Rabu, 16 September 2015

Pandang Aku...

Terima kasih pembaca setia, yang sudah mau meluangkan waktu untuk mampir di blog yang tidak begitu bagus ini. Lagi-lagi, Ayu memposting cerita sedih nih. Nggak tau sih genre cerita sebenarnya seperti apa. Kalian bisa menilainya sendiri setelah membaca yaaa. Selamat membaca.


Ku tatap mata indah dari sisi yang jauh. Aku tidak punya keberanian lebih untuk menatap mata indah itu secara dekat. Dia adalah gadis yang tanpa sengaja ku temui di ruang tunggu rumah sakit kemarin. Ya, dia yang sedang termenung mengahadap kolam ikan yang disediakan pihak rumah sakit. Entah mengapa, sejak pertemuan yang bahkan tidak saling memperkenalkan diri itu, aku jadi selalu ingin melihat wajah manisnya. Mendekatinya, kemudian menyapanya dan pada akhirnya kami saling mengenal. Tapi, aku tau itu sulit. Mengingat siapa aku, yang dengan beraninya berkenalan dengan gadis manis seperti dia.

Gadis berbola mata indah itu beranjak dari tempat duduknya. Ia tampak kesusahan dengan infus di tangannya dan harus memegangnya sendiri. Aku ikuti langkah kakinya. Aku berniat untuk tau dimana ruangan ia di rawat.

Kulihat ia memasuki ruangan VIP. Aku memutuskan untuk berhenti mengikutinya. Bukan karena takut. Hanya saja, VIP adalah ruangan yang tidak sembarang orang bisa masuk. Daripada aku buat suatu masalah nantinya. Dan buat kacau situasi aman saat ini. Lebih baik aku putar balik.

***

Keesokan harinya, ku lihat gadis itu merintih kesakitan memegang perutnya. Bak seorang pahlawan, aku menghampirinya untuk segera menolongnya. Aku berusaha membopohnya dengan hati-hati. Membawanya ke tempat yang aman atau masuk ke ruang inapnya.

''Jangan bawa aku ke sana...'' ucapnya saat aku membawanya menuju ruang VIP.

''Kenapa?''

''Pokoknya jangan! Dudukan aku di kursi itu.''

Aku mendudukannya di sebuah kursi panjang yang disediakan pihak rumah sakit. Wajahnya masih memancarkan ke sakitan yang aku yakin, itu sangat menyiksa.

''aku panggilin dokter ya.''

''jangan! Kamu disini aja. Ini cuman sakit lambung biasa kok.''

Aku menatap wajahnya yang masih kesakitan. Aku bingung harus melakukan apa.

''Ngapain liat aku kayak gitu?'' aku menggeleng kaku. ''aku cuman habis operasi usus buntu. Dokter memintaku untuk terus berbaring di kamar. Aku bosan, dan memilih untuk keluar. Nggak usah khawatir.''

Aku terkekeh pelan. Dan semenjak saat itu kami menjadi sangat dekat.

***

Sudah banyak hal kami kerjakan sama-sama. Sharing, hang out, bahkan aku juga sering mengantarnya ke sekolah. Sayangnya, kedekatan kami tidak bisa lebih dari sekedar sahabat.
Nilam -nama gadis itu-. Ia menyukai laki-laki lain di sekolahnya. Fadil namanya. Inilah yang selalu menjadi penghalang. Dan akan terus menjadi penghalang sampai rasa suka di hati Nilam terhadap Fadil sirna. Terkadang, di tengah kebersamaan kami, Nilam selalu menceritakan laki-laki di hadapanku. Telingaku terasa panas jika nama Fadil menginterupsi di setiap cerita kami.

Malam ini kami kembali bersantai di lapangan basket sekolahnya. Menikmati pesona langit malam yang bertabur bintang. Menertawakan hal-hal unik yang terjadi hari ini.

''Besok hari ulang tahunnya Fadil. Evan, kamu 'kan cowok. Bagusnya kasih apa ya?'' Fadil lagi. Senyum di wajahku hilang seketika. Moodku hancur.

Aku diam. Suasana berubah menjadi hening. Nilam menatapku. Matanya seolah merengek meminta pendapatku. Aku mendesah berat. Aku arahkan wajahnya yang sedari tadi mengarah ke wajahku, menatap bintang yang jauh di langit sana.

''Nil, di antara ribuan bintang di sana, mana yang kamu pilih?''

''Yang paling terang, lah.''

Aku tersenyum mengejek. Ku tatap wajahnya yang masih menatap sendu langit malam. ''Sesekali menengoklah ke arah bintang yang memiliki sinar yang redup. Bintang itu selayaknya kasih sayang seseorang. Yang begitu terang, belum tentu tulus. Yang selalu kamu puji-puji belum tentu orang yang pantas untuk dipuji. Sementara, bintang yang memiliki cahaya redup, adalah bintang yang paling tulus. Jangan abaikan dia, dia adalah bintang yang selalu merasa sakit saat mendengar bintang lain disebut, dia adalah bintang yang selalu iri dengan bintang yang kau kagumi. Kau tau? Itu adalah aku, Nil.''

Aku berlalu meninggalkan Nilam begitu saja. Setelah pengakuan malam itu, aku kembali menjadi pengagum rahasianya. Kembali mengangumi mata indahnya dari jauh. Memilih untuk mundur secara perlahan.

END

2 komentar: