pengacara seperti dia. Beuh, the best lah pokoknya.
Satu hal yang buatku tenang saat ada
di sampingnya. Keramahannya dan sikap terbuka membuat siapapun di samping dia
merasa nyaman. Sayangnya, dia tidak mendapatkan hal itu dariku. Mungkin aku ini
hanya cowok kere, nggak romantis, dan nggak bisa dijadiin pacar yang bisa
diandalin kemana-mana.
Oke, fine. Aku nggak bisa jadi itu
semua. Setidaknya aku adalah laki-laki kocak yang siap buat tertawa di saat
sedih, yang mampu menghapus air matanya dengan sapu tangan usang. Ah, aku
bingung dengan pemikiran cewek jaman sekarang. Apa sih yang mereka mau? Cowok
baik-baik? Jawabannya pasti, ‘ah, kamu terlalu baik’. Cowok jahat? Jawabannya,
‘semua cowok tu sama aja. Aku trauma pacaran.’ Ini bukan sekedar kata yang
dilontarkan oleh seorang Bayu Skak. But, it’s real statement. Semua cowok
mengakuinya.
Aku meletakan gitarku di samping
tempat tidurku. Kemudian merebahkan tubuhku sembari menatap langit-langit kamarku.
Kembali, terbayang wajah Sherly yang begitu manis. Ya, sangat sulit menghapus
wajahnya dan semua tentangnya, mengingat ada banyak kenangan manis di antara
kita berdua. Tiga tahun bukan waktu yang sebentar untuk menunggu. Aku mendesah
berat. Aku menutup mataku, pikiranku menerawang jauh.
Terlihat aku yang selalu menaruh
harap dengannya. Aku yang selalu terhanyut oleh sikap manis dia. Aku yang
selalu beranggapan dia mampu membalas rasa yang aku punya. Sampai diakhir
cerita, aku tau. Aku telah mengalami kegagalan ekspetasi.
Sakit. Pasti. Namun, apa aku bisa
membenci dia? Tidak. Tidak semudah itu. Bahkan sudah beberapa hari setelah
kejadian di mana aku tau perasaannya, aku tidak memberinya kabar. Aku
menghilang begitu saja. Aku berniat untuk menyendiri di pojokkan kamar,
meringkuk sembari menangis. Selebay itu? Tentu tidak. Aku memilih untuk menjauh
darinya meski itu sulit. Hidupku sudah terbiasa mendengar suaranya. Hidupku
sudah terbiasa oleh mencari tau tentang kabarnya. Hidupku sudah terbiasa dengan
canda tawanya. Sulit menghilangkan kebiasaan yang sudah ada. Pasti.
Tapi aku berusaha untuk bangkit.
Meski semangatku tak seperti dulu. Namun aku berusah untuk menata hatiku yang
rapuh. Sisi positivenya, batu bisa terkikis menjadi butiran-butiran pasir bila
terkena air. Selama aku masih punya
Tuhan, aku masih bisa berusaha untuk membuatnya membalas rasaku. Terus
menyebutnya di dalam doaku. Dan percaya bahwa Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengabulkan.
Ahh, tanpa terasa air mataku jatuh.
Perlahan dari sudut mataku. Perih di hati sungguh tidak dapat tertahan. Rasanya
aku sudah divonis untuk tidak meninggalkan nama dia di hatiku selamanya.
Makanya ketika harus melepasnya, ada sakit yang tidak tahu bagaimana cara
mendefinisikannya. Cukuplah. Aku tidak ingin terlalu lama larut dalam curahan
hati tak berujung. Pesanku. Jika kalian yakin dengan hati kalian. Ikuti. Terus
sampai hati kalian berkata “SAYA MENYERAH”. Namun, jika hatimu belum mau
menyerah. Teruskan, teruskan meski kau akan terus sakit. Teruskan sampai hatimu
bosan.
END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar